Saat itu sekitar pukul 7:40 pagi pada tanggal 26 Agustus 2007, dan kami baru saja bersiap-siap untuk pergi ke gereja ketika telepon berdering.
“Siapa yang menelepon pada jam segini di hari Minggu?” tanya kami dalam hati.
Suami saya, Saw Keng, mengangkat telepon. Ternyata Si Yu, putra sulung kami. Dia sedang berada di Indonesia untuk perjalanan bisnis, namun ia menerima telepon dari penyelenggara Army Half Marathon. Putra kami yang lebih muda, Si Qiu, seorang kapten tentara di Angkatan Bersenjata Singapura, ikut serta dalam lomba, dan telah memberikan nomor telepon kakaknya sebagai kontak darurat.
Si Yu mendapat kabar mengejutkan: Si Qiu pingsan saat berlari.
Si Yu mendesak kami untuk bergegas ke bagian Kecelakaan & Gawat Darurat di Rumah Sakit Umum Singapura (SGH), di mana pacarnya, Yi Yong, seorang dokter yang bekerja di sana, akan menemui kami.
Dalam perjalanan menuju SGH, saya menelepon seorang teman gereja untuk memberi tahu pendeta kami dan mendukung kami dalam doa. Perasaan gelisah yang luar biasa memenuhi diri saya, tetapi saya mencoba untuk tetap tenang dan tidak membayangkan hal yang lebih buruk. Saw Keng menyetir dalam diam, menatap lurus ke depan, tetapi saya dapat melihat bahwa dia juga berusaha mengendalikan emosinya.
Putus asa untuk mendapatkan informasi lebih lanjut, saya memutuskan untuk menghubungi nomor rumah sakit yang diberikan Si Yu kepada saya. Ketika saya bertanya kepada orang tersebut bagaimana keadaan anak saya, ada jeda yang cukup lama.
“Tunggu sebentar,” katanya. Jantung saya langsung berdegup kencang. Pada saat itu, saya berseru kepada Tuhan untuk memohon belas kasihan. “Tolong, jangan biarkan apapun terjadi pada anak saya.”
Tetapi seorang dokter,mengangkat telepon saya dan dengan menyesal berkata, “Maaf, dia tidak berhasil.”
Saya tidak percaya dengan apa yang baru saja saya dengar. Saya menoleh ke arah suami saya dan berkata dengan sederhana, “Anak kita tidak selamat.”
Dengan shock, kami melanjutkan perjalanan dalam diam. Ketika kami sampai di rumah sakit, pertanyaan-pertanyaan mulai membanjiri pikiran saya. “Mengapa? Mengapa Tuhan tidak melindunginya? Mengapa departemen A&E tidak menolongnya? Bagaimana itu bisa terjadi?”
Saya pernah menemani mendiang ayah saya di departemen yang sama sebanyak tiga kali, tetapi kali ini, kami dibawa ke sebuah ruangan di seberangnya yang bertuliskan “DOA”-Dead On Arrival.
Dunia saya mulai menjadi kabur dan lutut saya lemas saat menyadari ini bukan mimpi.
Anak saya Si Qiu telah tiada.
Melalui Lembah Tergelap
Dia adalah putra tersayang, yang sangat saya cintai dan sayangi selama 25 tahun. Dia tampak seperti tertidur di tempat tidur, dengan selang yang dimasukkan ke dalam mulutnya dan senyuman di bibirnya. Ada raut kedamaian di wajahnya.
“Tante, dia tidak menderita,” kata Yi Yong dengan lembut. “Tidak ada rasa sakit, tidak ada rasa tidak nyaman.” Kata-katanya sangat menghibur hati saya.
Sambil terisak, saya teringat akan kata-kata dari 2 Korintus 5:6-8, yang sering disampaikan oleh pendeta saya kepada keluarga yang berduka. Itu juga menghibur saya dan mengingatkan saya bahwa Si Qiu aman dalam pelukan Yesus.
“Maka oleh karena itu hati kami senantiasa tabah, meskipun kami sadar, bahwa selama kami mendiami tubuh ini, kami masih jauh dari Tuhan, sebab hidup kami ini adalah hidup karena percaya, bukan karena melihat tetapi hati kami tabah, dan terlebih suka kami beralih dari tubuh ini untuk menetap pada Tuhan.”
Tetapi saya masih tidak dapat menahan diri untuk tidak bertanya mengapa Tuhan memanggil Si Qiu pulang . “Mengapa sekarang?” Saya bertanya. “Bagaimana saya akan melanjutkan hidup tanpa Si Qiu? Kami sudah begitu akrab; sukacitanya adalah sukacita saya, dan kesedihannya adalah kesedihan saya. Mengapa ini terjadi? Mengapa kami? Mengapa sekarang?”
Saw Keng juga memiliki pertanyaan yang sama. “Mengapa Engkau mengambilnya? Dia memiliki masa depan yang cerah. Dia anak yang baik, seorang Kristen yang baik. Mengapa Engkau tidak mengambil saya? Lagipula saya tidak punya banyak waktu lagi di dunia.”
Si Qiu baru saja keluar dari masa remaja yang sulit. Kalau dulu ia adalah anak yang hangat dan penuh perhatian, saat remaja, putra bungsu kami ini menjadi pendiam dan acuh tak acuh. Dia kesulitan di sekolah, hampir tidak pernah lulus ujian.
Setelah saya dan suami mengenal Tuhan Yesus Kristus dan mulai membawa kedua putra kami ke gereja pada tahun 1997, dia akan duduk di bangku dengan tangan bersedekap, untuk menampakkan ketidaktertarikannya dengan jelas. Selesai kebaktian selesai, saat kami mengobrol dengan teman-teman gereja, Si Qiu akan berlari pergi. Dia tidak ingin berada di sana lebih lama lagi. Beberapa rekannya menyebutnya”Si tukang cemberut”.
Perilaku buruk Si Qiu membuat kami sangat kuatir. Kami tidak tahu apa yang harus kami lakukan dengan anak kami yang sulit ini. Namun, suatu hari, pendeta kami mengingatkan kami sebagai orang tua untuk berhati-hati dalam berperilaku dan berbicara.
“Anak-anakmu akan mencerminkan dirimu,” katanya. “Orang tua harus memimpin. Kita harus sangat berhati-hati. Kita adalah contoh hidup bagi anak-anak kita.”
Hal ini mengubah cara pandang saya dalam menangani anak saya. Alih-alih hanya mengkhawatirkan Si Qiu, saya mulai mengambil pendekatan yang lebih positif. Alih-alih mengomelinya, saya mulai lebih sabar dan memberi semangat. Saya berdoa agar Tuhan mengubah hatinya. Kami juga meminta seseorang di gereja untuk mengajarinya, dan saudara yang mengajarinya itu menjadi semakin akrab dengannya.
Tuhan menunjukkan kepada kami bahwa Dia berdaulat, dan bahwa Dia akan mengubah Si Qiu pada waktu-Nya sendiri.
Pada tahun 2000, Si Qiu mengalami kecelakaan saat mengemudikan mobil kami. Mobilnya hancur, tetapi dia dapat keluar dari mobil tanpa cedera. Hal inilah yang menjadi titik balik dalam hidupnya. Setelah kejadian itu, Si Qiu mengatakan kepada kami bahwa yang paling mengejutkannya adalah respons kami. Alih-alih mengomelinya atau marah, kami justru menunjukkan kepedulian yang besar terhadap keselamatannya. Di kemudian hari, dia bersaksi bahwa kepedulian dan kasih kami mengingatkannya akan kasih Tuhan kepadanya.
Dalam kesaksiannya, dia menulis: “Saya diingatkan akan penderitaan dan kematian Tuhan Yesus yang menyucikan saya dari dosa-dosa, tetapi saya gagal untuk menghargai kasih-Nya dan terus berbuat dosa terhadap-Nya . . . Saya yakin bahwa saya membutuhkan hidup yang baru dan yang paling penting, saya menyadari bahwa saya kembali membutuhkan Tuhan Yesus dalam hidup saya.”
Si Qiu dibaptis pada bulan Desember 2002, dan hidupnya berubah total. Ia memutuskan untuk mendaftar sebagai seorang perwira di angkatan darat, dan akhirnya dianugerahi beasiswa untuk melanjutkan studinya di Australia.
Di gereja, ia menjadi manusia baru. Remaja Si tukang cemberut itu telah menjadi seorang pria sejati, yang selalu siap untuk membantu orang lain. Dia lambat marah dan cepat menolong. Setelah mengalami Tuhan dalam hidupnya, dia menghabiskan banyak waktu untuk membaca Alkitab dan berdoa. Salah satu frasa favoritnya adalah “takut akan Tuhan”, yang ia tandai di bagian pinggir Alkitabnya. Itu adalah sesuatu yang ingin ia hayati.
Jadi mengapa Tuhan mengambil Si Qiu sekarang, ketika dia baru saja mengubah hidupnya dan mencari Tuhan dengan sepenuh hati?
Malam itu, setelah kami pulang ke rumah, saya menangis sejadi-jadinya. Saya tidak bisa berhenti bertanya mengapa ini harus terjadi.
Namun, Tuhan mengerti kesedihan kami.
Dia mengingatkan saya bahwa Dia mengasihi saya dan Si Qiu, dan dengan kasih karunia-Nya, saya harus belajar untuk percaya dan mengasihi Dia juga. Mazmur 37:3-4 (TB) menjadi sumber kekuatan.
“Percayalah kepada TUHAN dan lakukanlah yang baik, diamlah di negeri dan berlakulah setia, dan bergembiralah karena TUHAN; maka Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu.”
Ketika saya merenungkan ayat-ayat ini dan mencoba mempraktikkannya, saya merasakan suatu perasaan lembut di dalam hati saya yang berkata: “Jadilah saksi-saksi-Ku.”
“Apa maksud-Mu, Tuhan?” Saya menjawab. “Engkau baru saja mengambil anakku. Bagaimana saya dapat menjadi saksi-Mu?”
Bisikan itu datang kembali: “Jadilah saksi-saksi-Ku.”
“Ini tidak mungkin terjadi kecuali Engkau menolong saya, Tuhan,” gumam saya dalam hati.
Tetapi saya tahu bahwa Tuhan ingin kami berbagi tentang kasih dan anugerah-Nya di rumah dan di tempat kerja, dan memikirkan beberapa orang untuk mendengar kesaksian saya. Dengan penuh kesakitan dan ketaatan, saya tahu saya harus belajar mempercayai Tuhan Yang Mahakuasa untuk menolong saya menjawab panggilan-Nya, selangkah demi selangkah.
Di Samping Perairan yang Tenang
Selama beberapa hari berikutnya, saya merasakan kedamaian mulai menggantikan kekacauan di dalam diri saya. Mungkin, pikir saya, sesuatu yang baik akan muncul dari kematian Si Qiu. Beberapa teman dan kerabat menyemangati saya dengan Yohanes 12:24:
“Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah.”
Di upacara pemakaman, saya mulai melihat kebenaran ini terungkap. Ketika saya melihat lebih dari 800 orang memenuhi tempat ibadah, saya menyadari bagaimana Si Qiu akan terus menyentuh hidup orang lain bahkan setelah kematiannya.
Dari teman sekolah dan politeknik hingga teman universitas dan rekan tentara, mereka datang untuk melihat sendiri bagaimana umat Kristiani merayakan hidup dan menghadapi kematian, serta apa arti iman kepada Tuhan kita. Mereka melihat bahwa kita tidak perlu takut pada kematian, karena kita memiliki harapan dan janji akan kehidupan yang kekal.
Sebagai gereja, kami memiliki kesempatan untuk memberikan kesaksian yang besar bagi Tuhan. Saya percaya bahwa banyak dari mereka yang datang dapat menyaksikan kasih Allah, yang terwujud melalui dukungan yang kami terima dari sesama orang percaya dan melalui kesatuan gereja. Kami berdoa agar pesan-pesan harapan yang disampaikan selama ibadah dapat berbicara kepada hati mereka yang hadir, dan melalui kepergian Si Qiu, beberapa orang akan mempertimbangkan untuk beriman kepada Tuhan Yesus.
Tuhan juga memberikan kami penghiburan pribadi dengan memberikan pemahaman baru tentang kehidupan putra kami.
Si Qiu tidak banyak berbagi tentang apa yang dia lakukan di militer dengan kami, tetapi sekarang, kami melihat betapa banyak yang telah dia capai. Sebagai kadet perwira dalam pelatihan, kami diberitahu bahwa dia telah menyelesaikan banyak kursus dan memenangkan penghargaan. Di pemakaman, rasa bangga memenuhi hati kami saat menyaksikan ratusan tentara berjajar di jalan memberikan penghormatan terakhir yang megah kepada putra kami. Si Qiu telah menjadi prajurit Kristen yang baik.
Apa yang lebih menghibur kami adalah cerita-cerita tentang dampak yang telah dibuat oleh putra kami dalam kehidupan orang lain.
Dari komandan dan teman-temannya hingga bawahannya, mereka menggambarkan Si Qiu sebagai seorang prajurit yang dihormati, teman yang setia, saudara sejati, dan seorang Kristen yang setia. Di gereja, banyak yang memujinya karena selalu siap membantu, bahkan dalam hal-hal terkecil. Jelas bahwa Tuhan telah mengubah hidup Si Qiu sehingga ia dapat menjalani beberapa tahun terakhirnya sebagai seorang Kristen yang berpengaruh.
Si Qiu telah melayani Tuhan dan negaranya dengan sepenuh hati. Ia telah mengakhiri pertandingan yang baik, mencapai garis akhir dan memelihara iman (band. 2 Timotius 4:7). Saw Keng dan saya tidak bisa lebih bersyukur lagi kepada Tuhan karena telah memakai putra kami, baik dalam hidup maupun dalam kematiannya.
Dihibur oleh Gada dan Tongkat-Nya
Sudah 15 tahun sejak Si Qiu meninggal, tetapi kami masih sangat merindukannya. Seringkali, kami teringat akan waktu yang dia habiskan bersama kami—saat kami makan makanan kesukaannya, mencium pengharum mobil favoritnya, membaca Alkitab yang ditandainya, dan melihat wajah-wajah pemuda seusianya.
Setiap kali kesedihan menghujam kami lagi, maka oleh kasih karunia Tuhan kami dapat menerima kepergiannya. Kami selalu diingatkan bahwa kami tidak kehilangan putra kami, karena kami tahu di mana dia berada.
Kematian bisa menyembunyikan tetapi tidak memisahkan; Si Qiu hanya berada di sisi lain Kristus. Dia bersama Kristus dan Kristus bersama kami, Kami tetap bersatu dalam Kristus.
Namun, Tuhan telah menghibur kami dengan berbagai cara, terkadang melalui orang lain, terkadang langsung. Dia terus menyembuhkan kesedihan kami.
Di gereja, para pendeta telah membantu menguatkan kami dengan nasihat rohani dan bimbingan mereka, mengajari kami untuk mengambil perspektif alkitabiah dalam perjalanan kami menuju pemulihan. Rekan-rekan gereja telah berkumpul di sekitar kami, menghibur dan menguatkan kami dengan cerita tentang bagaimana Si Qiu telah menyentuh hidup mereka. Dan Firman Tuhan telah memberikan penghiburan besar dari setiap halamannya.
Kekuatan dan kasih karunia Tuhan telah membantu kami untuk terus maju dan melanjutkan hidup.
Si Yu dan Yi Yong, yang telah menikah, telah memberikan kami tiga cucu yang berharga, yang telah membawa banyak kegembiraan dan sukacita bagi kami.
Saw Keng tetap aktif di gereja; dia terlibat dalam Pelayanan Handyman, yang menunjukkan kasih mereka kepada rumah Tuhan dengan membantu perbaikan dan pemeliharaan di gereja dan taman kanak-kanak.
Kami juga aktif dalam pelayanan musik Kanton, yang bertujuan untuk mendorong dan menguatkan para lansia melalui himne. Selain melayani para penghuni panti jompo, kami juga telah mengikuti misi di berbagai daerah.
Dan, kami terus berdoa agar orang-orang yang kami kasihi dapat mengenal Tuhan. Selama bertahun-tahun, kami bersukacita melihat beberapa kerabat menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat mereka
Tuhan Gembala Kami
Melalui semua ini, Tuhan telah mengajarkan kami untuk percaya kepada-Nya—bahkan ketika pertanyaan kami tetap tidak terjawab.
Memang, selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun setelah hari naas itu, kami menyadari bahwa iman bukanlah pelindung atau bantalan yang melindungi kami dari tajamnya kehidupan.
Kematian mendadak Si Qiu telah menguji iman kami. Kami belajar bahwa kita dapat mempercayai Tuhan dan tetap terluka; iman yang didasarkan pada kesejahteraan kita tidak akan bertahan lama.
Kisah Ayub dalam Alkitab memberikan banyak pelajaran berharga. Ketika Ayub yang sukses mengalami kehilangan harta, keluarga, dan kesehatan, dia menolak untuk berpaling dari Tuhan, malah mengatakan: “Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” Dia juga berkata: “TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!” (Ayub 2:10, 1:21).
Ketika kami kehilangan putra kami, Saw Keng dan saya juga harus bertanya pada diri sendiri apakah iman kami bergantung pada Tuhan yang memberikan apa yang kami inginkan, ataukah iman kami bersandar pada kasih Tuhan yang besar yang mengirimkan Anak-Nya untuk mati bagi kami.
Salib menunjukkan kepada kita mengapa kita bisa mempercayai Tuhan. Tuhan memahami kesakitan kita, karena Dia juga melihat Anak-Nya mati di kayu salib demi kita. Dalam malam tergelap jiwa, kita memiliki kebenaran ini untuk digenggam: “Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?” (Roma 8:32).
Kami akan selalu percaya bahwa Tuhan dapat membawa kebaikan dari sebuah tragedi. Di saat kami merasa sangat putus asa setelah kematian putra kami, kami diingatkan untuk tetap percaya kepada-Nya bahwa Dia memegang kendali. Kami masih memiliki banyak pertanyaan yang belum terjawab, tetapi Filipi 3:7-9 mengingatkan kami bahwa apa yang telah kami peroleh di dalam Kristus jauh lebih besar daripada apa pun yang telah hilang:
“Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus, dan berada dalam Dia bukan dengan kebenaranku sendiri karena mentaati hukum Taurat, melainkan dengan kebenaran karena kepercayaan kepada Kristus, yaitu kebenaran yang Allah anugerahkan berdasarkan kepercayaan.”
Orang-orang bertanya kepada saya: “Mengapa Allah mengambil anak Anda?” Jawaban saya adalah: Saya tidak tahu, tetapi saya akan terus memiliki iman dan pengharapan kepada-Nya. Saya percaya bahwa Allah berdaulat. Suatu hari nanti, semua pertanyaan kita akan terjawab. Dan suatu hari nanti, kami akan bertemu dengan anak kami lagi.
“Mazmur Daud. TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku.
Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau,
Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku.
Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya.
Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman,
aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku;
gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku.”
–Mazmur 23:1-4