Semua berawal pada masa pandemi Covid-19. Putri saya baru saja berulang tahun ke-12 dan sedang menghadapi ujian kelulusan.
Ketika anak-anak bersekolah dari rumah, ia mulai merasa kesepian dan terisolasi. Ia memang senang bersosialisasi. Jadi, ketika tidak dapat ke sekolah dan bertemu teman-temannya, ataupun sekadar keluar dari rumah, ia semakin menutup diri. Ia pun semakin gelisah mengenai pelajaran dan ujian-ujiannya.
Saat itulah perilaku menyakiti diri itu muncul. Ia melukai bagian atas pahanya. Lukanya kecil-kecil, di tempat yang tidak mudah terlihat. Pada suatu hari seorang temannya melihat luka-luka itu, dan mendorongnya untuk memberi tahu kami.
Pada suatu hari, putri saya berkata, “Papa, aku ingin menunjukkan sesuatu.”
Saat saya melihat torehan luka-luka itu, hati saya pun hancur. Saya tertegun. Ia memberi tahu saya bahwa tindakan melukai diri itu membuatnya merasa lebih baik, karena mengurangi stres dan rasa sakit yang dirasakannya saat itu. Tak peduli apa pun yang saya lakukan dan katakan, ia terus melukai diri. Saya menyalahkan ujian kelulusan sebagai penyebab perilakunya tersebut, tetapi saya salah.
Membereskan Pemicunya
Setelah ujian kelulusan, semua memburuk. Pada liburan sekolah bulan Desember, ia mengalami insomnia, dan sepanjang hari berada di tempat tidur. Bahkan ketika masuk SMP dan kembali bersekolah secara fisik, ia masih terus menyakiti diri.
Ada beberapa hal yang memicu perilakunya tersebut, seperti jika ia dilarang atau keinginannya tidak langsung dipenuhi. Ia juga kesal dengan teman-temannya—misalnya ketika mereka tidak melibatkannya dalam suatu kegiatan atau percakapan. Selain itu, ia merasa jengkel dengan perkataan guru-gurunya.
Kemudian, ia mencoba bunuh diri.
Kali pertama, ia menenggak obat anti nyeri dalam jumlah banyak. Ia menelan lebih dari 20 butir pil, dan baru mengakuinya empat hari kemudian ketika ia mulai merasa sakit perut. Kami membawanya ke rumah sakit, dan ia dirawat selama tiga minggu di bangsal psikiatri.
Kali kedua, ia mencoba melompat dari jendela. Saya berusaha menahannya selama 30 menit, mencengkeramnya sementara ia menjerit dan melawan. Dibutuhkan empat orang petugas—semuanya laki-laki dewasa—untuk menahan dan memborgolnya.
Saya tidak akan melupakan pemandangan itu: cahaya lampu sirene mobil polisi, damkar, dan ambulans, semua petugas dan kekacauan di sekeliling kami, dan putri saya terbaring terikat di atas usungan dengan tangan diborgol.
Sebelum Gangguan Mentalnya
Putri saya tidak selalu seperti ini. Saat kanak-kanak, ia ceria, ramah, dan senang berteman. Namun, ia juga sensitif dan emosional. Ia akan mengamuk setiap kali keinginannya tidak dipenuhi. Seorang konselor pernah berkata bahwa ia keras kepala sekaligus sensitif—“sebuah kombinasi yang mematikan.”
Sejak dulu kami dekat—jika orang-orang bertanya padanya, kepada siapa ia akan bercerita, ia akan menjawab: “Papa.” Setiap kali band favorit saya mengadakan tur di negara kami, ia bertanya mengapa saya tidak menonton konser mereka. Saya bilang padanya, harga tiketnya terlalu mahal dan saya tidak bisa menghamburkan uang sebanyak itu.
Pada awal tahun ini, ia menggunakan semua uang yang didapatnya pada hari ulang tahun untuk membelikan saya tiket konser untuk akhir tahun ini. Dalam hati, saya berpikir: Aku tidak akan dapat menonton konser itu jika kau tidak ada lagi di sini.
Betapa menyakitkan bagi saya melihat apa yang terjadi padanya. Mungkin ini semacam hubungan khusus antara ayah dan anak perempuan; saya merasa seolah sayalah yang paling terpengaruh—bahkan hancur—oleh gangguan mental yang dideritanya. Saya bertanya-tanya, apa yang terjadi dengan putri kecil saya yang manis.
Satu-satunya Bentuk Istirahat Baginya
Selama tiga tahun terakhir, sudah tak terhitung berapa kali kami keluar-masuk rumah sakit, dan berbicara dengan berbagai psikiater, psikolog, terapis, konselor, dan guru.
Ketika perilaku menyakiti diri putri saya pertama kali muncul, seorang psikiater mendiagnosisnya dengan depresi dan gangguan kecemasan.
Setelah ia mencoba mengakhiri hidupnya untuk ketiga kali—membongkar lemari obat-obatan kami yang terkunci dan menenggak obat antidepresan dalam jumlah besar—ia didiagnosis dengan disregulasi emosi. Artinya, ia kesulitan mengelola emosi-emosinya, sehingga menimbulkan ledakan kemarahan, gangguan kecemasan, perilaku menyakiti diri, dan pikiran-pikiran untuk mengakhiri hidupnya.
Melukai diri memberinya kelegaan, ia pernah berkata: Hanya ketika ia merasakan sakit dan mengeluarkan darahlah, ketegangan dan kebencian yang dirasakannya sirna. Inilah satu-satunya bentuk istirahat baginya, begitulah ia berkata.
Beban di Pundak Saya
Kondisi putri saya telah mempengaruhi pernikahan, keluarga, pekerjaan, dan hubungan saya dengan Allah. Saya dan istri saya bersitegang tentang bagaimana kami seharusnya menangani kondisi putri kami, oleh karena pola asuh dan pandangan kami yang sangat berbeda mengenai batasan dan disiplin.
Istri saya menganggap saya terlalu permisif, sedangkan saya merasa ia kelewat keras. Sementara itu, anak laki-laki saya, yang usianya empat tahun lebih tua daripada putri saya, menganggap kami memanjakan sang adik. Ia sering bertengkar dengan adiknya tentang perilaku si adik. “Aku tidak mengerti kamu ini kenapa sih? Kamu tidak punya alasan untuk tidak bahagia!” begitulah ia sering meneriaki adiknya.
Di tempat kerja, saya terpaksa meninggalkan meeting lebih cepat setiap kali menerima telepon darurat dari rumah. Saya harus tetap melakukan tugas dan tanggung jawab saya sebagai pendeta dan pengkhotbah sementara terus mengkhawatirkan keselamatan putri saya. Saya harus berkhotbah tentang kebaikan Allah di atas mimbar di depan umum, sementara bergumul dengan iman saya secara pribadi.
Di malam hari, saya tidak dapat terlelap karena insomnia. Saya sering terbangun di tengah malam, jantung saya berdegup kencang saat pergi mengecek apakah putri saya masih hidup.
Kadang-kadang, saya menangis dan berdoa di kamar mandi dan ruang kerja. Di sinilah saya benar-benar dapat sendirian dan mengungkapkan semuanya kepada Allah. Sementara saya memikirkan masa lalu, rasa bersalah membanjiri saya. Apakah saya melakukan kesalahan saat ia masih kecil? Apakah saya terlalu keras padanya? Mungkinkah saya dapat mencegah hal ini?
Sebagai seorang pendeta, saya perlu diyakinkan oleh apa yang saya khotbahkan. Namun, terlalu sering saya merasa bahwa Allah membisu. Rasanya nyaris seolah Kitab Suci sedang mengejek saya.
Allah Memegang Teguh Putri Saya
Namun … terlepas dari semua ini, dan di tengah-tengah semua ini, tangan Allah yang tak kasatmata menopang saya.
Sementara saya meneruskan membaca dan bergumul dengan Firman-Nya, Dia memberi saya penghiburan. Salah satu ayat yang dekat dengan hati saya adalah Mazmur 27:13-14:
Sesungguhnya, aku percaya akan melihat kebaikan TUHAN
Di negeri orang-orang yang hidup!
Nantikanlah TUHAN!
Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu!
Ya, nantikanlah TUHAN.
Saya juga membaca Kitab Ayub sebagai bagian dari devosi harian saya, ditambah buku-buku yang membahas tentang penderitaan dan Allah yang seolah diam membisu. Buku-buku ini membantu saya menyadari bahwa ada saatnya ketika Allah seolah terasa membisu, tetapi Dia tetap hadir bersama saya. Membaca kisah-kisah mereka, dan mengetahui bahwa saya tidak sendirian dalam penderitaan saya, telah membantu saya untuk mengambil langkah-langkah kecil iman di tengah kegelapan yang melingkupi saya dan keluarga saya.
Tuhan juga telah mengirimkan orang-orang-Nya untuk menghibur saya. Dua hari setelah putri saya mencoba melompat dari jendela, saya berkhotbah di sebuah pemberkatan pernikahan di gereja. Ketika itu seseorang yang dulunya jemaat kami datang menyapa saya. Sudah lebih dari sepuluh tahun kami tidak bertemu.
Ia sama sekali tidak mengetahui situasi keluarga saya, tetapi saat kami bercakap-cakap, ia tiba-tiba berkata, “Pak Pendeta, saya merasa Allah ingin saya menyampaikan sesuatu kepada Anda.”
Lalu ia berkata—dan saya takkan pernah melupakan perkataannya—“Saya merasa Allah ingin saya memberi tahu Anda bahwa Allah memegang teguh putri Anda.”
Perkataannya menusuk saya dan menyeret saya mundur ke momen ketika saya mencengkeram putri saya, tak sampai 48 jam yang lalu. Selama setengah jam itu, saya terus memeganginya dengan gentar dan putus asa sementara ia meronta-ronta. Saya berseru kepada Allah agar menolong saya memegangi putri saya. Jika saya melepaskannya, ia akan mati di depan mata saya.
Dan sekarang Allah memberi tahu saya: Akulah yang memegangnya. Ia aman dalam genggaman-Ku.
Meski Perjalanan Masih Panjang
Hari ini putri saya masih sering mengamuk. Ia telah menghentikan semua obat-obatan dan terapi karena tidak menyukai efek sampingnya—ketumpulan emosional dan perasaan mengantuk mempengaruhi studinya. Ia juga menemui para psikolog dan terapis yang telah ditunjuk baginya.
Namun, saya bersyukur bahwa sudah lebih dari satu bulan ia tidak menyakiti diri. Beginilah cara saya menghitung hari sekarang ini.
Saya dan istri saya juga mulai menemui konselor Kristiani, yang membantu kami memahami gaya pola asuh kami yang berbeda dan bagaimana kami dapat terhubung dengan lebih baik dengan putri kami. Kini, setelah tahu bahwa sebagian alasan di balik reaksi istri saya datang dari trauma dan pengalaman masa kecilnya sendiri, saya pun dapat lebih memahaminya. Dan sementara hubungan anak laki-laki saya dengan adiknya masih belum hangat, saya mencoba menghabiskan lebih banyak waktu dengan putra saya sehingga ia tidak merasa diabaikan.
Putri saya juga bergumul dengan imannya sendiri. Ia marah dan kecewa kepada Allah karena tidak menyembuhkannya. Kadang-kadang, ia menolak ke gereja. Saya tidak memaksanya. Saya tidak ingin ia merasa harus berpura-pura di depan orang-orang hanya karena ia putri pendeta.
Satu-satunya yang Dapat Saya Lakukan
Sekarang ini, yang dapat saya lakukan adalah menunjukkan kepada putri saya bahwa saya menyayanginya—tanpa syarat. Tak peduli betapa sulit atau menuntut dirinya, tak peduli betapa lelah atau kesal diri saya. Entah itu dengan hadir di sisinya dalam kesakitannya, bersabar dengannya saat ia menantang atau membuat saya jengkel, atau berdoa bersamanya saat ia menginginkannya.
Penghiburan saya ada dalam fakta bahwa sesekali ia masih mau beribadah ke gereja bersama kami, dan kadang-kadang membolehkan saya untuk mendoakannya. Terkadang, ia bahkan menggumamkan “amin” di akhir doa-doa saya baginya.
Adakalanya, ketika berkhotbah, sambil lalu saya menceritakan apa yang terjadi dalam keluarga kami. Saya tidak bercerita secara terperinci, hanya cukup agar mereka terus mendoakan kami.
Sekali-sekali saya bertanya-tanya apakah saya sudah terlalu banyak membagikan cerita kami—bagaimanapun, saya ini seorang pendeta dan pemimpin. Saya tidak tahu apakah ada yang tidak setuju dengan keterbukaan dan kerapuhan saya, tetapi saya tahu bahwa kesaksian saya telah membuat lebih banyak jemaat merasa lebih nyaman untuk menceritakan pergumulan-pergumulan mereka kepada saya.
Pernah seorang wanita muda menghampiri saya sehabis ibadah. Lengannya, yang penuh dengan bekas luka yang telah memudar oleh waktu, sekarang menggendong seorang bayi. “Dulu saya seperti putri Anda,” ia berkata. “Sekarang, saya sudah jadi ibu.”
Mendengar cerita-cerita seperti ini memberi saya kekuatan untuk terus melangkah. Saya tahu jika saya dapat menolong putri saya melewati semua ini, ia akan tumbuh menjadi wanita cantik yang penuh perhatian dan kasih sayang.
Inilah yang Dapat Gereja Lakukan
Sementara itu, saya berharap anggota-anggota tubuh Kristus dapat bersama-sama mendukung keluarga-keluarga yang menghadapi situasi serupa dengan lebih baik lagi. Mengetahui bahwa ada sekelompok saudara seiman yang dengan tekun mendoakan kita, misalnya, akan menjadi sumber penghiburan yang sangat berarti.
Saya tahu betapa sulit mendampingi orang-orang yang menghadapi pencobaan dan kesulitan berkepanjangan yang sepertinya tidak akan pernah berakhir. Saat saya memberitahu info tentang perkembangan krisis terakhir di rumah kami kepada rekan-rekan pendoa saya, saya dapat menangkap kelelahan sebagian dari mereka. Saya dapat memahaminya—bagaimanapun, sudah hampir tiga tahun sejak dimulainya perjalanan dengan putri kami yang memiliki kecenderungan bunuh diri.
Hal lain yang dapat membantu para perawat dan pendamping adalah bantuan dan dukungan yang sifatnya praktis. Contohnya, mereka yang tidak dapat mengemudi akan sangat menghargai tawaran seseorang untuk mengantarkan mereka ke rumah sakit pada situasi darurat—situasi yang sangat akrab dengan saya.
Saya berterima kasih Tuhan telah memberkati saya dengan banyak teman dekat yang bersedia mengajak saya keluar dan mendengarkan saya mencurahkan beban-beban saya. Kalau ada yang dapat kita lakukan, itu adalah menyediakan diri kita untuk mendengarkan—tanpa terburu-buru menawarkan nasihat atau menghakimi.
Cahaya Itu Menyertai Kita
Bagi Anda yang mengalami pergumulan serupa, saya ingin Anda tahu bahwa harapan itu selalu ada. Janganlah takut untuk menangis dan bergumul dengan Tuhan.
Dan meski rasanya seolah-olah Anda meraba-raba di dalam kegelapan dan Anda tidak dapat melihat cahaya di ujung sana, ketahuilah bahwa cahaya itu sudah bersama Anda. Bukan di ujung sana, melainkan bersama Anda dan di dalam Anda. Inilah cahaya Allah, yang senantiasa menyertai Anda.
Kiranya kita menyatakan ini kepada hati kita pada masa-masa tergelap hidup kita:
Sesungguhnya, aku percaya akan melihat kebaikan TUHAN Di negeri orang-orang yang hidup! Nantikanlah TUHAN! Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah TUHAN. —Mazmur 27:13-14
Kesaksian ini pertama kali diterbitkan di Biblical Wisdom for Parents © Our Daily Bread Ministries dengan judul Caring For My Suicidal Daughter: A Pastor’s Story.
Penerjemah: Rosi Simamora
Penyelaras Bahasa: Marlia Kusuma Dewi
Yuk berjalan berdampingan untuk
Kami akan menampilkan artikel, kesaksian, dan tips-tips parenting setiap minggunya.