Merokok. Mencuri. Pacaran. Bergaul dengan teman yang salah.

Jika Anda adalah orangtua seorang remaja, hal-hal tersebut mungkin sering membuat Anda khawatir.

Tentunya ini hal yang wajar, mengingat ketika anak-anak memasuki usia remaja, mereka cenderung jadi kurang ceria, tidak banyak bicara, dan sulit diatur. Malah, kemungkinan besar, mereka lebih sering cemberut, lebih pendiam, dan semakin keras kepala. Semua ini membuat kita bertanya-tanya, apa sih yang mereka lakukan, atau apa sih yang sedang mereka pikirkan?

Tidak mengherankan, karena masa remaja adalah saatnya anak-anak kita mencari identitas diri, membentuk pikiran sendiri, ingin lebih bebas dan mandiri.

Amsal 22:6 (BIMK) mengajarkan kepada kita untuk “Ajarlah seorang anak cara hidup yang patut baginya, maka sampai masa tuanya ia akan hidup demikian.”

Namun, upaya terbaik kita dalam mengajarkan jalan Tuhan kepada remaja kita dan menghindarkan mereka dari jalan yang salah bisa saja berbalik jadi masalah. Bahkan, kita mungkin malah membuat mereka jengkel—sesuatu yang dengan tegas diingatkan oleh Efesus 6:4 (TB): “Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.”

Namun, bagaimana caranya agar kita tidak membuat jengkel remaja yang super duper sensitif ini? Dan mengapa anak-anak yang dulu mudah bergaul sekarang tumbuh menjadi remaja yang sulit dihadapi?

Ke Mana Perginya Anak Saya yang Patuh Ini?

Faktanya, ada alasan biologis dan sosial yang mendorong remaja melakukan “perilaku menyerempet bahaya” seperti merokok, mencuri, dan bergaul dengan teman yang mungkin tidak kita sukai. Dalam webinar yang saya ikuti, Francis Lee, seorang konselor senior, menunjukkan penelitian yang mungkin dapat menjelaskan pertanyaan ini.

Menurut penelitian University of Birmingham, remaja dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut ini:

Usia:

Otak manusia baru berkembang sepenuhnya pada usia sekitar 25 tahun. Artinya, pada remaja, beberapa bagian otak yang mengendalikan emosi dan penalaran masih berkembang. Oleh karena itu, seorang remaja mungkin lebih emosional dan impulsif.

Pandangan mereka mengenai risiko dan manfaat:

Karena keterampilan berpikir mereka belum sepenuhnya berkembang, remaja mungkin belum memiliki pemahaman yang baik tentang konsekuensi dari risiko yang mereka ambil.

Sebagian remaja mungkin menganggap hal-hal yang menyerempet bahaya layak untuk dilakukan, karena dengan begitu mereka dipuji teman-teman sehingga mereka merasa dimengerti, diterima, dan dimiliki.

Pengaruh teman sebaya:

Remaja dipengaruhi oleh keinginan untuk diterima dan menjadi bagian dari kelompok. Jika merasa tidak diterima, mereka dapat mengalami kecemasan sosial dan takut diejek atau ditolak. Mereka bahkan merasa kehilangan sesuatu yang penting.

Karena alasan-alasan ini, rasanya bijaksana apabila kita sebagai orangtua memahami dan menjangkau mereka pada level mereka, bukan level kita sendiri. Ini berarti kita perlu memperhatikan keadaan emosi mereka, kemampuan mereka untuk bernalar dan merasionalisasi, dan keinginan mereka untuk diterima.

Alih-alih terus-menerus menegur atau mengomeli mereka atas perilaku mereka, ada baiknya kita mempertimbangkan hal-hal berikut:

  1. Kita Sendiri Perlu Mematuhi Perintah Tuhan

Tampaknya cukup jelas bahwa kita harus melakukan apa yang kita ajarkan, menaati Firman Tuhan seperti yang selalu kita ajarkan kepada anak-anak kita. Kita perlu mendengar pengingat ini, terutama saat kemarahan kita berkobar dan pertengkaran terjadi di rumah.

Keluarga adalah fondasi dalam membangun iman anak-anak kita. Menanamkan iman kita dalam diri anak-anak kita tidak hanya berarti memberi tahu mereka, tetapi juga menunjukkan kepada mereka bagaimana iman kita diungkapkan dalam kehidupan nyata.

Lebih baik kita memperlambat langkah, dan membiarkan kata-kata dalam Ulangan 6:4-9 sekali lagi meresap ke dalam jiwa kita:

Keluarga adalah fondasi dalam membangun iman anak-anak kita. Menanamkan iman kita dalam diri anak-anak kita tidak hanya berarti memberi tahu mereka, tetapi juga menunjukkan kepada mereka bagaimana iman kita diungkapkan dalam kehidupan nyata.

“Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu.”

  1. Mengajak Mereka Berpartisipasi dalam Peraturan Keluarga dan Pengambilan Keputusan

Pernahkah Anda mencoba mengajak anak remaja Anda bercakap-cakap, dan hanya dijawab “tidak” atau “entahlah”?

Sebagai seorang konselor senior berpengalaman lebih dari 14 tahun—dan juga ayah dari tiga anak—Francis berkata sering mendengar dari remaja yang sakit hati bahwa orangtua mereka cenderung terlalu ketat dalam menetapkan peraturan dan menjatuhkan hukuman. Orangtua juga cenderung menutup segala bentuk protes atau ketidaksetujuan, sehingga anak remaja mereka merasa frustrasi, menarik diri, dan menjauh dari orangtua.

Salah satu cara untuk menghindari hal ini adalah dengan mengajak remaja kita untuk ikut ambil bagian dalam peraturan keluarga dan pengambilan keputusan. Francis menyarankan agar kita meminta mereka mengangkat topik apa pun yang mungkin ingin mereka diskusikan, dan mengafirmasi ketika mereka bersikap terbuka. Jika mereka hanya melontarkan jawaban-jawaban singkat, kita dapat dengan lembut meminta mereka menjelaskan lebih lanjut.

Hindari menyensor atau mengkritik remaja ketika mereka mengatakan sesuatu yang mungkin kita tidak setujui. Dan jika mereka dengan sengaja menyarankan hal-hal tidak masuk akal untuk memprovokasi kita, cobalah untuk mengabaikannya—nanti ada waktunya kita memberi tahu mereka bahwa perilaku tersebut tidak patut.

Mari kita berusaha untuk terhubung dengan remaja kita terlebih dahulu, sebelum mengoreksi mereka.

Francis juga menemukan hal bermanfaat: menyusun ulang peraturan keluarga sehingga nadanya lebih positif. Caranya, dengan memberi tahu apa yang kita harapkan agar dilakukan remaja kita, dan bukannya apa yang tidak boleh mereka lakukan.

Misalnya, daripada menyatakan, “Dilarang merokok” kita bisa mengatakan: “Tahu, nggak? Kamu bisa lebih sehat kalau tidak rokok lho.” Atau, daripada mengatakan, “Bisakah kamu berhenti berteriak?” kita bisa berkata: “Menyenangkan sekali kalau kamu bisa berbicara dengan lembut dan jelas.”

Dan jika mereka menaati peraturan-peraturan ini, kita bisa memuji usaha mereka.

Francis menemukan bahwa ketika remaja diberi hak untuk bersuara dalam mendiskusikan dan menyepakati peraturan, mereka akan merasa bahwa pandangan mereka dihargai. Dengan demikian mereka juga diberi kesempatan untuk mendengarkan dan menghargai pandangan orang lain—seperti pandangan kita—dan belajar menerima konsekuensi dari keputusan mereka.

  1. Bantu Mereka Memahami Risikonya

Sebagai orangtua, kita tahu bahwa mencoba-coba pornografi, bermain game berlebihan, dan pacaran daring sangatlah berisiko. Namun, remaja kita mungkin belum sepenuhnya memahami konsekuensi dari perilaku tersebut, pandangan mereka tentang risiko dan manfaat masih dipengaruhi faktor usia dan tekanan dari teman sebaya.

Jika kita mendapati anak remaja kita terlibat dalam hal-hal seperti itu, reaksi pertama kita mungkin akan memarahi, mengomel, atau menghukum mereka. Namun, ini mungkin hanya akan membuat mereka jengkel dan menarik diri atau memberontak, kata Francis.

Mari kita berusaha untuk terhubung dengan remaja kita terlebih dahulu, sebelum mengoreksi mereka. Seperti dinyatakan dalam Yakobus 1:19, ini berarti “cepat mendengarkan, lambat berbicara, dan lambat marah”. Alih-alih memikirkan cara untuk langsung membantah atau menegur mereka, Francis menyarankan agar kita meluangkan waktu untuk mendengarkan remaja kita dengan tulus terlebih dahulu.

Kita dapat membantu mereka memahami sendiri risikonya, dengan mengajukan pertanyaan panduan seperti:

“Tahukah kamu kenapa Mama dan Papa tidak ingin kamu keluar lebih dari jam 10 malam?”

“Menurutmu apa yang mungkin terjadi, jika kamu menemani temanmu mencuri? Apa risiko yang mungkin terjadi?”

“Apa yang dapat kamu lakukan jika seorang teman daring menanyakan hal-hal yang membuat kamu tidak nyaman?”

Dengan melakukan hal ini, kita dapat membantu remaja kita membayangkan skenario tertentu dan dampaknya, lalu mempertimbangkan risiko dan manfaatnya.

Dengan begitu, kita juga dapat menilai apakah peraturan dan batasan keluarga tertentu mungkin diperlukan, atau apakah kita perlu lebih sering memuji dan mengafirmasi anak remaja kita, sehingga mereka tidak mencari pujian dan afirmasi dari pergaulan yang salah, kata Francis.

Mencari Hikmat dari Allah

Kita mungkin tergoda untuk langsung bertindak ketika mengetahui perilaku remaja kita yang menyerempet bahaya. Kita juga mungkin terus-menerus khawatir bagaimana mengubah atau melindungi mereka.

Namun, sementara anak-anak kita menjalani masa remaja mereka, marilah kita mencoba memahami mereka dengan bijak dan penuh empati. Dan marilah kita berusaha untuk menaati Firman Tuhan dalam kehidupan kita sendiri, sambil mengundang anak-anak kita untuk berpartisipasi dalam kehidupan keluarga kita, serta membimbing mereka dalam memahami risiko dan manfaat dari tindakan mereka.

Dan yang terpenting, marilah kita berdoa dan menjadi perantara bagi anak-anak kita. Marilah kita memohon hikmat dari Allah, “yang memberi dengan murah hati kepada semua orang tanpa mencari-cari kesalahan” (Yakobus 1:5).

Artikel ini pertama kali diterbitkan di Biblical Wisdom for Parents © Our Daily Bread Ministries dengan judul
How Not to Esperate Your Teen

Penerjemah: Marlia Kusuma Dewi
Penyelaras Bahasa: Rosi Simamora

Yuk berjalan berdampingan untuk

Menjadi Orangtua Sebaik yang Kita Bisa.

Kami akan menampilkan artikel, kesaksian, dan tips-tips parenting setiap minggunya.

Klik untuk SUBSCRIBE