“Mamaaaaaa!” suara Shadrach terdengar lirih namun tegas.
“Apa, Drach?” aku berbisik di telinga siswa kelas 3 SD itu.
“Botol air minum Mama itu nggak bisa dibawa masuk ke gedung bioskop!” ujarnya sambil menunjuk kertas di dinding. “Kan udah ada pengumumannya di sana tuh. DILARANG MEMBAWA MAKANAN DAN MINUMAN DARI LUAR,” lanjutnya dengan sedikit menggurui.
“Tapi ini bukan botol berisi minuman biasa, Drach, ini nggak sama dengan air minum kemasan botol. Air minum di botol ini khusus disuling dari air embun, dan hanya toko khusus yang menjualnya. Ini juga buat Shadrach kok, supaya alergi Shadrach nggak kambuh,” jawabku keukeuh.
“Tapi, Ma … kalau Mama tetap mau pakai minuman itu, Mama akan merugikan kafetaria bioskop ini. Buang saja air minumnya, Ma, trus kita beli minuman di kafe itu,” kata Shadrach dengan nada membujuk.
Ah, aku tidak habis pikir, anakku yang baru menginjak umur 9 tahun itu sudah mengerti konsep ekonomi dan etika dengan begitu bagus. Akhirnya kami membeli minuman dari kafetaria bioskop, tapi air minum suling tetap tersimpan rapi di dalam tas. “Kalau bisa disimpan kenapa harus dibuang,” batinku.
Bagiku, Shadrach memang anak istimewa. Pendiriannya yang teguh dan idealismenya dalam memandang dunia sering membuatku tercengang. Pernah suatu kali, Shadrach mengalami kendala saat mengerjakan PR, tetapi bersikukuh tidak mau aku membantunya. Alasannya cukup mencengangkan. Dia merasa bila ibunya membantunya, maka itu adalah bentuk “ketidakadilan” bagi teman lainnya.
Mengapa tidak adil?
Bagi Shadrach, tidak semua temannya memiliki mama yang setiap saat ada di rumah untuk membantu mereka belajar. Ia menganggap jika ia berhasil mendapatkan nilai lebih tinggi daripada teman lainnya, itu karena dia memiliki hak istimewa, yaitu aku yang senantiasa berada di sisinya untuk membantunya belajar. Dia merasa seolah-olah dia “diuntungkan” oleh keadaan yang berpihak kepadanya.
Dari mana asal pemikiran ini? Yang jelas aku tidak pernah mengajarkannya berpikir seidealis itu. Setelah “debat kusir” yang panjang, akhirnya Shadrach mau dibantu belajar, itu pun karena guru kelasnya menjelaskan bahwa dibantu orangtua dalam belajar bukanlah bentuk “kecurangan”. Memang itulah tugas dan tanggung jawab orangtua untuk memastikan anaknya berhasil dalam studi mereka. Bila kedua orangtua bekerja, maka tanggung jawabnya akan dipindahkan ke guru les yang dipekerjakan. Sebuah pernyataan yang terdengar masuk akal bagi Shadrach.
Film apa yang sedang kami tonton bersama saat itu, aku tidak terlalu mengikuti alur ceritanya. Pikiranku melayang ke mana-mana tanpa dapat kukendalikan. Teringat masa-masa indah saat Shadrach masih kecil dan menggemaskan, kami begitu bahagia. Aku berusaha memahami perilakunya, kesukaannya, bahkan mendeteksi bakat-bakat yang ia miliki. Aku berusaha agar tidak ketinggalan hal sekecil apa pun untuk mendukung perkembangannya baik fisik maupun rohani.
Sebagai orangtua yang selalu mengikuti perkembangan ilmu parenting, aku mencoba menerapkan seluruh pengetahuan yang kumiliki ke dalam pola pengasuhan kami. Bahkan sebelum mengandung Shadrach, aku sudah mempersiapkan diri menjadi orangtua dengan mengikuti kelas parenting di gereja dan membaca banyak buku. Aku merasa bahwa sebagai mama, aku “overqualified” dan tahu yang terbaik untuk anakku.
Namun, ternyata aku SALAH….!!!
Ternyata aku bukanlah mama yang tahu segala yang “terbaik” untuk anakku.
Terbukti suatu hari aku dan Shadrach sedang berbaring di ranjang sambil bercerita dan bercengkerama. Waktu itu sudah menjelang akhir tahun dan kami sedang membicarakan tentang merayakan Natal. Banyak hal yang ingin kami lakukan bersama, termasuk ide untuk memberinya kado di hari Natal.
Tiba-tiba Shadrach berkata, “Ma, untuk hadiah Natal kali ini Shadrach boleh pilih sendiri nggak?” Sebelum aku sempat menimpali dalam keterkejutanku, buru-buru ia melanjutkan, “Shadrach tahu selama ini Mama selalu mencoba memberi kado terbaik (baca: bukan termahal) untuk Shadrach. Aku senang, Ma. Tapi …” ia ragu sejenak, lalu melanjutkan, “Kadang kado yang Shadrach inginkan berbeda sama sekali dengan yang Mama berikan.”
Aku tertegun mendengarnya. Segenap rasa bersalah, ragu-ragu, dan sedikit “ingin menyangkal” mulai menyeruak liar di pikiranku. Namun, aku tetap merangkum semuanya itu dalam senyuman tulus. “Seorang mama akan selalu berusaha memberi yang terbaik untuk anaknya,” batinku menghibur diri.
“Boleh nggak, Ma, Natal kali ini Shadrach aja yang pilih kadonya?” kata-kata Shadrach membuatku merasa seolah tertampar. Semua ilmu parenting yang kumiliki tiba-tiba seperti tidak berguna. Aku yang merasa sebagai mama yang sempurna ternyata bahkan tidak tahu benda macam apa yang menyenangkan hati anakku sendiri.
Ah, aku perlu lebih banyak belajar lagi soal parenting. Ini bukan tentang teori-teori di buku saja, bukan juga tentang konsep dalam ilmu psikologi anak, tetapi lebih kepada pengalaman dari sehari ke sehari. Aku sadar bahwa belajar dari buku sangat baik, dan pengalaman-pengalaman itu melengkapi perjalanan parenting kita, namun yang paling penting adalah perjalanan yang kita tempuh dalam membangun hubungan kasih yang kuat dengan anak-anak kita. Mendengarkan mereka. Mengenal mereka. Mendampingi dan menolong mereka.
Peristiwa tersebut membuatku tersadar untuk selalu mengingatkan diri sendiri agar saat Shadrach besar nanti, aku perlu mempercayainya dalam memilih jurusan, universitas, karier, bahkan jodohnya. Karena apa yang baik dalam pandanganku belum tentu baik pula dalam pandangan anakku. Aku akan mendampingi dia dengan nasihat dan arahan yang seperlunya, juga teguran yang akan menolong dia untuk terdidik dalam jalan kebenaran.
Sekarang Shadrach sudah duduk di kelas 12 dan sedang mencari informasi jurusan kuliah dan universitas yang sesuai baginya. Sebagai mama yang baik, aku telah berjanji akan mempercayakan hal ini kepadanya, dan mendukung keputusannya semampuku. Kiranya Tuhan menolongku menjadi pendamping yang selalu siap berjalan bersamanya meniti kehidupan dewasanya yang mulai menjelang.
Yuk berjalan berdampingan untuk
Menjadi Orangtua Sebaik yang Kita Bisa.
Kami akan menampilkan artikel, kesaksian, dan tips-tips parenting setiap minggunya.