Salah satu artikel situs Hikmat Keluarga yang berjudul 10 Kesalahan Mengasuh Anak Remaja (artikel tanggal 9 Juni 2022) membuat saya merenung. Pasalnya poin 6 yang mengatakan “Orangtua tidak memberi hak anak-anak kita untuk gagal”, merupakan salah satu tantangan besar untuk saya pribadi sebagai orangtua.

Tidak ada satu pun orangtua yang ingin atau tega melihat anaknya gagal. Lalu bagaimana kita menyikapi kegagalan yang terjadi dalam hidup anak-anak kita?

Allah Bapa sendiri mengayomi, mengasihi, bahkan menerima kita apa adanya, bahkan selagi kita gagal mengikuti jalan-jalan atau perintah-Nya.

Sekarang ini banyak orangtua yang membanggakan kesuksesan anak-anak mereka lewat media-media sosial. Baik itu dalam hal prestasi akademis maupun prestasi lainnya. Kebiasaan seperti ini bisa membuat kita tergoda untuk membanding-bandingkan anak-anak kita dengan anak-anak orang lain. Namun, bagaimana jika suatu waktu anak kitalah yang kalah dalam perbandingan itu? Katakanlah saat itu anak kita yang sedang mengalami kegagalan. Perkataan yang menyalahkan atau menghakimi seperti “Tuh kan apa kata Mama!” atau “Coba kalau kamu ikuti nasihat Mama!” hanya akan membuat perasaan anak semakin terpuruk.

Ketika anak kita gagal, sebagai orangtua kita perlu memberikan ruang dan waktu bagi si anak untuk meratapi kegagalannya sendiri. Ini sesuatu yang manusiawi, karena setiap orang pasti membutuhkan proses ini untuk bisa bangkit kembali dari kegagalannya. Kita bisa diam-diam mendukung anak dalam doa.

Lewat kegagalan yang dialami, kita belajar percaya bahwa Tuhan sedang membentuk karakter yang dibutuhkan sebelum Tuhan menggenapi rancangan-Nya dalam hidup anak-anak kita.

Dalam Alkitab, ada kisah Yusuf yang harus melewati berbagai pengalaman hidup sebelum mimpi yang ditaruh Tuhan dalam tidurnya digenapi. Sedari lahir, Yusuf telah menjadi kesayangan ayahnya. Dan ayahnya sangat overprotective terhadap Yusuf. Ia tidak pernah mengizinkan Yusuf ikut menggembalakan ternak mereka.

Sejak Yusuf kecil, ia telah diberikan mimpi oleh Tuhan, bahwa ia akan menjadi seorang pemimpin besar. Namun, bukannya meraih kesuksesan tersebut, ia malah dijual sebagai budak. Ketika hidupnya seakan-akan telah sukses menjadi orang kepercayaan di rumah Potifar, ia malah dibuang ke penjara karena kesalahan yang tidak ia lakukan. Dan dalam penjara pun ia sempat dilupakan oleh rekan yang pernah ditolongnya. Kegagalan demi kegagalan seakan-akan semakin menjauhkan Yusuf dari mimpi tersebut. Namun, ternyata Tuhan memakai semua itu untuk menempa dan membentuk jiwa dan karakter kepemimpinan dalam diri Yusuf, sehingga ia bisa menjadi pemimpin yang rendah hati dan mengakui bahwa semua kesuksesan datangnya dari Tuhan semata-mata.

Dari kisah Yusuf ini, kita sebagai orangtua mendapati bahwa kenyataannya tanpa comfort zone perlindungan ayahnya, bahkan sampai dibawa jauh dari keluarganya ke sebuah negeri yang asing, Tuhan yang empunya kuasa tetap sanggup menggenapi mimpinya. Tuhan tidak tinggal diam dan bekerja seturut waktu dan kehendak-Nya. Dalam ketidakhadiran orangtuanya, Tuhan tetap hadir dan melindungi Yusuf.

Siapalah kita dibandingkan dengan Tuhan, dan apalah perlindungan yang dapat kita berikan kepada anak-anak kita jika dibandingkan dengan perlindungan Tuhan. Ada pepatah yang mengatakan, kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda, oleh karena itu alih-alih mengekang anak dengan kekuatiran kita atau tidak mau melepas anak untuk belajar dari kesalahannya sendiri, marilah kita perlahan-lahan belajar untuk menyerahkan kendali tersebut ke dalam tangan Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang.

Refleksi:

Sebagai orangtua, kita tidak bisa dan tidak mampu, bahkan tidak berkuasa, melindungi anak-anak 24 jam penuh karena kita tidak maha hadir seperti Tuhan. Kita bisa mempercayai perkataan Tuhan yang mengatakan, “Mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satu pun dari padanya.”

Sebagai orangtua, kita perlu belajar mempercayakan anak-anak kita pada perlindungan Tuhan. Karena Tuhan sendiri memberikan jaminan rancangan indah, seperti yang tertulis dalam Yeremia 29:11 “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.” Meskipun ayat ini dituliskan dalam konteks saat Tuhan menghibur bangsa Israel (khususnya kaum Yehuda) melalui surat Nabi Yeremia yang dikirimkan untuk tua-tua di antara orang buangan, kepada imam-imam, kepada nabi-nabi, dan kepada seluruh rakyat yang telah diangkut ke dalam pembuangan oleh Nebukadnezar dari Yerusalem ke Babel, tetapi firman ini masih relevan untuk semua umat Tuhan pada masa kini, juga untuk anak-anak kita. Meski jalan yang dilalui sulit tetapi Tuhan pasti akan menuntun kita untuk mengalami rancangan terindah-Nya bagi hidup kita dan anak-anak kita kelak.

Sebagai orangtua, kita perlu belajar melepas anak-anak melakukan kesalahan, sehingga mereka bisa belajar dari kesalahan tersebut. Di sinilah karakter anak ditempa sehingga ia kuat menghadapi setiap persoalan dalam hidupnya di kemudian hari. Ia akan bertumbuh menjadi pribadi yang tangguh dan tidak cepat menyerah.

 

Anda diberkati dengan materi ini?
Pastikan Anda tidak ketinggalan membaca tulisan-tulisan terbaru kami lainnya.

Klik untuk SUBSCRIBE