Pandemi tiba di depan pintu rumah kami hanya beberapa bulan setelah pemerintah menutup aktivitas sekolah dan perkantoran. Ia mempertontonkan wajah buruknya dengan tidak tanggung-tanggung: Solita demam tinggi dan menggigil, matanya tidak mau membuka. Aku, ibunya, dicekam ngeri. Firasatku langsung berbisik ini Covid, kepanikanku beranak-pinak tak terkendali.
Apa yang harus kami lakukan?
Mengingat sejarah panjang kesehatan Solita yang memprihatinkan, Dokter menyuruh kami membawanya ke rumah sakit. Namun… bagaimana caranya menyerahkan putri kami yang berkebutuhan khusus ini ke rumah sakit untuk dirawat tanpa dapat kami tunggui? Solita tidak mampu berkomunikasi, ia bergantung sepenuhnya kepada kami.
Sekali lagi, aku lumpuh.
“Lekas, Ma, siapkan Solita dan semua keperluannya. Aku ke tetangga dulu untuk pinjam mobil,” ucap suamiku.
Namun ketika dilihatnya aku hanya bergeming memandangi putri kami, ia langsung mengerti: aku sedang tiba di salah satu titik-titik paling rawan itu. Titik ketika aku merasa tidak berdaya dan… rapuh.
Titik-titik rawan, kataku tadi.
Yang artinya ini bukan titik pertama. Juga bukan titik ketujuh, bahkan mungkin melampaui titik kesepuluh. Sejujurnya, telah lama aku berhenti menghitung, saking seringnya Solita jatuh sakit. Ia anak manis yang lahir dan tumbuh seperti anak-anak lain seumurnya, sampai segalanya berubah total ketika ia berusia satu setengah tahun. Tentu kami terkejut. Tidak terima. Tidak siap. Bukan ini kehidupan yang kuangankan dan kubisikkan dalam doa-doaku kepada Tuhan.
Sampai sekarang, aku tak dapat melupakan titik rawan pertama hampir 14 tahun berselang itu. Suatu malam Solita demam tinggi dan kejang. Kami melarikannya ke rumah sakit, dan ia dirawat di PICU. Koma.
“Ditemukan merkuri di otak putri Ibu dan kondisinya kritis. Saat ini kita tidak dapat melakukan apa-apa selain menunggu. Kalau Solita tidak segera sadarkan diri, kerusakan otaknya akan permanen,” kata dokter muram.
Maka hari demi hari, dalam pelukan ruang tunggu yang dingin, aku dan suamiku belajar, dengan cara paling sulit yang pernah kutahu, untuk menyerahkan anak kami ke tangan Tuhan. Bapa, kami tak sanggup menanggung beban ini sendirian. Kami tidak sanggup, Tuhan, kami tidak sanggup…
Solita akhirnya berhasil keluar dari koma, tetapi hidupnya, hidup kami, tidak pernah sama lagi. Dalam waktu singkat kami menyadari bahwa seluruh wastra kehidupan kami telah dirombak habis-habisan lalu ditenun ulang dengan sapuan liar warna-warna yang tak dapat kami namai.
Tapi kami tak punya waktu untuk menangis dan mengasihani diri. Solita membutuhkan orangtuanya, dan kami tidak punya pilihan selain menyeret diri untuk terus melangkah.
Dan akhirnya, perlahan, sedikit demi sedikit, kami mulai dapat menerima kondisi putri kami. Kerusakan otak Solita permanen, dan ia tumbuh menjadi anak sakit-sakitan berbungkus keheningan yang sulit ditembus. Ia sering mendadak kejang meski tubuhnya tidak demam. Ia tidak kunjung bersuara, dan tidak menengok sewaktu dipanggil. Ia tidak dapat menyampaikan apa yang dibutuhkannya. Hingga usianya sepuluh tahun, ia masih belum dapat menggosok gigi dan membersihkan diri, meski kami sudah membawanya ke berbagai dokter dan mengikuti terapi.
Dan akhirnya perlahan, sedikit demi sedikit, Tuhan yang Maha Baik juga memampukan kami untuk mengenali keindahan berupa putri kami ini, hadiah istimewa dari-Nya ini. Dan… Tuhan tidak berhenti sampai di sana. Dia tahu, seperti segala sesuatu yang telah dirusakkan oleh dosa, keindahan tersebut juga menjanjikan sisi-sisi yang menantang. Dia tahu, kami akan membutuhkan-Nya untuk dapat menanggungkan setiap kesulitan dan kepedihan dalam perjalanan kehidupan yang baru ini, perasaan kecewa dan frustrasinya, bahkan kesepiannya.
Apakah kami selalu tegar? Tidak. Apakah kami selalu dapat membungkam pertanyaan “kenapa” dan otomatis bersandar sepenuhnya kepada-Nya? Sayangnya tidak. Kami masih juga terseok dan jatuh-bangun. Dan meski semakin jarang, dalam kelemahan kami masih menjelma jadi orangtua sensitif yang merasa sedang dipertanyakan imannya.
Puncaknya adalah titik rawan terakhir ini—Solita positif Covid.
“Aku mengerti kamu khawatir,” ucap suamiku lembut. “Tapi ingat kan janji yang kita pegang sejak malam pertama Solita masuk PICU dulu itu? Kita boleh saja khawatir dan tidak tahu apa yang harus dilakukan, tapi Tuhan kita tahu apa yang dilakukan-Nya. Dia tidak pernah salah.”
Kususut air mataku lalu berdoa, dan sekali lagi menemukan kekuatan dalam ucapan Tuhan kepada Rasul Paulus, “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (2 Korintus 12:9).
Selesai mengucapkan “Amin,” aku memeriksa Solita dan mendapati demamnya turun. Aku yakin, ini bukan kebetulan, seperti yang berkali-kali terjadi sejak titik rawan pertama itu. Kami pun akhirnya memutuskan untuk merawat sendiri putri kami di rumah, dengan dipantau dokter dan didampingi sanak saudara yang terus membantu dan mendoakan kami dari jauh. Dan dua minggu kemudian, putri kami sudah sehat kembali.
Solita Ayu, itu nama lengkapnya. Ia hadiah dari Tuhan untuk kami, dan sekarang usianya sudah 15 tahun. Tidak berbeda dengan ibu-ibu lainnya, hatiku selalu membuncah dalam setiap pencapaian yang berhasil diraihnya. Hari pertama masuk sekolah di usia 8 tahun. Menoleh pertama kali saat namanya dipanggil di usia 10 tahun. Menulis abjad tanpa perlu dibantu di usia 15 tahun. Disusul bisa menutup pintu dan jendela.
Aku masih terus mendoakan akan tiba saatnya ia memanggilku “Mama”. Dan hari ketika ia dapat menaikkan doa sendiri. Tapi sekarang, menyaksikan ia mengayunkan tangan dan kakinya mengikuti petunjuk guru renang, air mata sukacitaku perlahan menitik dan hatiku meluap oleh rasa syukur. Terima kasih, Tuhan, kasih karunia-Mu selalu cukup bagi kami.
Anda diberkati dengan materi ini?
Pastikan Anda tidak ketinggalan membaca tulisan-tulisan terbaru kami lainnya.