“Ma, ini ijazah yang Mama mau.”

Bagaimana perasaan Anda jika mendengar kalimat ini meluncur dari anak Anda sendiri?

Ucapan ini mungkin terdengar seperti ungkapan rasa hormat kepada orangtua yang telah berjuang keras mendidik dan membesarkan anaknya. Namun, jika kita mengambil waktu untuk mendengarkan dengan saksama, kalimat ini juga seolah mengisyaratkan semacam jeritan hati anak yang merasa terkekang dan tidak bebas mengejar cita-cita serta minatnya sendiri, karena “dipaksa” untuk memenuhi harapan dan standar yang ditetapkan orangtuanya. Dan sayangnya, kalimat seperti ini masih sering menjadi buah dari pola asuh otoriter yang masih banyak diterapkan orangtua zaman sekarang, baik secara sadar maupun tidak sadar.

Apa yang dimaksud dengan pola asuh otoriter?

Pola asuh otoriter adalah pola asuh yang cenderung menuntut dan memaksa anak untuk melakukan apa yang diinginkan orangtua, namun rendah respons, dukungan, dan penghargaan dari orangtuanya. Pola asuh ini bersifat diktator (memaksakan kehendak), yang menuntut anak untuk selalu mengikuti kemauan dan perintah orangtua tanpa ada ruang komunikasi. Relasi orangtua dan anak renggang (dingin) karena relasi cenderung bersifat satu arah (sepihak) dari orangtua kepada anak. Orangtua banyak menuntut anak tanpa kompromi, memberlakukan berbagai aturan dan syarat yang sangat ketat, serta standar yang tinggi (bahkan kadang-kadang tidak masuk akal) bagi anaknya. Orangtua juga terlalu mengontrol anaknya karena ekspektasi yang kelewat tinggi, dan tidak jarang memberi sanksi atau hukuman yang keras kepada anak setiap kali mereka gagal memenuhi apa yang diinginkan orangtua. Penerapan sanksi atau hukuman orangtua yang otoriter dapat berupa kekerasan fisik dan kekerasan verbal yang dapat berakibat fatal terhadap fisik, emosi, dan kejiwaan anak.

Pola asuh otoriter sering kali didasarkan pada keyakinan bahwa orangtua harus memiliki otoritas mutlak atas anaknya. Orangtua yakin bahwa merekalah yang paling tahu apa yang terbaik bagi anak-anaknya, dan menuntut kepatuhan mutlak dari anak-anaknya. Hal ini juga dilakukan karena orangtua otoriter percaya dengan cara ini mereka dapat melindungi anak dari kegagalan, bahaya, dan kesalahan, serta percaya bahwa cara ini dapat membentuk anak menjadi karakter yang kuat dan sukses. Sayangnya, yang tidak orangtua sadari, pola asuh ini justru banyak menimbulkan dampak negatif yang berkepanjangan pada perkembangan anak, baik secara fisik, mental, emosional, sosial, maupun rohani.

Anak-anak yang diasuh secara otoriter cenderung tumbuh menjadi karakter yang berdisiplin tinggi, mandiri, patuh pada peraturan, bekerja keras, dan mempunyai daya juang yang tinggi, serta relatif dapat mencapai prestasi yang cemerlang/kinerja yang baik. Namun, pola asuh yang dinominasi dengan pemaksaan kehendak dari orangtua kepada anak ini juga dapat menimbulkan sakit hati, luka batin, amarah, rasa frustrasi, kepahitan, dendam, bahkan bisa membuat anak menjadi pemberontak/pembangkang.

Dengan kata lain, pola asuh ini berdampak negatif bagi perkembangan fisik, mental, emosional, dan spiritual anak. Berikut beberapa dampak yang sering kita temukan pada diri anak-anak dengan orangtua otoriter:

  • Anak menjadi agresif. Dari orangtua, anak belajar bahwa kekerasan adalah cara untuk menyelesaikan masalah atau mendapatkan apa yang ia inginkan.
  • Anak menjadi pemalu, karena takut berpendapat, berekspresi, atau bersosialisasi dengan orang lain. Anak juga jadi takut sekali melakukan kesalahan, meski kesalahan kecil sekalipun.
  • Anak menjadi tidak mandiri, karena tidak pernah diberi kesempatan untuk membuat keputusan sendiri atau mengatasi tantangan hidup.
  • Anak memiliki harga diri yang rendah, karena merasa tidak dihargai, tidak dicintai, dan tidak berharga. Anak jadi kurang percaya diri karena memiliki gambar/citra diri yang buruk.
  • Anak merasa depresi, karena tertekan, tidak bahagia, dan tidak memiliki harapan.
  • Anak menjadi pribadi yang sensitif/mudah tersinggung, bahkan sulit mengelola emosi/amarahnya.
  • Anak sulit untuk taat kepada Tuhan, karena menganggap Tuhan sebagai sosok yang otoriter, pemarah, dan tidak mengasihi.

 

Tidak sedikit dari anak-anak yang dibesarkan oleh orangtua otoriter akhirnya menjadi anak yang sulit bersosialisasi/bergaul, bahkan menarik diri dari pergaulan. Tidak bisa dipungkiri, kenyataannya kita pasti pernah menjumpai anak-anak yang pintar secara akademik di sekolah, tapi tidak memiliki teman yang akrab dan tidak mempunyai kelompok sosial (peer group).

Rasul Paulus mengingatkan kita dalam Efesus 6:4 (TB2): “Hai Bapak-bapak, janganlah bangkitkan kemarahan anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.” Dan Kolose 3:21 (TB2), “Hai Bapak-bapak, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya.” Kalau begitu, bagaimana sebaiknya orangtua Kristen dapat mendidik anak-anaknya? Apakah ada pola asuh yang lebih sesuai dengan prinsip-prinsip Alkitab dan cocok bagi generasi Alpha serta generasi Z yang sangat berbeda dengan anak yang dilahirkan pada era generasi X dan generasi Y yang sekarang menjadi orangtua mereka?

Jawabnya ada, yaitu pola asuh otoritatif.

Pola asuh otoritatif dapat menjadi pilihan yang bijaksana

Pola asuh otoritatif menyeimbangkan antara tuntutan dan respons, kontrol dan dukungan, otoritas dan komunikasi, serta pendisiplinan yang penuh kasih. Pola asuh ini menghargai pendapat dan minat anak, juga mengajak anak untuk berpartisipasi dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan dirinya. Dengan catatan kapasitasnya tentu disesuaikan dengan usia dan tingkat kematangan anak.

Dalam pola asuh ini, relasi antara orangtua dan anak hangat serta harmonis, karena relasi bersifat dua arah (timbal balik) dari orangtua kepada anak dan sebaliknya, dalam bentuk saling menghormati, mendengarkan, memberi masukan, saling mengerti, dan saling mendukung. Meski begitu, orangtua yang otoritatif tetap memegang standar dan aturan yang jelas bagi anaknya, tapi di sisi lain juga fleksibel serta mau beradaptasi dengan situasi dan kondisi anaknya. Bukan itu saja, orangtua yang otoritatif juga memberi sanksi atau hukuman yang sesuai dan proporsional jika anak melanggar aturan, tetapi tetap memberikan penjelasan serta kesempatan bagi anak untuk memperbaiki kesalahan. Penerapan sanksi atau hukuman orangtua yang otoritatif lebih bersifat mendidik dan mengoreksi, daripada menyakiti dan menakut-nakuti bahkan mengancam anak.

Pola asuh otoritatif didasarkan pada keyakinan bahwa orangtua harus menjadi penatalayan yang bijaksana dan penuh kasih bagi anaknya, dan bahwa anak perlu diberi kebebasan yang bertanggung jawab untuk mengekspresikan diri dan mengembangkan potensinya. Orangtua yang otoritatif percaya dengan cara ini mereka dapat membimbing anak menjadi pribadi yang matang dan bahagia, serta membekalinya dengan keterampilan dan nilai-nilai yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan hidup. Pola asuh ini dapat memberikan dampak positif yang berkelanjutan pada perkembangan anak, baik secara fisik, mental, emosional, sosial, maupun rohani. Tak heran jika anak-anak yang diasuh secara otoritatif oleh orangtuanya akan menjadi anak yang memiliki rasa percaya diri yang tinggi, mandiri, kreatif, kooperatif, berinisiatif, berani mengambil risiko, berempati, pandai beradaptasi, berprestasi, dan bahagia.

Orangtua yang otoritatif tidak hanya mempersiapkan anaknya untuk masa depan yang terbaik di dunia ini, tetapi juga untuk masa depan yang kekal di surga. Tujuannya tidak hanya menginginkan anaknya menjadi orang yang sukses di mata manusia, tetapi juga menjadi orang yang berkenan di mata Allah. Mereka tidak hanya mengharapkan anaknya menjadi orang yang berdampak bagi sesama, tetapi juga menjadi orang yang berbuah bagi Kerajaan Allah.

Marilah kita menjadi orangtua pembelajar yang mau terus belajar, terbuka, dan berproses menjadi orangtua otoritatif yang mengasihi anak-anaknya dengan kasih karunia dan kebenaran, sebagaimana Allah Bapa mengasihi kita sebagai anak-anak-Nya. Kiranya kita dapat mencontohkan karakter Kristus dan tak jemu-jemu mengajarkan firman Tuhan kepada anak-anak kita, sebagaimana Kristus mengajar dan memberi teladan kepada kita sebagai murid-murid-Nya. Dan marilah kita melakukan yang sebaik-baiknya bagian kita sebagai orangtua, dengan terus menyadari bahwa zaman memang sudah berbeda. Sekarang sudah bukan lagi zamannya bagi orangtua untuk memaksakan kehendak pada anak-anaknya. Kiranya Tuhan menolong kita.

 

Yuk berjalan berdampingan untuk

Menjadi Orangtua Sebaik yang Kita Bisa.

Klik untuk SUBSCRIBE