Enam bulan lalu, secara tak sengaja saya melihat video audisi American Idol di wall akun Facebook saya. Seorang pria muda bertubuh tambun bernama Iam Tongi membawakan potongan lagu Monsters yang ditulis dan dipopulerkan oleh James Blunt. Lagu yang sangat menyentuh itu didedikasikan pria asal Kahuku, Hawaii itu bagi almarhum ayahnya, Rodney, yang telah berpulang beberapa bulan sebelumnya.
Tiga juri American Idol season ke-21 pada tahun 2023 tersebut: Katy Perry, Luke Bryan, dan penyanyi idola saya, Lionel Richie, tak kuasa membendung air mata. Mereka langsung mengganjarnya dengan tiket lolos ke tahap final bersama para kontestan terbaik lainnya untuk berjuang ke grand final. Seperti prediksi saya dari awal, Tongi memenangkan acara itu. Di panggung kemenangan itu Tongi dan James Blunt tampil bersama menyanyikan lagu Monsters dengan nuansa yang sangat emosional.
Salah satu lirik kunci dari lagu itu menggambarkan dengan sangat jitu tentang apa yang menjadi goal akhir dari para ayah. Yakni, selain menghadapi monster tanpa henti, juga sembari mempersiapkan generasi tangguh berikutnya, yang bila tiba waktunya, akan meyakinkan ayah mereka, bahwa mereka bisa pergi dalam damai dengan kepala tegak dengan berkata, “So, daddy, won’t you just close your eyes? Don’t be afraid! It’s my turn to chase the monsters away!” (Jadi, Ayah, maukah Ayah menutup mata Ayah? Jangan takut, sekarang giliranku mengusir para monster itu pergi).
Pada Mei 2023 lalu, untuk pertama kalinya setelah hampir dua tahun tak lagi bermain sepeda, anak sulung kami, Samuel, mulai lagi menjajalnya. Dia melintasi ruas jalan di mana dia pernah mengalami insiden yang tak terduga, yang menyebabkan salah satu tulang tangan kirinya patah akibat sepedanya jatuh. Rupanya ia kehilangan keseimbangan setelah melindas polisi tidur berukuran tanggung yang belum lama dibuat. Akibat kecelakaan yang hanya berjarak sekitar 30 meter dari rumah tersebut, Samuel harus menjalani dua kali pembedahan untuk pemasangan dan pembukaan pen beberapa bulan kemudian.
Samuel bertutur, ketika pertama sekali memegang dan mengendarai sepedanya kembali, ia teringat pada pengalaman traumatis hampir dua tahun lalu itu. “Tadi Abang keringat dingin bawa sepedanya. Abang masih takut, tetapi beranikan diri saja,” ungkap dia.
Dalam sebuah kesempatan tak lama sebelumnya, Samuel juga membuat pengakuan yang mengejutkan kami, bahwa sebenarnya ketika dia harus menjalani operasi perbaikan tulang tangannya pada September 2021, dia sangat ketakutan. Dia trauma dengan rumah sakit setelah menyaksikan adik bungsunya, Aviel, harus menjalani masa perawatan yang sangat berat selama tujuh bulan pada rentang Oktober 2020-April 2021 di rumah sakit dan ternyata tak tertolong. Menjalani perawatan itu bagi Samuel sangat menyakitkan, dan kehilangan adiknya telah melipatgandakan rasa sakit dan trauma itu pada jiwanya.
Sebenarnya, bukan cuma dia, kami sekeluarga juga trauma dengan kecelakaan yang melukai diri hingga ke tulangnya itu. Apalagi karena kejadian itu hanya berselang sekitar tiga bulan setelah kami memakamkan adiknya, dan kami masih dalam tahap awal menjalani masa duka kami. Kami spontan histeris dan ketakutan kalau-kalau terjadi sesuatu yang lebih buruk. Kami tidak mau sesuatu yang buruk terjadi lagi pada anak kami yang tersisa. Kami tidak mau terjadi kehilangan lagi. Bahkan sekadar cacat kecil sekalipun bagi kami itu semacam teror horor.
Sayangnya, tetap saja itu adalah kabar buruk. Hasil rontgen menunjukkan ada patahan yang harus dioperasi. Dan untuk operasinya saya yang harus menemani di rumah sakit. Kini saya sendiri juga harus berhadapan dengan monster trauma saya dengan rumah sakit dan ketakutan akan penderitaan yang mendera anak-anak.
Berada di rumah sakit pada hari itu menempatkan saya dan Samuel pada front pertarungan yang sama, yakni berhadapan dengan monster trauma kami. Samuel kini harus berhadapan langsung dengan monster ketakutannya akan rumah sakit, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya harus merasakan pisau bedah operasi. Keadaan itu memaksa Samuel merasakan betapa rapuhnya kehidupan ini dan harus membiasakan diri.
Untuk saya, sebagai seorang ayah, menjadi pengalaman kedua kalinya harus menyaksikan langsung darah daging kami pasrah di atas ranjang dan didorong menuju meja operasi tanpa ada sesuatu yang bisa saya lakukan untuk mencegahnya. Wajah Samuel sangat tegang karena ketakutan. Saya memutuskan untuk meminta izin mengantarnya hingga di ruang operasi. Sebelum saya meninggalkan dia sendirian bersama dokter dan tim medis yang mengelilinginya, saya meyakinkan Samuel bahwa semuanya akan baik-baik saja dan berdoa bersamanya. Saya harus melawan dengan keras monster trauma saya, demi memastikan kehadiran saya bagi Samuel dalam masa sulitnya, sekaligus membimbingnya melalui pertarungan terbesar pertama sekali dalam hidupnya itu.
Samuel dan kami sekeluarga akhirnya bisa melewati bersama semua momen penuh teror itu. Kini, Samuel bisa beradaptasi kembali menggunakan sepedanya. Sesuatu yang kami sangat khawatirkan sebelumnya bahwa pengalaman itu akan meninggalkan trauma berkepanjangan. Samuel telah memiliki kembali keberaniannya.
Tak Sempurna
Akan tetapi, dalam realitasnya, tidak ada penakluk monster yang seluruh rentang juangnya melulu tentang keberhasilan. Beberapa ayah, oleh karena situasi, terpaksa menghadapi monster kehidupan sendirian. Dan itu tentu jauh lebih berat menjalaninya.
Juga tak sedikit ayah yang menyerah dan lari dari gelanggang. Karena memang tidaklah mudah memenangi pertarungan melawan para monster hidup ini yang terus datang. Kalau akhirnya mereka terpaksa menyerah dan lari dari gelanggang, percayalah, itu sangatlah menyakitkan bagi mereka seumur hidup mereka. Biasanya, mereka akan berusaha menutupinya, kadang-kadang melalui cara-cara yang sebenarnya kontraproduktif, karena bersifat destruktif bagi dirinya, keluarga, dan orang lain.
Para ayah yang bertahan dalam gelanggang pertarungan pun juga tak selalu menang dengan gemilang. Semua penakluk monster akan keluar dari pertarungan dengan peluh pekat bercucuran dan bekas lecet, bahkan luka-luka berat. Mereka bisa keluar dari pertarungan dengan pakaian compang-camping, penuh kotoran, bahkan darah.
Itu sebabnya, tidak ada ayah yang sempurna tanpa bekas-bekas kegagalan yang melekat di sekujur raga dan batin mereka. Tidak ada ayah yang melulu berhasil, dan dapat dituntut untuk selalu berhasil. Juga karenanya, sebaliknya, tidak ada perjuangan para ayah yang dapat dinilai sepele, direndahkan, dan tidak dihargai.
Bagi Para Ayah
Kita hidup di dunia yang sama dengan anak-anak kita. Yakni, dunia yang telah jatuh dalam dosa dengan segala kecenderungannya yang terus berusaha menarik paksa setiap orang, entah orangtua maupun anak-anak untuk menjadi monster-monster jelmaan dosa. Sementara pada saat yang sama, kita juga bertanggung jawab agar hidup kita dan generasi setelah kita tidak menjadi serupa dengan dunia yang berdosa ini. Itu berarti kita harus bertarung setiap hari melawan atau mengalahkan para monster, yang bisa jadi, selain dari dunia, juga bisa dari diri kita (para ayah) sendiri, anak-anak, dan keluarga.
Kita memiliki mandat ilahi dari Tuhan sendiri, untuk memegang peran utama melanjutkan kehidupan dan mempersiapkan generasi penerus. Karena itu, bersama dan dalam pemeliharaan Tuhan, tak ada pekerjaan terbaik selain mempersiapkan anak-anak untuk menjadi penakluk-penakluk monster berikutnya. Dengan mewariskan iman dan segala pengalaman keteguhan hati untuk tetap setia, tak menyerah hingga akhir.
Alkitab secara gamblang menyatakan beberapa prinsip keayahan yang sangat agung. Melalui Salomo, Allah berkata, bahwa “Mahkota orang-orang tua adalah anak cucu dan kehormatan anak-anak ialah nenek moyang mereka” (Amsal 17:6). Pada bagian lain, masih melalui Salomo, Allah memberikan mandat untuk “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu” (Amsal 22: 6). Dan melalui Paulus yang berkata, “… tetapi didiklah mereka (anak-anak) di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.” (Efesus 6:4).
Itu semua bersumber dari golden rule tentang tugas dan mandat bagi para orangtua bagi anak-anak mereka, seperti dicetuskan oleh Musa sebagai bagian dari shema bagi Israel, “Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun” (Ulangan 6:6-7).
Tidak ada warisan terbesar bagi hidup anak-anak selain ini, yakni menemukan mereka dikasihi dengan murni, autentik, dan dipersiapkan melalui keteladanan yang penuh untuk menjadi para penakluk monster berikutnya oleh para orangtua yang sejati, sebagai mandataris Allah di dunia yang rusak ini.
Terakhir namun sangat penting, tak ada ayah yang bisa berdiri tegak tanpa peran sekondan sejatinya, yakni sang istri, sebagai tim terpadu untuk mengalahkan monster-monster yang datang silih berganti itu.
Yuk berjalan berdampingan untuk
Kami akan menampilkan artikel, kesaksian, dan tips-tips parenting setiap minggunya.