Pola komunikasi antara orangtua dan anak sangat berpengaruh terhadap pembentukan perspektif kehidupan anak. Perhatikan gaya bicara anak-anak zaman sekarang, gaya bicaranya mungkin meninggi, nyolot, kadang-kadang membuat kita tidak nyaman, bahkan tidak jarang memancing kita untuk bereaksi sambil melotot, “Mama dulu mana berani bicara sama Oma seperti ini? Tapi kamu malah ngomong sama Mama seperti ini nadanya! Mama belum selesai ngomong, kamu udah jawab!” Lalu ganti anak menyahut, “Enggak, saya bukan lagi jawab, saya lagi menjelaskan!”

Sekali lagi, pola komunikasi kita sangat menentukan pembentukan perspektif kehidupan anak. Oleh karena itu gaya bicara kita sudah tidak bisa lagi disamakan dengan gaya yang biasa dipakai orangtua kita pada abad ke-20. Dulu orangtua kita bisa mengatakan, “Ayo pakai baju itu! Pokoknya pakai!” dan kita akan menurut tanpa banyak memprotes, bukan? Tetapi kalau di zaman sekarang kita menggunakan kata “pokoknya”, kita perlu menjelaskan kepada anak-anak kenapa harus seperti itu.

Dorothy Law Nolte, seorang penulis puisi pendidikan Children Learn What They Live menulis: “Anak-anak belajar dari apa yang mereka alami dalam kehidupan ini. Kalau anak-anak banyak dikritik, mereka belajar mengutuk. Kalau anak-anak sering ditakut-takuti, mereka belajar menjadi kecil hati. Kalau anak-anak dikasihani, mereka akan mengasihani diri. Kalau anak-anak dicemooh, mereka akan menjadi pemalu. Kalau anak-anak dipermalukan, mereka akan merasa bersalah. Bukankah ini semua negatif? Tetapi jika kita memberikan perlakuan yang positif maka hasilnya pasti akan baik. Kalau anak-anak diberi dorongan, pasti anak-anak akan percaya diri. Kalau anak-anak dipuji, mereka akan belajar menghargai. Kalau anak-anak dibiasakan jujur, mereka akan belajar mengatakan yang sebenarnya. Kalau anak-anak banyak diterima, ia pasti belajar mengasihi, mengasihi diri sendiri dan orang lain. Kalau anak-anak banyak didukung, mereka belajar menyukai dirinya sendiri.

Anak belajar dari apa yang dilakukan oleh orangtuanya. Kita semua pernah melewati masa kecil. Ketika kita sudah tumbuh dewasa, mengapa kita masih punya apa yang disebut dengan “inner child”? Ini karena masa lalu berpengaruh hingga ketika kita dewasa. Itu sebabnya kita masih memiliki sikap kekanak-kanakan. Kita bisa ngambek atau diam seribu bahasa, menarik diri dari orang lain atau bisa juga bersikap meledak-ledak. Itu merupakan bagian dari apa yang pernah kita alami di masa lalu. Jika waktu kecil kita mengalami banyak kepahitan, ada kecenderungan bahwa kebencian itu akan kita wariskan, kita teruskan kepada anak-anak kita, sehingga itu menjadi satu lingkaran setan yang tidak pernah terputus.

Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa konflik antara orangtua dan anak itu adalah sesuatu yang wajar. Terutama ketika anak-anak beranjak remaja. Yang tidak normal adalah ketika kita melarikan diri dan menyembuhkan diri dengan cara kita sendiri. Hal ini bisa berakibat fatal. Setiap terjadi masalah dan terjadi konflik dalam komunikasi dan dalam relasi kita dengan anak, ayo diselesaikan! Bukan melarikan diri, atau malah menyibukkan diri dengan hal lain.

Sekarang ini kita hidup di NOW, yaitu saat ini dan di sini. Jangan kita hidup di PAST, yang sudah terjadi di masa lampau dengan kita mengatakan, “Dulu Mama begini… dulu Papa begitu…” Pada dasarnya, anak-anak kita ini, saat ini sedang menuju ke masa depan. Mari kita berusaha menjadi sahabat bagi anak. Namun, untuk mencapai hal tersebut, tentu ada tahapannya. Kapan kita bisa menjadi sahabat bagi anak-anak kita? Jawabnya adalah ketika mereka beranjak dewasa, yaitu ketika mereka berusia di atas 18 tahun. Anak-anak bisa menjadi sahabat bagi orangtua, dan orangtua menjadi sahabat bagi anak-anak ini, karena keduanya sudah sama-sama dewasa. Walaupun pasti ada perbedaan usia tapi anak bisa menjadi teman diskusi kita, seorang yang sudah bisa diajak berpendapat.

Maka usahakan agar terlebih dahulu kita bisa connect dengan mereka. Tujuan connect ini adalah agar kita bisa “win their hearts”—memenangkan hati anak. Ketika anak-anak masih berusia 0-8 tahun, itu masa kita menggembalakan hati anak. Usia 9-12 adalah fase peralihan, dan begitu anak-anak menginjak usia remaja, itu masa kita memenangkan hati anak. Cara kita memenangkan hati anak adalah dengan connect.

Connect is not just a contact but a connection

Di ponsel kita, pasti kita menyimpan banyak kontak, tetapi tidak semua kontak itu memiliki koneksi yang mendalam dengan kita. Koneksi itulah yang kita sebut “nyambung”, yang di dalamnya terkandung unsur mendengarkan dengan hati. Tindakan mendengarkan itu bukan hanya mendengar, tetapi ada hubungan timbal balik yang tepat.

Berikut beberapa tips di antaranya:

  1. Ngobrol bukan ngoceh ⇒ Kalau ngobrol itu dialog, ngoceh itu monolog.
  2. Diskusi bukan instruksi ⇒ Ketika berbicara dengan anak, usahakan untuk ngomong (diskusi) bukan ngotot (instruksi).
  3. Relasi bukan emosi, sehingga tercipta keintiman, bukan gengsi ⇒ Ketika kita ribut dengan seseorang, mungkin ributnya hanya lima menit, tetapi memperbaikinya butuh lima bulan, bahkan mungkin sampai bertahun-tahun. Rekonsiliasi sangat diperlukan, selesaikan dengan berdamai, tidak usah gengsi. Karena gengsi itu hanya ego kita saja.
  4. Hindari bermulut tajam ==> Kita tidak boleh menyakiti hati anak, tidak boleh membangkitkan amarah dalam hatinya. Namun, kita harus mendidik mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan. Sedapat mungkin hindari menggunakan kata-kata kasar. Ketika mereka bersikap kurang ajar tentu Anda harus dengan lemah lembut membimbing mereka dalam roh yang lemah lembut. Membimbing mereka dengan misalnya mengatakan, “Kamu nggak perlu ngomong seperti itu. Kamu nggak perlu berteriak.”
  5. Tidak perlu meributkan sesuatu yang sepele atau tidak prinsip. Salah satunya adalah hal-hal yang menyangkut selera, karena selera tidak perlu diperdebatkan. Misalnya warna baju, pakai kalung atau tidak pakai, mengenakan rok atau celana panjang, warna baju tabrakan, atau anak lebih nyaman mengenakan kaus daripada kemeja. Namun kalau sesuatu itu bersifat prinsip, tentu Anda harus menegakkannya. Anda harus mengatakan bahwa ini memang prinsip dan tidak bisa ditawar. Prinsip berarti semua harus melakukan hal yang sama. Misalnya: ketika pergi ke pesta, tentu kita tidak bisa mengenakan piama karena piama itu untuk dipakai tidur. Kalau ke pesta pasti kita perlu mengenakan pakaian tertentu untuk menghormati orang yang mengundang kita. Jadi sambil menegakkan prinsip, kita juga memberikan alasan di baliknya.

“Children may never remember what you said, but they will always remember how you made them feel.”

Anak-anak mungkin tidak akan ingat apa yang kita katakan, tetapi mereka akan selalu ingat bagaimana kita membuat mereka merasa. Ketika hati anak kita buat tersentuh, nah anak tidak akan pernah melupakannya.

Anak-anak ingin dihargai, dianggap penting, dan diterima apa adanya, bukan diterima ada apanya. Kata-kata yang lembut justru dapat memenangkan hati yang keras. Seperti tetesan air yang bisa melubangi batu yang keras. Betapa luar biasanya efek kelembutan.

Ketika anak mau terbuka kepada kita, dia membutuhkan perasaan aman. Perasaan aman bisa didapatkan saat anak mengetahui betapa orangtuanya juga pernah merasakan kerapuhan yang sama seperti yang sedang dia alami saat ini. Orangtuanya bukan orang yang sempurna, sama seperti dia. Orangtuanya juga pernah gagal, sama seperti dia. Nah, pada saat itulah rasa aman akan muncul dalam diri anak kita.

Ketika anak mau bercerita tentang kegagalannya, keburukannya, ia tahu orangtuanya memahami kondisi itu karena orangtua sudah terlebih dahulu mengalaminya. Rasa aman didapatkan oleh anak ketika tahu bahwa kita pun sama-sama lemah, sama-sama tidak berdaya. Anak justru akan merasa tidak aman ketika tahu orangtuanya begitu sempurna, tidak pernah berbuat kesalahan, apalagi selalu merasa benar. Kalau ini terjadi, anak akan cepat mengambil kesimpulan, “Ngapain aku bicara, pasti Mama/Papa bakal marah, pasti nanti aku malah disalahkan.”

“Jendela hati” anak terbuka saat dia berada pada situasi yang paling down dan paling up. Dan kesempatan-kesempatan seperti ini dapat kita gunakan untuk membangun koneksi dengannya. Kita bisa mulai dengan membuka diri kita terlebih dahulu. Tentang bagaimana dulu kita pernah mengalami kegagalan. Jangan takut anak menjadi tidak hormat kepada kita karena hal itu. Kita tidak perlu takut karena justru ketika kita menjadi apa adanya, itu dapat membuat anak juga berani untuk menjadi apa adanya.

Narasumber: Charlotte Priatna
Disadur oleh: Marlia Kusuma Dewi
Penyelaras bahasa: Rosi Simamora

Yuk berjalan berdampingan untuk

Menjadi Orangtua Sebaik yang Kita Bisa.

Kami akan menampilkan artikel, kesaksian, dan tips-tips parenting setiap minggunya.

Klik untuk SUBSCRIBE