Sejak anak-anak masih kecil, kita sering bertanya kepada mereka, “Kalau sudah besar, kamu mau jadi apa?” Dan anak-anak dengan penuh semangat akan menjawab, “Jadi dokter!” atau “Jadi polisi!” atau guru, astronaut, pemain bola, dan sebagainya. Bahkan sekarang ini banyak dari anak-anak yang mungkin bercita-cita menjadi youtuber atau influencer.

Cita-cita seorang anak biasanya datang dari angan-angan atau fantasi mereka. Dan semua cita-cita mereka itu baik. Tugas kita sebagai orangtua adalah menyediakan pegangan bagi mereka untuk mencapai cita-citanya, untuk mewujudkan fantasi mereka dan menjadikannya kenyataan.

Dalam mewujudkan cita-cita tentunya ada tahapan-tahapan yang perlu ditempuh oleh anak. Misalnya jika dia ingin menjadi astronaut, tentunya dia perlu menguasai fisika dan matematika dengan baik. Dia juga perlu berupaya keras dan belajar dengan tekun. Dengan kata lain, antara kenyataan dan harapan harus berjalan beriringan, jika tidak maka kita akan seperti kucing yang melihat bayangan dirinya di cermin dan menyangka dia adalah singa.

Namun, bagaimana kalau orangtua sendiri sulit untuk bersikap realistis? Bagaimana kalau kita tidak sadar bahwa kita sendiri masih menjadi orangtua yang hidup dalam fantasi?

Fantasi sebetulnya bukan hal yang buruk. Fantasi pada dasarnya bermanfaat untuk mengembangkan imajinasi, dan memungkinkan pikiran kita melampaui batas yang kelihatan. Fantasi dibutuhkan untuk mengembangkan kreativitas. Fantasi itu baik, tetapi yang membuatnya tidak baik adalah ketika seseorang hidup di dalamnya, terhanyut dalam dunia yang tidak nyata.

Apakah Anda orangtua yang realistis atau orangtua yang hidup dalam fantasi?

Tidak sedikit orangtua yang masih hidup dalam fantasi masa lalu. Ia dengan sengaja membawa masa lalu ke masa kini, sehingga sering mengatakan, “Dulu … Mama/Papa begini dan begitu…” Orangtua ini selalu membanding-bandingkan kehidupan anak-anak yang sekarang dengan kehidupannya yang dahulu, bahkan menggunakan kehidupannya yang dahulu untuk mengkritik kehidupan anak-anaknya sekarang.

Orangtua yang hidup dalam fantasi masa lalu biasanya memiliki harapan yang tinggi terhadap anaknya di masa depan. Kalau dulu mereka pernah gagal, misalnya tidak naik kelas, mereka sekarang akan menuntut anak agar jangan pernah tidak naik kelas. Atau sebaliknya jika orangtua dulu selalu naik kelas, bahkan juara, maka ia menuntut anaknya selalu naik kelas dan juga juara.

Ada juga tipe orangtua yang berfokus pada fantasi di masa depan dan memaksakannya di masa sekarang. Tipe orangtua seperti ini selalu khawatir akan masa depan dan tidak menghargai keberadaan saat ini. Dengan kata lain, ia selalu memposisikan dirinya berada di masa depan.

Orangtua tipe ini cenderung menolak segala hal yang membuat anaknya tidak bahagia, sehingga cenderung memanjakan anak. Mereka tidak menyadari, jika mereka terus berbuat demikian, bagaimana keadaan anak-anak ketika sudah besar nanti?

Misalnya setiap kali anak jatuh, karena kasihan kita pun langsung menggendongnya. Bayangkan lima tahun anak itu digendong terus, apa jadinya bagi anak itu sendiri? Kita perlu “membiarkan” anak jatuh, merasakan seperti apa rasanya sakit karena jatuh, lalu belajar bangkit dan mencoba lagi. Kita perlu mengizinkan anak kita mengalami proses tersebut. Ini hanya sebagai contoh saja untuk membuat kita aware, bahwa kita tidak boleh hidup di masa lalu atau mengkhawatirkan masa depan.

Anak itu bukan milik kita, dia hanya dititipkan melalui kita. Biarkan dia berjuang hidup di masa kini dan mempersiapkan diri untuk meraih masa depannya. Biarkan dia mengalami tahapan-tahapan yang memang harus dilaluinya. Biarkan dia menjadi kuat secara alami dan menjadi bijak oleh pengalaman-pengalaman hidupnya sendiri.

Bagaimana kita dapat hidup dalam realitas?

Meski merencanakan dan mempersiapkan masa depan itu baik, kita perlu fokus pada saat ini. Sekarang. Di sini. Ini karena masa depan adalah milik Tuhan. Dengan demikian, sebagai orangtua, kita tidak terus mendesak dan memaksa anak dengan berkata, “Semua ini demi masa depanmu! Mau jadi apa nanti, kalau kamu nggak punya masa depan, madesu (masa depan suram).” Maka anak dipukul, dipaksa, diomeli, padahal kalau mau jujur, kadang alasan sesungguhnya semua itu dilakukan adalah demi pencapaian ambisi pribadi orangtua terhadap anak.

Benarlah apa yang dikatakan firman Tuhan dalam Amsal 23:18 yang berbunyi demikian: “Karena masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang.” Tuhan sudah hadir di masa depan anak-anak kita. Masa depan itu sungguh ada, benar-benar ada karena Tuhan-lah penguasa masa depan.

Senada dengan Amsal di atas, pemazmur pun menuliskan buah pemikiran yang sama dalam Mazmur 139:16 yaitu, “Mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satu pun dari padanya.” Betapa rincinya Tuhan dalam merajut masa depan kita dan anak-anak kita. Kita boleh berencana, hanya saja mari kita membawa semua rencana itu ke tangan Tuhan. Sesuaikah dengan rencana Tuhan? Jika tidak, maka kita harus siap menghentikannya.

Orangtua yang hidup dalam realitas memiliki damai

Orang yang sangat menghargai masa sekarang (present) dalam benaknya pasti juga memikirkan bagaimana melangkah ke depan. Dan ia melakukannya dengan menyerahkannya kepada Tuhan sehingga ia dapat merasakan damai. Orang yang cinta damai akan memiliki masa depan. Ia berdamai dengan dirinya sendiri dan tidak ada sesuatu pun yang akan membuatnya stres. Ia juga berdamai dengan orang lain, sehingga orang-orang mengasihinya. Dan ia tentunya juga berdamai dengan Tuhan sehingga ia dapat menghadapi hari-harinya dengan tenang tidak pakai tegang.

Orang yang cinta damai akan menciptakan damai di sekelilingnya. Dan orang seperti ini akan diberkati, karena Tuhan kita adalah Raja Damai, dan Dia-lah sumber damai kita. Orang yang cinta damai tahu, tidak ada yang lebih penting daripada relasi. Relasi dengan Tuhan, relasi dengan sesama, dan relasi dengan diri sendiri.

Apakah yang menjadi realitas orang percaya?

Sebagai orangtua Kristen, Yohanes 14:1-3 menjadi jaminan bagi kita dan anak-anak kita. “Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku. Di rumah Bapa-ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu. Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamu pun berada.”

Sungguh indah jaminan yang diberikan Tuhan kepada kita, bukan? Allah dapat memberikan damai untuk masa lalu, tujuan untuk masa sekarang, dan harapan untuk masa depan kita. Kita boleh percaya bahwa sekarang pun kita sudah memiliki hidup yang kekal dan kita sedang berjalan bersama Tuhan di dalam kekekalan.

Apakah ini fantasi atau realitas? Tentu saja ini adalah realitas kita sebagai orang percaya. Keselamatan yang telah kita dapatkan dan masa depan kita adalah hidup dalam damai dengan Allah.

Damai sangat erat hubungannya dengan relasi, bukan? Itulah realitas kita. Kita tidak hidup di awang-awang. Iman kita juga tidak di awang-awang. Keselamatan yang kita terima ya dan pasti, sehingga realitas hidup kita sekarang justru adalah hidup berdamai. Tidak ada masa depan yang lebih penting daripada hidup kekal yang dijanjikan Tuhan kepada kita. Dan ini berlaku untuk masa depan anak-anak kita.

Bagaimana kita dapat hidup dalam realitas?

Allah memiliki rancangan-rancangan dalam hidup anak-anak kita, dan rancangan-Nya adalah rancangan yang penuh damai sejahtera. Penuh harapan dan masa depan. Dengan memegang janji Tuhan ini, kita boleh percaya bahwa masa depan itu sungguh ada, dan harapan kita tidak akan pernah hilang. Caranya? Gantungkanlah harapan masa depan kita dan anak-anak kita kepada Tuhan yang mengendalikan hidup kita. Itulah realitas.

Marilah kita membawa anak-anak kita untuk tetap datang ke hadapan Tuhan, bergantung kepada Tuhan, bersandar kepada Tuhan, karena hanya Tuhan yang mengetahui masa depan mereka. Dialah yang memegang seluruh kehidupan mereka. Sebagai orangtua Kristen, tugas kita adalah menjadi orangtua yang realistis, yaitu orangtua yang cinta damai, yang memelihara relasi, yang membimbing anak-anak kita untuk menumbuhkan relasi mereka dengan Tuhan. Itulah realitas kita.

“Aku punya rencana,” demikian Tuhan berkata, “apakah kau percaya pada-Ku?”

 

Narasumber : Charlotte Priatna

Disadur oleh : Rosi Simamora

Penyelaras bahasa : Marlia Kusuma Dewi

Mari belajar dari tokoh-tokoh teladan wanita dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru melalui BUKU HEBAT UNTUK WANITA HEBAT. Dapatkan di linktr.ee/dhdindonesia.


Tersedia hadiah buku Teman Jelajah-Ester untuk pembelian dua judul (berlaku s/d tanggal 31 Mei 2023).

Yuk berjalan berdampingan untuk

Menjadi Orangtua Sebaik yang Kita Bisa.

Kami akan menampilkan artikel, kesaksian, dan tips-tips parenting setiap minggunya.

Klik untuk SUBSCRIBE