“Ia menguatkan orang yang lelah, memberi semangat kepada yang tiada berdaya.”
(Yesaya 40:29)
“Semangat ya ….”
Kata-kata itu terus menggaung mengisi ruang rawat inapku sementara aku terpuruk mendengar diagnosis dokter: “Ibu mengalami gagal ginjal.”
Lidahku kelu, tak mampu berkata-kata. Tak ada air mata saat aku pertama kali mendengar dokter mengabarkan hasil pemeriksaan darah yang menunjukkan tanda-tanda kegagalan fungsi penyaringan darah. Namun, di balik kebisuanku, batinku bergemuruh. Aku masih berusaha mengelak dan menepis apa yang kudengar, mencoba meyakinkan diri bahwa semua itu hanya mimpi.
Nyatanya, setiap patah kata yang kutangkap tepat di pagi tanggal 1 Mei 2017 itu tidak ada yang salah. Dan sementara seorang dokter residen menjelaskan rencana terapi medis yang harus kujalani, aku berusaha meraup nalar, mencoba memahami penjelasannya yang terdengar seperti desis embusan angin.
Setelah aku kembali ditinggal sendiri di kamar itu, satu kalimat yang tebersit dalam benakku adalah: “Apa yang akan terjadi dalam hidupku selanjutnya?”
Hari itu hidupku seolah mengalami plot twist. Cerita indah tentang karier cemerlang yang nyaris kuraih tiba-tiba saja mengalami belokan tajam. Namun, bagiku, urusan karier dan pekerjaan bukanlah yang nomor satu dalam rangkaian kekhawatiranku. Dan bukannya memikirkan diagnosis dokter, bayangan wajah ceria anak-anakku yang berusia enam tahun dan dua tahun itulah yang memenuhi benakku.
Berbagai pertanyaan berjejalan memenuhi kepala.
Bagaimana perasaan anak-anakku kalau tahu mamanya tidak sesehat mama teman-teman mereka? Bagaimana aku dapat menjalankan tugasku sebagai ibu sementara anak-anak semakin besar dan memerlukan pendampinganku dalam segala kegiatan? Dan masih banyak lagi “bagaimana” yang datang bertubi-tubi.
Akhirnya raungan tangisku pecah, disusul tangis suami yang tak kalah pedih.
Sejujurnya, hatiku hancur. Luluh lantak. Baru kali ini aku melihat pendamping hidupku yang tangguh itu meratapi nasibku. Pada hari pertama aku mengisi ruang rawat inap tersebut, isakan kami menggaung untuk waktu lama. Sejak langit masih terang hingga bertabur bintang, wajah kami bersimbah air mata. Tak ada satu kata pun yang terucap, benak kami riuh mempertanyakan masa depan yang tampak sangat suram, bahkan buntu. Hanya lantunan lagu rohani Pertolongan–mu yang tak henti menemani, bahkan hingga kami terlelap, kelelahan memberontak dalam diam.
Malam itu, suamiku mengajak berdoa. Setidaknya dengan berdoa, kami dapat menenangkan diri, berharap setelah tenang kami dapat memancang nalar agar bisa berpikir jernih. Meski, diam-diam, batinku terus memberontak sementara bibir suami merapalkan permohonan yang bertubi-tubi.
“Aku takut mati, Pi,” ucapan itu akhirnya terlontar dari bibirku selepas kami berdoa.
“Mi, dengar. Hidup itu misteri. Nggak mesti sakit, orang bisa mati.” Aku tahu, jawaban itu terlontar lebih untuk menenangkan hatinya sendiri, tapi sama sekali tidak dapat menghibur hatiku.
“Kalau aku mati, Papi cari perempuan lain?” Heran aku … di saat seperti itu aku masih berpikir hal yang aneh-aneh.
Namun, jawabannya justru membuatku mampu merajut kembali jalinan asa yang sempat berhamburan.
“Mi, istriku ya cuma kamu. Maminya anak-anak ya cuma kamu. Makanya … cepat sehat. Kalau cuci darah adalah jalan terbaik, ya harus dilakukan.”
Cuci darah?!
Sungguh, aku tak sanggup membayangkan hidupku akan bergantung pada alat hemodialisis. Seandainya menangis bisa memulihkan sel ginjalku, pasti akan kulakukan. Namun, mau menangis seperti apa pun, tidak akan mengubah keadaan dan aku tetap harus cuci darah demi menyambung hidup.
Terapi itu membuat aktivitasku yang padat dan dinamis serta-merta terhenti. Hidupku seperti direm mendadak dan tahu-tahu dipaksa diam di tempat. Slang yang menyedot darahku untuk dimasukkan ke mesin hemodialisis membuatku hanya bisa bergeming. Salah bergerak sedikit saja, mesin akan meraung.
Ketika aku diharuskan untuk berbaring selama lima jam selama proses cuci darah, saat itu pula aku merenung. Apakah selama ini aku terlalu banyak bergerak sehingga Tuhan memaksaku untuk beristirahat sejenak? Dalam kondisi terbelenggu, aku hanya bisa berdoa. Jujur, aku bukan pendoa yang khusyuk meski ayahku seorang pendeta dan ibuku aktivis gereja yang rajin berdoa. Aku terlalu terbuai dengan keduniawian dan melupakan rahmat Tuhan yang tak lain berupa tubuhku sendiri.
Sayangnya, bukannya semakin mendekatkan diri, aku justru semakin marah kepada Tuhan. Batinku merutuk, Karena Engkau memberiku penyakit ini, orang-orang di sekitarku menghakimiku macam-macam. Aku terus tenggelam dalam perasaan dan pikiran negatif. Aku enggan berdoa, dan akhirnya menjauhkan diri dari gereja.
“Dok, Dokter itu orang yang terpilih loh. Tidak semua orang mengalami hal seperti ini,” suatu hari, seorang perawat yang berbeda keyakinan denganku, mencoba menguatkanku.
Aku … terpilih? Ingin tertawa rasanya. Kalau boleh memilih, aku tidak ingin dipilih! Kondisi ini merenggut cita-citaku untuk menuntut ilmu ke jenjang spesialis. Kondisi ini bahkan menghancurkan harapanku untuk meniti jenjang karier sebagai ASN yang sudah di depan mata.
Semua buyar. Ambyar!
Saat tergolek di rumah sakit, aku dan suami berdiskusi tentang hidup kami yang tak lagi normal. Semua harus kami reset dan mulai lagi dari awal. Namun, perlahan kami juga mulai dimampukan untuk mencari apa yang Tuhan mau dalam hidup kami.
Setelah dinyatakan stabil, aku diperbolehkan pulang dan diharuskan untuk cuti selama tiga bulan sesuai anjuran dokter. Dalam masa rehat, aku terhibur dengan anak-anak yang begitu mengasihiku. Mereka tidak takut dengan slang di bahuku. Bahkan, doa-doa meminta kesembuhanku tak henti-hentinya keluar dari bibir mungil mereka.
Di saat terpuruk seperti ini, suami, anak-anak, dan kakak kandungku selalu setia menguatkanku. Bila selama ini aku jarang berinteraksi dengan keluarga karena padatnya kesibukanku di kantor dan praktik pribadi, maka setelah sakit waktu dengan keluarga menjadi lebih banyak.
Pikirku, aku bisa bangkit. Nyatanya, tetap saja ada saatnya aku sering overthinking. Memikirkan anak-anak. Memikirkan suami. Memikirkan pekerjaan yang belum terselesaikan. Memikirkan bahwa aku tidak lagi berguna. Yang terburuk, aku terkadang memikirkan … kematian.
Namun, aku bersyukur Tuhan tidak tinggal diam melihat aku berkubang dalam pikiran dan perasaan negatif yang bisa saja membuatku terjatuh ke dalam depresi. Ketika aku mengemukakan semua uneg-unegku kepada kakak laki-lakiku karena tidak ingin membebani pikiran suami, ia justru berkata, “Tuliskan semua kegelisahanmu, Dik. Setidaknya apa yang nggak bisa tersampaikan lewat lisan, bisa kamu torehkan melalui tulisan.”
Awalnya, saran kakak itu hanya kupendam. Pikirku, bagaimana mungkin aku menuliskan kegelisahanku seolah aku manusia paling menderita di dunia? Aku enggan curhat di media apa pun termasuk media sosial tentang “berat”-nya penderitaan yang kutanggung. Apalagi almarhum Ibu dulu mengajarkan anak-anaknya untuk tidak mudah mengeluh dalam kondisi apa pun.
Akhirnya, aku mencari cara lain untuk menuangkan kegelisahanku, dan memilih bercerita lewat fiksi. Dan sungguh, aku tak pernah menyangka bahwa kegiatan menulis ini dapat menjadi caraku untuk berdamai dengan apa yang kualami.
Ya, awalnya menulis hanya jalan untuk berdamai dengan diriku. Bukan Tuhan. Bagaimanapun aku tetaplah manusia biasa yang masih memendam kekesalan seperti anak kecil yang merajuk. Jujur, selama beberapa tahun aku belum dapat memahami maksud Tuhan, kenapa Dia mengizinkan semua hal terjadi padaku.
Lagi-lagi, Gusti mboten sare—Tuhan tidak tidur …
Sampai suatu ketika aku mulai mengenal platform menulis. Akhirnya, aku iseng mengunggah tulisan-tulisanku di sana, dan tak menyangka tulisanku dibaca meski masih banyak kekurangan di sana-sini. Segala perenunganku tentang pernikahan, keluarga, hubungan orangtua dan anak, persahabatan, pekerjaan, dan relasi dengan Tuhan, kutuangkan dalam sebuah karya fiksi, tanpa mengharapkan apa pun.
“Kak, aku terhibur dengan cerita Kakak. Aku bisa memetik hikmah dari cerita yang Kakak tulis.”
Pesan pribadi yang masuk itu membuatku terenyuh. Cerita sederhana yang jauh dari sempurna itu dicintai pembaca. Aku tak pernah menyangka, saat aku berbaring sambil mengetik cerita di HP, aku masih dapat menghibur orang lain melalui ukiran ceritaku.
Tanpa kusadari, melalui dunia literasi Tuhan menjawab semua keraguan dan mengisi kehampaan jiwaku. Perasaan tak berguna itu lenyap, dan perlahan-lahan pemberontakan dalam jiwaku padam, digantikan hati yang lebih berserah. Pelan tapi pasti, relasiku dengan Tuhan diperbarui. Aku tak lagi memikirkan “aku yang sakit”, tetapi lebih berpikir bagaimana meski “sakit” pun aku dapat membawa berkat, baik lewat pekerjaanku maupun karya-karya yang kutorehkan. Sedikit demi sedikit, Tuhan pun memulihkan batinku yang terluka, hingga akhirnya, sampai detik ini, Tuhan boleh memampukan aku menjalani peran gandaku. Sebagai istri, ibu, dokter gigi, ASN, dan kini sebagai penulis.
Bila melihat ke belakang, aku heran sendiri dari mana datangnya kekuatanku. Walau kondisi kesehatanku terus jatuh-bangun, tapi Tuhan masih mengizinkanku hidup setelah enam tahun aku didiagnosis gagal ginjal kronis. Aku percaya dengan apa yang tertulis dalam Yesaya 40:29, “Dia memberi kekuatan kepada yang lelah dan menambah semangat kepada yang tiada berdaya.” Aku yakin sepenuhnya bahwa Tuhan-lah yang telah menguatkanku dan memberi semangat kepada pribadiku yang tak berdaya.
Kini, aku benar-benar dapat mensyukuri setiap napas yang masih Tuhan beri. Kini, aku percaya Tuhan tidak akan memalingkan muka-Nya saat kita berada di titik nadir. Dengan cara-Nya yang ajaib, Tuhan akan memulihkan kita dan membukakan pintu ke jalan yang tak pernah kita duga sebelumnya.
Yuk berjalan berdampingan untuk
Menjadi Orangtua Sebaik yang Kita Bisa.
Kami akan menampilkan artikel, kesaksian, dan tips-tips parenting setiap minggunya.