Ketika orangtua ditanya, “Dari level 1-10, prioritas apa yang paling penting yang ditetapkan pada anak?” Seorang ibu menjawab dengan sangat yakin, “Bagi saya, nomor satu adalah mengenal dan takut akan Tuhan, berikutnya etika dan karakter, diikuti kesehatan, baru pendidikan.”

Wow, saya ingin memberikan aplaus untuk jawaban ibu yang bijak ini. Biasanya prioritas-prioritas yang ditetapkan orangtua fokusnya adalah untuk mendukung anak-anak mencapai keberhasilan atau kesuksesan dalam hidupnya di masa depan.

Namun, marilah kita berpikir sejenak.

Orangtua selalu berpikir bahwa masa depan anak adalah nanti kalau dia sudah dewasa. Padahal, kita tahu tidak sedikit anak yang sudah dipanggil Tuhan terlebih dahulu sebelum mereka dewasa. Pada hakikatnya, masa depan seperti apa yang kita janjikan kepada anak sehingga kita begitu berambisi meraihnya?

Apakah Orangtua Boleh Berambisi tentang Masa Depan Anak?

“Bolehkah orangtua berambisi untuk masa depan anaknya? Karena semua orang kan pasti ingin anaknya berhasil di masa depan?” Pertanyaan ini sering dilontarkan oleh orangtua masa kini yang selalu ingin mempersiapkan masa depan yang lebih baik bagi anaknya.

Ambisi yang Tuhan taruh di dalam diri kita adalah ambisi Kristus. Ambisi tersebut membuat kita bersemangat dan antusias karena kita tahu bahwa semua yang kita lakukan, kita lakukan untuk Kristus. Ambisi ini bukanlah ambisi biasa, juga bukan selfish ambition yang digerakkan oleh ego orangtua. Ambisi seperti inilah yang seharusnya dimiliki orangtua ketika memandang keberhasilan anak di masa depan.

Dengan ambisi yang benar, pandangan orangtua Kristen akan berbeda sekali dengan pandangan dunia mengenai keberhasilan seorang anak. Dunia menetapkan bahwa ukuran keberhasilan bagi seorang anak adalah kalau dia mendapat pasangan hidup yang ideal, menikah, memiliki keturunan, punya gaji besar, hidup mapan, pendidikan yang kalau bisa mencapai S3, menjadi orang terkenal dan berpengaruh, dsb. Tanpa disadari, standar tersebut telah menjadi impian orangtua juga, dan pada akhirnya ikut membentuk harapan orangtua terhadap anak. Kalau semua itu bisa diraih, bagus.

Namun definisi keberhasilan yang diajarkan firman Tuhan bukan hanya tentang kesuksesan semata, melainkan apakah semua pencapaian itu dapat memperkenankan hati Tuhan, sang Perencana Agung manusia. Mazmur 1:3 (TB) menyatakan bahwa orang yang berhasil itu adalah “seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil.”

Ayat ini bukan berbicara tentang pohonnya. Jika dikorelasikan dengan keberhasilan, ayat ini bukan berfokus pada anak atau orangtuanya, melainkan pada sumber kehidupan itu sendiri. Pohon itu bisa menghasilkan buah pada musimnya dan daunnya tidak menjadi layu, karena ia tertanam di dekat aliran air. Air itulah sumbernya, TUHAN sendiri itulah sumber segala pencapaian dan keberhasilan. Jika tidak melekat pada Sumber-nya, maka tidak akan menghasilkan buah dan bahkan menjadi layu.

Dapatlah dikatakan bahwa definisi berhasil itu bukan lagi mengenai pencapaian atau having. Keberhasilan itu adalah tentang being. Ini bukan pencapaian seperti yang dunia tawarkan, melainkan lebih mengenai manusianya, apakah kita berkenan di hadapan Tuhan atau tidak.

Kita perlu menyadari bahwa masa depan anak-anak kita ada dalam konteks kekekalan. Karenanya, masa depan yang perlu kita persiapkan bagi anak adalah masa depan yang dapat menjawab pertanyaan: “Apakah anak kita ada bersama dengan Tuhan?”

Mari kita mengambil contoh keberhasilan Yusuf. Sebagian besar kisah hidupnya yang dramatis itu dilalui sebagai budak. Meski sebagai budak, ia disayang oleh Potifar, tuannya. Namun, rupanya ia juga di”sayangi” oleh istri Potifar, dan hal itu malah menjadikannya seorang budak yang dijebloskan ke penjara sebagai akibat dari fitnahan istri Potifar. Proses hidupnya setelah keluar dari penjara juga masih panjang, sampai akhirnya Yusuf dipakai Tuhan untuk memelihara hidup tidak hanya Mesir saja, tetapi juga Israel. Hal paling penting yang tampak dalam kehidupan Yusuf adalah ia terus melekat pada Allah. Ia tetap mempercayai Allah sebagai Perancang jalan kehidupan manusia, termasuk dirinya. Tuhan sendirilah yang membuat segala sesuatu yang dikerjakan Yusuf berhasil.

Orangtua perlu menyadari bahwa keberhasilan seorang anak memiliki dua sisi mata uang yang bisa membawanya pada “pencapaian tertinggi” sekaligus “ancaman tertinggi”. Bagaimana jadinya jika ketika anak sudah mencapai kekayaan, kepandaian, kesuksesan, serta memberi pengaruh yang sangat besar pada orang-orang di sekitarnya, tetapi kemudian dia menjadi sangat sombong sampai-sampai melupakan Allah sebagai sumber keberhasilannya? Bagaimana jika di puncak kesuksesannya ia berkata, “Aku tidak butuh Tuhan lagi.” Apakah itu masih bisa disebut sebagai keberhasilan? Apakah itu yang kita inginkan bagi anak-anak kita?

Semua keberhasilan itu sampah jika dibandingkan dengan kemuliaan Kristus. Rasul Paulus sendiri pernah mengatakan hal yang demikian dalam Filipi 3:8 (TB): “Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus.” Semua pengaruh, jabatan, dan kekuasaan manusia itu akan hilang kilaunya jika dihadapkan pada cahaya kemuliaan Allah. Semua keberhasilan baru bernilai jika itu berada pada tempat yang tepat, yaitu di dalam Kristus.

Seperti keberhasilan seorang anak, maka perspektif orangtua tentang masa depan anak juga seperti dua sisi mata uang—perspektif dunia di sisi yang satu dan perspektif kekekalan di sisi yang lain. Hanya ada dua kecenderungan, yaitu mengasihi dunia atau mengasihi Allah. Jika kita mengasihi dunia maka tidak akan ada kasih kepada Bapa.

Matius 6:33 menyatakan, “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” Hal yang terutama adalah mencari Tuhan terlebih dahulu, mengasihi-Nya dan hidup berdekatan dengan Dia. Jika ada berkat berupa kesuksesan, kepandaian, kekayaan, keberhasilan, masa depan cemerlang, semua itu adalah bonus, sesuatu yang ditambahkan ketika kita sudah hidup dekat dan di dalam Tuhan.

Oleh karena itu, sebaiknya fokus orangtua bukan pada “bonus”-nya, melainkan pada Tuhan sendiri. Penting bagi orangtua untuk melepaskan anak untuk menikmati tumbuh kembangnya, proses belajarnya, perjuangan hidupnya, dan menautkannya pada Tuhan. Ini dapat diibaratkan seperti seorang ibu yang menggandeng anak di sebelah kiri dan di sebelah kanannya ia berpegang pada tangan Tuhan. Dalam perjalanannya mengasuh anak, sang ibu perlahan mundur sambil menautkan tangan anak dalam genggamannya yang satu ke tangan Tuhan dalam genggamannya yang lain. Dengan demikian, sang anak pun akan mengalami sendiri perjumpaan dengan Tuhan, mengasihi-Nya dan mengalami kehadiran-Nya.

Namun, bagaimana jika dalam perjalanan meraih keberhasilan di masa depan itu, anak mengalami banyak hambatan dan seolah menemui jalan buntu? Masih banyak orangtua yang mengkhawatirkan ini-itu. Ada yang khawatir jika nanti anaknya tidak mendapat pekerjaan tetap, Ada juga yang mengkhawatirkan masalah kesehatan anak, jodoh yang tepat, momongan, karier yang sesuai harapan, dan lain sebagainya. Semua ini diperburuk dengan masyarakat kita yang memiliki kecenderungan untuk menghakimi dan mencap gagal orang-orang yang belum menikah, belum punya anak, belum punya pekerjaan, dan belum belum lainnya. Padahal belum tentu rencana Tuhan untuk seorang anak akan sama persis dengan harapan masyarakat pada umumnya.

Kitab Injil pernah menuliskan sebuah kisah tentang seorang yang buta sejak lahir. Murid-murid Tuhan Yesus mempertanyakan apakah si anak buta karena dosa orangtua ataukah karena dosanya sendiri? Yesus menjawab bahwa itu bukan karena dosa orang buta itu ataupun orangtuanya, melainkan karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia. Apa yang dilihat sebagai kegagalan oleh dan dalam diri manusia, justru sedang memenuhi rencana Allah. Bahwa melalui dia karya Allah dinyatakan dan nama Tuhan dimuliakan. Kita ini seumpama display-nya Tuhan, kita bisa dipakai Allah untuk menyatakan kemuliaan-Nya.

Jika kita menengok kembali pada komitmen di tahun-tahun awal pernikahan, apa visi kita ketika kita ingin memiliki anak? Adakah timbul suatu kesadaran bahwa anak yang kita miliki sekarang ini bukanlah milik kita sepenuhnya, melainkan milik Tuhan?

Kita ini adalah penatalayan dan Tuhan itulah pemilik anak. Dengan demikian, apa pun yang terjadi selama proses pengasuhan, kita perlu sering-sering bertanya dan meminta petunjuk dari Tuhan.

Namun, kenyataannya banyak dari kita sebagai orangtua muda sering salah bertanya. Bukannya bertanya kepada Tuhan, kita malah bertanya kepada anak: “Nak, kamu cita-citanya pengen jadi apa?”

Dalam satu kesempatan anak bisa saja menjawab ingin jadi masinis, di kesempatan lain ia tiba-tiba ingin jadi dokter, kemudian di kesempatan lain lagi dia bilang ingin menjadi guru, lalu kenyataannya dia akhirnya menjadi kasir. Ini karena kita fokus pada apa yang diinginkan anak, bukan apa yang telah dirancangkan Tuhan baginya. Karenanya, akan lebih tepat jika kita mengarahkan anak untuk mengenal tujuan hidupnya di dunia, seperti yang telah Allah tetapkan baginya. Kita dapat bertanya pada anak seperti ini: “Nak, Tuhan mau kamu jadi apa di dunia ini?” Dengan bertanya seperti ini, anak kita arahkan untuk terus mencari jawaban-jawaban kepada Tuhan. Apa yang Tuhan inginkan dari anak adalah yang paling penting, lebih penting daripada yang diinginkan orangtua dan dirinya sendiri.

Orangtua tentu boleh memiliki ambisi untuk menentukan keberhasilan anak di masa depan. Namun, hendaknya ambisi tersebut merupakan ambisi yang kudus, yang ilahi. Yaitu keinginan yang dengan rela hati dibangun di atas dasar pernyataan agar “Jadilah kehendakMu bukan kehendakku.” Keinginan itulah yang nantinya kita taruh dan persembahkan kepada Tuhan supaya terjadi sesuai dengan yang Tuhan ingini. Jika pada akhirnya yang terjadi berbeda dengan keinginan kita, marilah kita memohon agar Tuhan memberikan damai di hati kita dan ketaatan untuk menerima kehendak Tuhan.

Refleksi Pribadi

Sesungguhnya masa depan adalah sesuatu yang melampaui dunia ini, yaitu yang berkaitan dengan masa yang tak terukur dalam kekekalan. Masa depan anak kita yang sesungguhnya adalah apakah nanti mereka akan berada bersama-sama dengan Tuhan atau tidak. Membawa anak untuk takut akan Tuhan itulah keberhasilan yang ingin diraih di masa depan yang sesungguhnya. Masa depan yang pasti, bahwa dia pasti akan terus bersama-sama dengan Tuhan, melekat pada Tuhan.

Biarkan anak-anak itu meraih masa depan mereka, tetapi terlebih dahulu rekatkan mereka pada Kristus. Dimulai sejak dini. Hari ini.

Anda diberkati dengan materi ini?
Pastikan Anda tidak ketinggalan membaca tulisan-tulisan terbaru kami lainnya.

Klik untuk SUBSCRIBE