Baru-baru ini saya menonton sebuah film drama keluarga yang berkisah tentang permasalahan dalam sebuah keluarga yang memiliki sembilan anak. Pasangan ini dulunya masing-masing sudah pernah menikah dan memiliki anak namun bercerai. Kemudian mereka menikah dengan membawa anak masing-masing ke dalam keluarga yang baru. Ada berbagai kerepotan yang dialami oleh orangtua dalam mengasuh dan membesarkan kesembilan anak tersebut karena sebagian anak sudah menginjak usia remaja namun sebagian lagi masih balita. Belum lagi pasangan tersebut berbenturan dengan budaya masing-masing karena mereka berasal dari suku berbeda. Bisa dibayangkan betapa rumitnya hal yang harus dihadapi, khususnya oleh kedua orangtua dalam mengasuh anak-anaknya.

Urusan mengasuh dan membesarkan anak memang selalu menjadi hal yang menantang bagi orangtua terlepas dari berapa jumlah anak yang mereka miliki. Umumnya, sering kali hal ini diserahkan kepada ibu, karena ayah diharapkan lebih berperan sebagai pencari nafkah yang memenuhi semua kebutuhan keluarganya. Namun apakah benar urusan pengasuhan dan membesarkan anak hanya menjadi urusan ibu semata? Apakah peran ayah boleh sama sekali diabaikan?

Salah satu adegan dalam film tersebut berkisah tentang bagaimana sikap anak mengalami perubahan akibat ketidakhadiran sang ayah karena urusan bisnis yang begitu menyita waktu. Konflik muncul, yaitu pemberontakan anak perempuan mereka yang telah menginjak usia remaja. Selain itu, anak-anak juga dihadapkan pada permasalahan perebutan hak asuh, karena mantan suami dari sang istri ingin membawa kedua anaknya. Menariknya, kedua anak tersebut justru ingin tetap tinggal bersama ayah sambungnya.

Peran ayah ternyata membawa pengaruh yang besar bagi pertumbuhan anak, khususnya secara psikis dan spiritual. Salah satu peran ayah dalam pengasuhan anak bisa kita lihat dari kisah Ester yang terdapat di dalam Alkitab. Meskipun Ester diasuh oleh sepupunya, Mordekhai, tidak berarti ia kurang mendapatkan perhatian dari sosok ayah. Ada banyak hal yang diajarkan oleh Mordekhai sebagai seorang ayah angkat yang akhirnya membawa Ester kepada kejayaan dan menjadi pahlawan bagi bangsanya.

Mengutip dari Buku Refresh Your Faith yang ditulis oleh Lori Hatcher, ada beberapa hal yang bisa kita pelajari dari Mordekhai dalam mengasuh dan membesarkan anak kita. Hal yang sama bisa kita terapkan juga ketika kita menjadi pembimbing bagi orang lain.

Menunjukkan keberanian. Tindakan Mordekhai dalam membongkar persekongkolan Bigtan dan Teresh untuk membunuh raja Ahasyweros (Ester 2:21-23) menunjukkan keberaniannya yang besar. Itu berdampak bukan saja untuk menyelamatkan raja tetapi juga kerajaan. Keberanian menyatakan kebenaran ini tentu saja menjadi contoh yang membekas dalam hati Ester, anak yang diasuhnya.

Keberaniannya juga terlihat saat ia menolak untuk berlutut dan sujud kepada Haman, tangan kanan raja. Mordekhai tidak melakukannya karena perintah itu menjadi simbol pemujaan kepada seseorang (Ester 3:1-6). Ada penafsiran yang menyatakan bahwa sikap sujud dan berlutut yang diperintahkan sama dengan sikap menyembah terhadap berhala atau sesuatu yang diilahkan.

Di dunia yang penuh dengan pertentangan terhadap firman Tuhan, kita pun harus menunjukkan sikap yang benar sesuai firman Tuhan yang kita imani, sekalipun bisa saja ini bertolak belakang dengan sikap dan keyakinan masyarakat luas bahkan hukum yang berlaku. Keberanian untuk menunjukkan kebenaran merupakan satu hal yang perlu kita wariskan kepada anak kita.

Kesetiaan mendoakan sang anak. Mordekhai tetap mendoakan Ester dengan setia sekalipun tanggung jawabnya dalam membesarkan Ester telah selesai. Mordekhai tetap memperhatikan Ester dari kejauhan untuk melihat apa yang dialaminya di dalam balai perempuan (Ester 2:11). Memperhatikan di sini bukan sekadar tindakan secara fisik tetapi juga secara rohani, yakni melalui doa yang kita panjatkan setiap hari untuk mereka agar senantiasa berpaut kepada Tuhan.

Seperti Mordekhai, sebagai ayah atau orangtua kita tidak dapat senantiasa berada di dekat anak-anak kita. Suatu saat mereka akan beranjak dewasa dan harus meninggalkan kita. Ada hal-hal dan keputusan yang harus mereka jalani dan ambil sendiri. Namun bukan berarti mereka lepas sama sekali dari tanggung jawab kita sebagai orangtua. Dukungan spiritual dan moril juga tetap bisa dilakukan dalam batasan-batasan tertentu. Mendoakan mereka adalah salah satu yang senantiasa bisa kita lakukan dalam memperhatikan mereka.

Menantang sang anak untuk tetap berlaku benar dan setia dalam iman sekalipun bahaya mengintai. Hal ini terlihat nyata ketika Mordekhai memberitahu Ester mengenai Bigtan dan Teresh, sida-sida raja yang sakit hati dan berikhtiar membunuh Raja Ahasyweros. Ester, sang ratu, tanpa ragu memberitahukannya kepada raja atas nama Mordekhai. Perkara itu diperiksa dan ternyata benar, sehingga selamatlah raja.

Di waktu lain saat Haman berencana memusnahkan bangsa Yahudi, Mordekhai juga mengingatkan Ester bahwa dia adalah bagian dari bangsa yang dipilh oleh Allah. Oleh sebab itu, ia perlu menyatakan dan mempertahankan firman Tuhan, prinsip-prinsip yang Tuhan ajarkan dan bersekutu dengan umat-Nya. Hal ini masih berlaku untuk semua orangtua pada masa kini. Kita pun perlu mengingatkan anak-anak kita untuk setia memegang firman Tuhan dan bersekutu dalam kumpulan orang percaya bahkan ketika menghadapi pencobaan.

Percaya pada kedaulatan Tuhan dan Tuhan bisa memakai siapa saja dalam menggenapi rencana-Nya. Mordekhai mengerti firman Tuhan dan percaya Tuhan akan memberikan seorang pembebas bagi umat-Nya. Hal itu juga yang dia ingatkan kepada Ester ketika ia menyampaikan seandainya Ester tidak bersedia pun, bagi orang Yahudi akan timbul juga pertolongan dan kelepasan dari pihak lain (Ester 4:14). Ia menantang Ester untuk berbagian dalam penggenapan rencana Allah yang besar. Dalam hal ini pun Ester tetap berpegang pada komitmennya untuk menjadi duta kerajaan Allah di kerajaan suaminya sendiri. Ia mengerti bahwa Tuhan berdaulat atas segala hal di dunia ini dan Dia sanggup dan mau bekerja melalui anak-anak-Nya dalam menggenapi rencana-Nya.

Sebagai orangtua Kristen, kita dipanggil untuk membawa anak-anak kita kepada kebenaran firman Tuhan dan mendorong mereka untuk menghidupinya. Hal ini bukan hanya tanggung jawab seorang ibu tetapi terlebih seorang ayah yang merupakan kepala keluarga. Memang hal yang tidak mudah untuk dilakukan karena kita perlu memberikan contoh alih-alih hanya berbicara. Tidak ada orangtua yang sempurna oleh sebab itu kita perlu menyerahkan pergumulan kita dan memohon tuntunan dan kekuatan dari Roh Kudus. Seperti firman Tuhan kepada Paulus yang mengatakan “sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (2 Korintus 12:9).

Anda diberkati dengan materi ini?
Pastikan Anda tidak ketinggalan membaca tulisan-tulisan terbaru kami lainnya.

Klik untuk SUBSCRIBE