“Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian?” Matius 5:46
Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian?
“Aku jelas bukan pemungut cukai,” batin Melani.
Semua orang ingin menerima kasih dan menyalurkan kasih. Namun, nyatanya mengasihi itu tidak mudah, apalagi mengasihi orang-orang di sekitar kita yang tidak sesuai dengan kriteria yang sudah kita bentuk dalam pikiran kita sendiri. Belum lagi kita tahu, bahwa ada banyak orang “sulit” yang harus kita hadapi dibandingkan orang “baik” yang ingin kita kasihi.
“Hfffhh!” Melani menghela napas, bulir-bulir kepedihan menyusup di relung hatinya.
Tiga puluh tahun genap sudah, sejak ia mengucapkan janji nikah di usianya yang masih belia. Hanya berbekal dongeng Cinderella, Melani melangkah mantap menuju pelaminan. Tak lama lagi ia akan menjadi ratu kesayangan pangeran tampan berkuda putih yang telah memikat hatinya. Di bawah bayang-bayang lampu temaram dan bunga-bunga putih bertebaran, ia mengkhayalkan kehidupannya di masa depan yang ia yakin akan seindah dongeng kesayangannya itu.
Dan benar saja … bulan madu menakjubkan sungguh membuatnya melayang. Semua pujian, curahan kasih sayang, taburan canda dan tawa, dan setiap kegiatan yang mereka nikmati bersama terasa sangat sempurna. Mungkin beginilah rasanya bahagia sempurna ala Adam dan Hawa saat mereka di taman Eden dulu. Semua hewan indah di taman itu tidak ada satu pun yang sepadan dengan Adam. Hanya Hawa—satu-satunya makhluk terbaik yang dapat mengisi hati Adam. Ah… sungguhlah ia ratu bagi rajanya.
Namun, setelah masa bulan madu berlalu, realitas pernikahan pun mulai menampakkan wujud aslinya. Bulan madu kehilangan madunya dan hanya tinggal “bulan-bulanan”. Bayi mungil menyeruak hadir di antara mereka, merebut seluruh perhatian dan kasih sayang. Melani sangat mengasihi buah cinta kasih mereka ini, betapa bayi ini adalah anugerah Tuhan yang terus disyukurinya dari hari ke hari.
Sayangnya, ia baru tersadar bahwa kisah romantisme sesungguhnya hanya ada dalam dongeng semata. Sebagai ibu muda dengan khayalan seorang putri raja, menjadi istri sekaligus ibu pada usia belia sangatlah jauh dari indahnya kisah cinta. Apalagi ia terpaksa ikut bekerja demi menolong perekonomian keluarga. Bukan itu saja. Ia juga terpaksa menerima desakan suami untuk memboyong keluarga besarnya tinggal di rumah mereka “demi anak-anak ada yang mengawasi.”
Maka dimulailah babak baru dari drama klasik kisah “dua ratu dalam satu rumah”. Yang satu mertua yang merasa telah lebih dulu menjadi ibu suri dengan pengalaman bejibun, dan yang satu lagi menantu yang ingin menunjukkan siapa ratu yang seharusnya berkuasa saat ini. Konflik di antara keduanya pun semakin sering terjadi, bahkan menyeret semua orang di dalam rumah tangga itu ke pusaran amarah dan kepahitan yang datang dari upaya menantu dan mertua yang saling mencoba menunjukkan bahwa dialah sang ratunya.
Ibu mertua Melani bukanlah orang yang hangat, ia seorang perempuan tegar (baca: keras) dan dominan yang dibentuk oleh kehidupan yang memaksanya menjalani peran ganda sebagai ibu dan ayah bagi delapan orang anaknya.
“Sementara suamiku … yah, akhirnya aku harus menerima bahwa dia seorang kepala rumah tangga yang disfungsi. Ia sangat baik dan penurut, bahkan cenderung mengalah dan selalu menghindari konflik. Dan tradisi ini akhirnya menciptakan kondisi yang menuntut aku untuk menjadi ibu rumah tangga tulen yang menyelesaikan pekerjaan rumah tangga tanpa bantuan asisten rumah tangga juga seorang pencari nafkah, tapi sekaligus ditekan untuk tidak bersikap dominan. Alhasil, impian Upik Abu untuk menjadi Cinderella pun kandas. Upik Abu tetap menjadi Upik Abu zaman now dengan tambahan sederet tanggung jawab, tuntutan ekonomi, dan tekanan untuk patuh kepada suami, ibu mertua, dan keluarga besarnya,” Melani menceritakan kisahnya.
Tahun demi tahun berusaha bertahan menghadapi sikap ibu mertua yang dominan dan suami yang tidak berdaya membela istri akhirnya menciptakan luka yang terus basah dan pedih di hati Melani. Sampai akhirnya konflik di antara mereka pun meledak dan Melani memberi ultimatum kepada sang suami: “Silakan pilih, aku atau keluargamu yang harus keluar dari rumah kita!”
Singkat cerita, tanpa pamit akhirnya mereka “minggat” dari rumah. Hubungan Melani dan keluarga suami yang memang pada dasarnya rapuh pun akhirnya berantakan. Mereka tidak baik-baik saja. Sama sekali tidak baik-baik saja.
“Sedihnya, upaya yang kulakukan untuk menunjukkan bahwa akulah ratu sesungguhnya, tidak membawa perubahan dalam relasi dengan keluarga besar suami. Hadiah-hadiah yang sering kuberikan kepada Mama Mertua tidak diterima, bahkan dicampakkan di depan mataku. Rasanya begitu melelahkan dan membuatku terkuras. Bukan hanya itu. Hubunganku dengan suami juga tidak bertambah baik. Dan Kerajaan Dongeng Cinderella-ku pun hancur berantakan.”
Melani terdiam sebentar, mencoba menyusun kembali emosi-emosi yang terus berputar bagai badai dalam dadanya. “Sejujurnya… tidak mudah bagiku menerima kenyataan ini … sama tidak mudahnya juga untuk terus-menerus berusaha mengasihi mereka yang tidak memenuhi harapanku. Rasa marah, kecewa terhadap diri sendiri, terhadap suami, terhadap keluarganya dan juga terhadap Tuhan menjadi makanan sehari-hariku. Dan semakin hari aku semakin terpuruk. Terperangkap dalam kemarahan dan kekecewaanku sendiri. Aku merasa sudah melakukan semua “kebaikan” sebagai seorang istri, seorang ibu, dan seorang menantu, tetapi kenapa Tuhan tidak mengizinkanku mendapatkan penghargaan dan kebahagiaan yang sudah sepantasnya kudapatkan?”
Lama Melani terombang-ambing dalam perahu berisi kepahitan dan kekecewaan yang telah lama ia pelihara dalam hatinya. Tadinya ia mengira setelah ibu mertua dan keluarga besar suaminya pergi dari rumah, ia akan bahagia. Namun ternyata … itu tidak terjadi. Ia tetap saja merasa terperangkap. Ia tetap saja merasa nelangsa. Tidak bahagia, tidak damai, apalagi puas. Tapi … mengapa? Apa sesungguhnya kunci menuju kebahagiaan yang begitu ia rindukan itu?
Lalu suatu hari jawaban itu tiba dalam bentuk potongan artikel yang dibacanya: “Mengasihi orang yang sulit dikasihi adalah ujian sejati bagi kita, orang percaya. Mengasihi membutuhkan ketekunan, dan orang yang sulit dikasihi bukanlah barang yang bisa diganti dengan yang lain. Kita tidak bisa ‘membuang’ mereka seperti barang rusak. Sebaliknya, kita diminta untuk bertekun dan bersabar. Ini karena mengasihi memang bukan tentang perasaan, melainkan tentang komitmen dan tindakan. Mengasihi sesungguhnya tidak bergantung pada apakah kita menyukai seseorang atau tidak. Kenapa? Karena kita memang tidak diminta untuk mengasihi dengan kasih kita yang dangkal, rapuh, dan mudah berubah-ubah itu, melainkan dengan Kasih yang telah lebih dulu diberikan kepada kita. Kasih Kristus.”
Mata Melani berkaca-kaca, akhirnya ia mengerti apa yang harus dilakukannya. Yaitu, menerima dan mengasihi.
Namun, apa sesungguhnya yang memampukan Melani menyadari keberdosaannya dan bertobat?
“Semata-mata karena kasih karunia Tuhan yang telah menyelamatkan aku di saat gelombang besar menghantam dan meluluhlantakkan kesombonganku. Karier yang kubangun nyaris hancur karena pengkhianatan seorang teman, sementara suami yang pasif dan tidak membelaku membiarkan aku merangkak dan menangis seorang diri. Kami masih hidup bersama tapi tidak dalam gerbong yang sama, melainkan hanya berjalan dalam ego dan pembenaran diri masing-masing. Hidup dan angan yang kubangun bertahun-tahun pun hancur berantakan.”
Melani menghela napas lalu tersenyum.
“Saat itulah Tuhan menggapai tanganku dan mengampuniku. Dan melalui pengampunan itu aku pun datang dan bersujud di hadapan Mama Mertua. Dalam hati aku memaafkan Mama Mertua sementara bibirku memohonkan pengampunan darinya. Apakah perkara selesai? Tentu tidak, masih ada penolakan-penolakan yang kuterima dari Mama Mertua dan tentunya keluarga besar suamiku. Tapi … aku terus belajar untuk melepaskan ego dan belajar untuk memaafkan.
“Satu hal yang juga kupelajari adalah ketika kita memaafkan kita harus mengakui kesalahan kita, seberapa pun kecilnya kesalahan itu. Bahkan ketika kita tidak bersalah sekalipun. Sama seperti Yesus yang merelakan diri-Nya dipersalahkan. Aku terus belajar untuk menundukkan egoku, belajar mengasihi orang yang menolak aku. Sampai pada akhirnya, menjelang Mama Mertua tutup usia, aku sudah menjadi menantu kesayangan beliau.”
Sering kali Tuhan menempatkan orang-orang yang sulit untuk memperhalus dan membentuk kita menjadi versi diri kita yang berkarakter Kristus. Sering kita tidak menyadari bahwa sesungguhnya orang yang sulit itu bukanlah orang lain, melainkan diri kita sendiri. Kita menuduh orang lain sulit, padahal sejatinya kitalah orang yang sulit tersebut. Kita menjadi orang yang sulit karena membangun banyak kriteria terhadap orang-orang di sekitar kita. Kita menjadi orang yang sulit karena tidak mampu menerima mereka apa adanya. Kita sulit menerima dan mengasihi mereka karena menganggap mereka sulit.
Mengasihi orang yang sulit selalu dimulai dari penerimaan diri. Tidak menganggap diri sempurna tanpa cela, tetapi membiarkan ketidaksempurnaan menjadi bagian dari perjalanan kesempurnaan kita. Ketika kita dapat menerima diri sendiri apa adanya, kita juga akan dimampukan untuk menerima orang lain dengan segala kelemahan dan ketidaksempurnaannya. Tidak ada orang yang terlalu sulit untuk dikasihi, karena Allah akan memampukan kita untuk menerimanya apa adanya sama seperti Allah telah menerima kita apa adanya.