“Seorang Sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi saudara dalam kesukaran.”
(Amsal 17:17)

Persahabatan itu terbina dari sebuah perjalanan kebersamaan. Perjalanan yang dirangkai dengan berbagai emosi dan mungkin kesalahpahaman, dari ketidakmengertian dan ketidaktahuan menjadi tahu. Sahabat yang tidak hanya ada di saat suka, tetapi juga asyik diajak curhat. Sahabat yang menyediakan bahu untuk bersandar, yang mengulurkan tangan bahkan menggendong saat kita jatuh terpuruk. Sahabat yang bersamanya kita bisa berbagi tawa dan tangis.

Bersahabat dengan teman sebaya ataupun yang umurnya lebih tua dari kita adalah sesuatu yang wajar. Namun, bagaimana dengan persahabatan yang terjalin antara orangtua dan anak? Meski tidak banyak yang berhasil menjalin persahabatan yang unik ini, namun pada zaman sekarang banyak orangtua yang ingin menerapkan sistem pengasuhan melalui persahabatan dengan anak.

Memang ada beberapa yang mengalami kesulitan menerapkannya, karena beberapa faktor yang menghalangi, seperti:

  • Hierarki dan relasi orangtua-anak menjadi salah satu penghalangnya. Sikap “melindungi” yang cenderung otoriter menjadi salah satu penghalang persahabatan ini. Belum lagi sikap orangtua yang selalu merasa diri paling tahu dan paling benar selalu berhasil membuat anak enggan mendekat dan bercerita.
  • Gap-Antargenerasi juga menjadi jurang yang menjauhkan persahabatan orangtua dan anak. Perlu disadari bahwa anak membutuhkan rasa aman ketika berelasi. Aman untuk menceritakan kegelisahannya, aman untuk berbagi kesalahan yang mungkin telah dilakukan. Aman untuk menjadi dirinya sendiri. Sayangnya, sering kali sebagai orang yang lebih dulu hadir di dunia dan sudah makan asam garam kehidupan, orangtua merasa lebih tahu dan menjadi sok tahu tentang kehidupan anak-anak mereka. Sikap yang demikian membuat komunikasi jadi bersifat satu arah, sebagai bentuk perintah dan keharusan. Padahal sebagai sahabat orangtua sebaiknya berproses dan bertumbuh bersama anak-anak. Memahami, mengerti, dan menerima mereka apa adanya, seperti Allah yang menerima kita dengan segala ketidaksempurnaan kita.

Cara kita berelasi dan menerapkan pola asuh kepada anak-anak tidak terlepas dari pengalaman hidup dan pola asuh yang kita terima dari orangtua kita dahulu. Ada pengalaman yang menyenangkan dan tidak jarang meninggalkan keterlukaan. Pengalaman keterlukaan inilah yang sering kali terus menetap dan bersembunyi di dalam diri kita, yang kemudian membelenggu setiap ingatan dan emosi yang pernah dialami saat masih kecil (wounded inner child). Lalu hal ini seolah menjadi “utang eksistensial” yang harus dibayar melalui anak-anak sehingga tanpa kita sadari, akhirnya kita melukai mereka. Contoh: orangtua yang sewaktu kecil hidup dalam pengabaian akan merasa perlu mencari cara untuk memenuhi kebutuhan mereka akan penerimaan diri dan rasa aman. Hal ini menjadi semacam utang eksistensial yang dibayar melalui anak-anaknya, bisa dalam bentuk balas dendam yang sama seperti yang orangtua dulu alami atau sebaliknya menggantikan kebutuhan yang terhilang itu dengan cara bersikap overprotective kepada anak-anaknya.

Membangun Persahabatan dengan Anak

Persahabatan tidak dibangun dalam satu malam, dan tidak mendadak terjadi ketika anak memasuki usia remaja. Persahabatan dengan anak dapat dimulai sejak anak masih dalam kandungan. Dibangun setahap demi setahap, sampai akhirnya buah persahabatan dapat dipetik saat anak membutuhkannya, biasanya mulai terasa ketika anak memasuki masa rawan usia remaja. Usia di mana mereka sedang dalam tahap kebimbangan dan pencarian jati diri. Usia di mana mereka butuh seseorang yang dapat memahami kegalauan hatinya.

Untuk menjadi sahabat bagi anak, orangtua memainkan dua peran yang tidak mudah. Di satu pihak menjadi sahabat, berarti selevel dengan anak-anak. Di pihak lain, status sebagai orangtua yang mendidik, mengasihi, dan mengajarkan juga tidak boleh dilupakan.

Ketika berada dalam satu level dengan anak, orangtua belajar menempatkan diri dan berempati dalam situasi dan kondisi anak saat ini, bukan dalam situasi orangtua dulu saat seusia anak.

Dalam status kita sebagai orangtua, kita perlu menerapkan 3A: Asuh, Asih, dan Asah.

Asuh, berhubungan dengan kebutuhan biomedis. Terkait dengan kebutuhan asupan gizi, tempat tinggal, pakaian, pendidikan, dan kesehatan.

Asih, berhubungan dengan kebutuhan emosional, yang meliputi kebutuhan akan rasa aman, kasih sayang, pujian, dihargai, dan diperhatikan.

Asah, berhubungan dengan kebutuhan stimulasi mental, yang dapat dibentuk melalui kebersamaan dalam aktivitas hidup keseharian. Menanamkan wawasan pengetahuan, etika, budaya, kepribadian, nilai-nilai agama dan ke-Tuhan-an, kecerdasan, kemandirian, keterampilan.

Jadi apa yang dapat dilakukan orangtua bagi anak? Be a F.R.I.E.N.D.

F ree Space

Berikan ruang yang cukup bagi anak untuk menjadi dirinya sendiri. Menerima mereka apa adanya, tidak membandingkan dengan orang lain. Mengasihi dengan kasih Allah yang tak bersyarat. Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkanNya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras dari pada mereka semua, tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertaiku.” 1 Korintus 5:10

R espect

Menghormati setiap keputusan yang diambil oleh anak, dengan memberikan pengarahan yang tidak menggurui. Bukan berarti mengiyakan tanpa mendampingi dan tanpa mengajarkan nilai-nilai yang benar di mata Allah. ”Seorang kawan memukul dengan maksud baik, tetapi seorang lawan mencium secara berlimpah-limpah.” Amsal 27:6

I ntimate

Kebersamaan sangat penting untuk membangun keintiman dengan anak. Persahabatan terbangun karena adanya kedekatan. Menjadi telinga saat mereka membutuhkan dan menyediakan bahu untuk mereka menumpahkan tangis. Sama seperti Yesus yang membangun kedekatan dengan anak-anak. “Biarkanlah anak-anak itu datang kepadaku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah.” Markus 10:14

E ncourages

Memberi kesempatan dan mendorong anak untuk berani bertanggung jawab terhadap pilihannya dan menghadapi konsekuensinya dengan tidak meninggalkannya sendirian. “Sebab Tuhan, Dia sendiri akan berjalan di depanmu, Dia sendiri akan menyertai engkau, Dia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau, janganlah takut dan janganlah patah hati.” Ulangan 31:8

N o Judging

Tidak menghakimi, tidak melabel anak dengan label-label negatif yang membuat anak kehilangan identitas dirinya. Jangan hanya menyoroti kegagalan mereka, tetapi juga mengapresiasi keberhasilan dan hal-hal baik yang mereka capai. Anak butuh diterima, dihargai, dan dikasihi agar dapat bertumbuh dalam kedewasaan emosi dan kesehatan mental yang baik. “Jawabnya: ‘Tidak ada Tuhan.’ Lalu kata Yesus: ‘Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi mulai sekarang.’” Yohanes 8:11

D o & be a friend

Melakukan hal yang baik dan menjadi teladan bagi anak. Anak melihat dan melakukan apa yang dilihatnya. Satu teladan yang baik lebih bermakna daripada seribu kata-kata. Yesus memberi teladan kasih yang nyata dengan mengorbankan diri-Nya untuk membebaskan manusia dari keberdosaan dan maut.

“Children have to be educated, but they have also to be left to educate themselves—Anak harus dididik, tapi berikan waktu bagi mereka untuk mendidik diri sendiri.” –Ernest Dimnet

 

Yuk berjalan berdampingan untuk

Menjadi Orangtua Sebaik yang Kita Bisa.

Kami akan menampilkan artikel, kesaksian, dan tips-tips parenting setiap minggunya.

Klik untuk SUBSCRIBE