Sewaktu masih kanak-kanak, mungkin Anda pernah punya nama julukan. Nama itu dapat membuat Anda merasa canggung dan sangat malu, atau sebaliknya, membuat Anda membusungkan dada dengan rasa bangga dan puas diri. si Kidal, si Pendek, si Jangkung, si Pintar—tidak ada habis-habisnya julukan yang saling dilontarkan anak-anak, baik yang menyanjung atau yang merendahkan. Sejak kelas lima, karena memakai kacamata, saya pun dijuluki “si Mata Empat”. Namun, itu bukanlah julukan terburuk yang saya peroleh.

Pada suatu musim panas, tangan saya patah saat bermain lompat galah. Waktu itu saya masih SMP. Menghabiskan musim panas dengan tangan digips saja sudah cukup buruk, dan semakin buruk ketika sekolah kembali dimulai. Kisah tentang cedera yang saya alami dengan cepat menyebar di seluruh SMP St. Albans.

Saya pun langsung jadi sasaran empuk. Mula-mula hanya olokan ringan dan itu pun sudah cukup buruk. Namun, kemudian seorang teman (saat itu saya pikir ia adalah teman saya) yang mengetahui nama tengah saya (Earl) memberi saya julukan yang menempel hingga bertahun-tahun. Julukan itu adalah . . . Anda siap mendengarnya? . . . “Earl Squirrel the Pole-Vaulter” (Earl Squirrel si Pelompat Galah). Nah, selain julukan itu berima, saya sama sekali tidak mengerti bagaimana sebutan squirrel (tupai) bisa ada dalam julukan itu. Namun, julukan Earl Squirrel terus melekat pada diri saya sampai saya bersekolah di SMA.

Demikianlah nama julukan. Kebiasaan memberi nama julukan sama sekali bukan hal baru. Bukan pula semata-mata kebiasaan orang-orang muda. Sebenarnya, para rasul Yesus Kristus juga memberi julukan khusus kepada seorang anggota jemaat gereja mula-mula di Yerusalem, sesuatu yang baik untuk kita tiru. Nama sebenarnya ialah Yusuf, tetapi julukannya “Barnabas”, yang berarti “anak penghiburan”.

Dalam sebuah konferensi Alkitab beberapa tahun yang lalu, saya mendengar Scott Dixon dari Akademi Cedarville mengatakan bahwa nama ini berarti Yusuf/Barnabas bersedia menjadi seorang tukang kayu dalam dunia yang penuh rayap! Ini analogi yang luar biasa, sesuatu yang kita lihat sungguh-sungguh dilakukan oleh Yusuf/Barnabas ketika kita menyaksikannya disorot di atas panggung dalam kisah Alkitab.

Kita pertama kali menjumpai tokoh Barnabas dalam Kisah Para Rasul 4: “Demikian pula dengan Yusuf, yang oleh rasul-rasul disebut Barnabas, artinya anak penghiburan, seorang Lewi dari Siprus. Ia menjual ladang, miliknya, lalu membawa uangnya itu dan meletakkannya di depan kaki rasul-rasul” (ay.36-37).

Besar kemungkinan bahwa para rasul menjuluki Yusuf sebagai “Anak Penghiburan” karena karakternya, sikapnya terhadap orang lain, dan pelayanannya sebagai orang percaya. Memberi penghiburan menjadi ciri khas hidup Yusuf, sehingga tidaklah mengherankan jika mereka menjulukinya seperti itu. Tidak seperti julukan si Mata Empat atau Earl Squirrel si Pelompat Galah, julukan untuk Yusuf ini mencerminkan hasrat hatinya.

Menyemangati Orang yang Masih Muda dalam Iman

Barnabas begitu peduli dalam memberi semangat dan membangun seseorang yang masih muda dalam iman. Bahkan, ia bertindak lebih jauh dengan bersedia mengambil risiko dalam pelayanan ketika ia mengayomi seseorang yang diragukan oleh komunitas iman saat itu.

Saulus muda dari Tarsus pernah menganiaya orang-orang percaya, jadi tidaklah mengherankan jika ia sangat ditakuti oleh orang-orang percaya di Yerusalem. Saulus-lah yang memberikan persetujuan ketika Stefanus dirajam sampai mati (Kis. 7:54–8:1). Ia bahkan pergi ke seluruh Palestina untuk mengejar para pengikut Kristus dan membuat mereka sangat menderita. Menurut catatan Lukas, “Saulus berusaha membinasakan jemaat itu dan ia memasuki rumah demi rumah dan menyeret laki-laki dan perempuan ke luar dan menyerahkan mereka untuk dimasukkan ke dalam penjara” (Kis. 8:3). Sungguh bukan gambaran yang baik.

Lalu perubahan besar terjadi ketika Saulus mendapat “pengalaman dalam perjalanannya ke Damsyik” dan bertelut di dalam iman di hadapan sang Juruselamat yang para pengikut-Nya sudah dianiaya olehnya. Pemuda yang begitu energik ini sedang dalam perjalanan ke kota Damsyik untuk membinasakan lebih banyak orang Kristen yang dianggapnya “berbahaya”, ketika cahaya terang memancar dan membuatnya rebah ke tanah.

Dalam Kisah Para Rasul 9:4 kita membaca bahwa sebuah suara berkata kepadanya, “Saulus, Saulus, mengapakah engkau menganiaya Aku?” Saulus dapat merasakan dan mengenali suara ini sebagai sebentuk perjumpaan ilahi, dan menjawab, “Siapakah Engkau, Tuhan?” Jawaban yang didengarnya membuatnya terguncang: “Akulah Yesus yang kau aniaya itu” (Kis. 9:5).

Betapa kagetnya Saulus, ternyata kelompok yang berusaha dibinasakannya itu tidak bersalah! Ia segera meninggalkan misi penganiayaan yang diembannya dan memulai hidup baru—sebuah hidup untuk mengikut Kristus yang sudah begitu lama dan begitu kuat ditentangnya.

Luar biasa, bukan? Namun, tidak demikian bagi jemaat di Yerusalem. Mereka tidak dapat percaya begitu saja bahwa Saulus benar-benar sudah menerima sang Juruselamat. Saulus datang kepada Kristus? Tidak mungkin, sekalipun atas anugerah Allah. Alhasil, ketika Saulus
sampai di Yerusalem, “ia mencoba menggabungkan diri kepada murid-murid, tetapi semuanya takut kepadanya, karena mereka tidak dapat percaya, bahwa ia juga seorang murid” (Kis. 9:26).

Bagaimana Kalau Kita Menjangkau Orang yang Salah?

Saya dapat memahami ketakutan dan perasaan skeptis jemaat Yerusalem sebagai akibat dari kepedihan dan penderitaan yang disebabkan oleh Saulus. Mana mungkin mereka tidak curiga bahwa ini hanya upaya untuk menyusup ke dalam jemaat agar dapat menciptakan lebih banyak kekacauan?

Namun, Barnabas percaya bahwa pertobatan Saulus sungguh-sungguh tulus, dan ia bertindak atas keyakinannya itu. “Barnabas menerima dia dan membawanya kepada rasul-rasul dan menceritakan kepada mereka, bagaimana Saulus melihat Tuhan di tengah jalan dan bahwa Tuhan berbicara dengan dia dan bagaimana keberaniannya mengajar di Damsyik dalam nama Yesus. Dan Saulus tetap bersama-sama dengan mereka di Yerusalem, dan dengan keberanian mengajar dalam nama Tuhan” (Kis. 9:27-28).

Sungguh tidak mudah untuk bersikap seperti Barnabas. Anda mengenal isi hati Anda sendiri, tetapi Anda tidak mungkin dapat sepenuhnya mengetahui isi hati orang lain. Kadang-kadang orang lain mengecewakan Anda; kadang-kadang mereka bahkan mengkhianati Anda. Kadang-kadang Anda merasa sangat dirugikan. Semua akibat ini mungkin saja dialami Barnabas ketika ia menjangkau orang yang baru bertobat ini dan mewujudnyatakan keyakinannya untuk peduli kepada orang lain. Barnabas mengabaikan semua risiko ini sebab, menurut saya, ia yakin bahwa:

  • Lebih baik melakukan kekeliruan karena berbelas kasih daripada karena menghakimi.
  • Lebih baik mencoba dan gagal daripada tidak mencoba sama sekali.
  • Lebih baik menaruh kepercayaan kepada orang lain, meskipun dengan risiko kehilangan kepercayaan itu.

Pada saat jemaat menolak Saulus dari Tarsus, Barnabas tetap melangkah ke dalam situasi yang dihindari kebanyakan orang. Ia mencurahkan waktu, tenaga, dan penguatan kepada Saulus muda, dan upayanya itu menghasilkan keuntungan besar bagi tubuh Kristus.

Barnabas berkomitmen menjadi seorang pembangun—bukan pembangun gedung, perusahaan, atau kerajaan, tetapi pembangun manusia. Ia mengangkat orang-orang yang dimakan rayap-rayap kritikan, keputusasaan, kegagalan, dan kehilangan, memperbaiki apa yang telah patah, dan selanjutnya membangun sesuatu yang bahkan jauh lebih kuat berdasarkan anugerah Allah. Pelayanan Barnabas dalam mendorong orang lain telah membangun seorang rasul, sebuah jemaat yang besar, dan seorang raksasa muda bagi Allah. Inilah kesaksian dari Barnabas, anak penghiburan dan tukang kayu rohani yang sejati.

Menjadi Barnabas di Tengah Keluarga

Keluarga kita memerlukan orang-orang seperti Barnabas, yang bersedia menerima satu sama lain dalam kasih. Seperti tertulis dalam Galatia 6:2 TB: “Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.” Hal ini dapat terwujud dalam diri seorang suami yang selalu siaga membantu istri. Demikian sebaliknya istri selalu sedia menjadi penolong bagi suami. Seorang kakak yang bersedia mengalah demi kebahagiaan adiknya. Juga seorang adik yang menghargai kakak sedemikian rupa sehingga tercipta hubungan timbal balik yang indah. Tentu Allah akan dimuliakan saat kita menjadi Barnabas terhadap satu sama lain di dalam keluarga. Demikianlah kita memenuhi hukum Kristus.

Yuk berjalan berdampingan untuk
Menjadi Orangtua Sebaik yang Kita Bisa.
Kami akan menampilkan artikel, kesaksian, dan tips-tips parenting setiap minggunya.

Klik untuk SUBSCRIBE