MARVEL TIDAK NAIK KELAS!

Sekujur tubuh Yolanda langsung lemas, surganya runtuh. Ia merasa gagal, dan pikirannya langsung dijejali perasaan cemas. Bagaimana caranya memberi tahu Marvel? Putranya itu pasti bakal kecewa, malu, terpukul… Apakah anak itu sanggup menerima berita buruk ini?

Sebagai ibu, Yolanda sebetulnya telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah peristiwa ini. Ia bahkan sempat menjejali sang putra dengan les ini-itu sejak awal tahun ajaran, tetapi semua dihentikan di tengah jalan karena Marvel mogok.

Namun, Yolanda tidak menyerah. Ia ganti meminta para guru supaya memberi Marvel kesempatan untuk menambah nilai dengan mengerjakan tugas tambahan dan ulangan perbaikan. Ia bahkan melakukan tindakan “suap” halus dengan memberi para guru buah tangan dan hadiah-hadiah kecil. Sebut saja segala jenis upaya yang bisa dilakukan seorang ibu agar anaknya tidak tinggal kelas, semua sudah dilakukan Yolanda. Tapi kali ini ia tidak dapat menyelamatkan Marvel dari kegagalan.

Yolanda mulai cemas dan panik. Seperti yang dikhawatirkannya, Marvel menangis dan marah, apalagi saat melihat ibunya diam saja karena tidak tahu harus berbuat apa. Ia menuduh sang ibu tidak mau menolongnya. “Kalau harus nggak naik kelas, Marvel mending mati aja!” ancamnya, membuat hati Yolanda teriris-iris.

Tidak mungkin kan, sebagai ibu, aku hanya duduk berpangku tangan sementara putraku bersimbah air mata? pikir Yolanda. Kalimat inilah yang selalu diucapkannya pada diri sendiri setiap kali Marvel menghadapi kejadian yang membuatnya tidak nyaman. Ibu macam apa aku ini, tidak menolong anakku dan mengeluarkannya dari bencana mengerikan ini?

Maka tanpa menunda-nunda, Yolanda mulai menelepon ke sana-sini. Dan sebelum hari berakhir, seorang teman memberi tahu bahwa ada sekolah yang bersedia menerima murid seperti Marvel, tanpa Marvel perlu mengulang di kelas yang sama. Alias, ia tetap naik kelas.

Semua Orangtua Ingin Anaknya Bahagia

Tidak ada orangtua yang tidak menginginkan kebahagiaan untuk anak-anaknya. Namun, kebahagiaan bukan segalanya. Kebahagiaan adalah anugerah, bukan tujuan.

Sayangnya, tidak sedikit orangtua yang terobsesi dengan kebahagiaan putra-putrinya dengan menganggap kebahagiaan anak sebagai barometer keberhasilan mereka sebagai orangtua.

Seperti Yolanda, orangtua sering kali kebablasan dalam bertindak, bahkan cenderung menganggap kegagalan dan kekalahan sebagai ancaman bagi kebahagiaan anak-anak. Akibatnya, setiap kali sesuatu muncul, orangtua langsung bertindak membereskan segalanya bagi anak-anak.

Sikap orangtua yang seperti ini semakin sering ditemukan, khususnya di dunia sekolah. Jika pada dua-tiga dekade yang lalu orangtua nyaris tak pernah ikut campur mengenai kebijakan sekolah anak mereka, tidak begitu halnya dengan orangtua zaman sekarang. Banyak orang merasa sudah menjadi orangtua yang baik jika berhasil memperjuangkan anak untuk pindah kelas karena di kelas yang sekarang ada teman yang tidak disukai si anak, misalnya. Ada juga orangtua yang tidak sungkan memprotes guru ekskul saat putranya merajuk karena tidak diberi peran penting dalam drama sekolah, dan masih banyak kejadian serupa lainnya.

Namun, jika orangtua tidak berhasil “menyelamatkan” anak-anak dari situasi yang sulit, sering kali mereka langsung merasa panik dan tertekan. Mereka menganggap diri sendiri sebagai orangtua yang gagal. Ya, saking terobsesinya dengan kebahagiaan anak, orangtua sampai mau melakukan apa saja demi mengenyahkan segala sesuatu yang dapat merusak kebahagiaan anak-anak mereka.

Dengan segala niat baik, orangtua berusaha membangun surga bagi anak-anak mereka di dunia ini. Surga di mana anak-anak akan terlindung dari kegagalan, kekalahan, kekecewaan, penderitaan, bahkan ketidaknyamanan. Namun pertanyaannya, mungkinkah mereka melakukannya?

Bisakah Orangtua Membangun Surga bagi Anak-Anak?

Di sebuah artikel parenting, seorang psikolog bernama John Watson berkata, “Jika Anda tergoda untuk memanjakan anak Anda, ingatlah bahwa ‘kasih’ Ibu adalah instrumen berbahaya.”

Kasih adalah sesuatu yang baik. Namun, sesuatu yang baik bisa jadi berbahaya jika tidak lahir dari motivasi yang datang dari Allah. Setiap orangtua pasti menyayangi anak-anaknya, tetapi jika “kasih” itu tidak dibangun di atas dasar yang benar, kasih tersebut akan dimaknai dengan cara yang keliru.

Ini seperti pemikiran orangtua pada umumnya. Banyak orangtua membangun semacam “surga” bagi anak-anak karena ingin melindungi mereka dari ketidakbahagiaan. Orangtua berpikir memang begitulah kasih sayang yang sesungguhnya, yaitu selalu sigap menolong setiap kali anak-anak menghadapi tantangan. “Dunia ini rusak dan berbahaya, memangnya salah kalau sebagai orangtua kita melindungi anak-anak kita?” begitu orangtua sering berkilah.

Masalahnya, orangtua tidak mungkin membangun surga bagi anak-anak, karena satu-satunya yang dapat membangun surga yang sempurna adalah Allah. Jika orangtua berkeras membangun surga bagi anak, maka surga itu akan seperti rumah yang dibangun di atas pasir, yang mudah roboh begitu orangtua dan anak melakukan kesalahan atau mengalami kegagalan. Bukan itu saja. Jikalau surga yang telah bertahun-tahun orangtua bangun itu runtuh, maka anak akan terguncang. Seperti Yolanda dan Marvel. Kalaupun sang ibu akhirnya “menyelamatkan” putranya dari tinggal kelas sekarang ini, bisakah Anda bayangkan akan seperti apa Marvel ketika dewasa nanti?

Surga Orangtua Takkan Dapat Menandingi Surga Ciptaan Allah

Surga yang dibangun orangtua tak mungkin dapat menandingi surga yang sedang Allah persiapkan bagi seluruh umat-Nya. Jika orangtua dapat menanamkan dalam hati dan pikirannya bahwa kehidupan di dunia ini adalah perjalanan menuju surga Allah yang mulia dan kekal, maka orangtua akan dapat memandang segala sesuatu yang terjadi atas diri mereka dan anak-anak sebagai bagian dari cara Allah memproses umat-Nya hingga menjadi ciptaan baru milik-Nya.

Jika orangtua berpegang pada janji Allah tersebut, maka setiap ketidaksempurnaan yang dihadapi anak tidak akan membuat hancur hati. Sebaliknya, orangtua dapat dengan setia mendampingi dan mengajari anak untuk memandang kegagalan dan ketidaksempurnaan sebagai pengingat bahwa Allah sedang bekerja dalam diri anak-anak Tuhan.

Firman Tuhan dalam Amsal 1:8-9 mengatakan, “Hai anakku, dengarkanlah didikan ayahmu, dan jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu sebab karangan bunga yang indah itu bagi kepalamu, dan suatu kalung bagi lehermu.”

Penulis Amsal sejak dulu mengingatkan bahwa peran orangtua sangat penting bagi tumbuh kembang iman anak. Jika ayah dan ibu melakukan perannya dengan baik, ajaran-ajaran mereka dapat menambah budi baik anak, seperti hiasan di kepala dan kalung yang memperindah penampilan seseorang.

Ayah yang baik perlu memperkenalkan firman Tuhan dan mengajarkan doktrin-doktrin yang dapat dipahami anak sesuai umur mereka. Ia menerapkan disiplin, menegur dan mengekang anak, serta memberi “hukuman” dengan hikmat dan penuh kasih apabila diperlukan. Seorang ayah yang baik juga menyediakan waktu untuk membangun relasi dengan anak, misalnya dengan melakukan hobi dan aktivitas bersama anak.

Di sisi lain, peran ibu dalam kehidupan seorang anak juga tak kalah penting. Ibu yang baik dengan sabar dan setia mendidik anak sehingga sang anak semakin hari semakin mengenal jati dirinya sebagai makhluk ciptaan Allah yang unik. Ibu yang baik dengan tekun menenun karakter anak hari lepas hari sehingga sesuai dengan firman Tuhan. Namun, bukan itu saja. Ibu yang baik juga tidak lupa menolong anak untuk mengembangkan kasih dan menjalin relasi dengan sesama.

Dengan mengetahui semua ini, orangtua diingatkan bahwa tugas utama mereka adalah mendidik dan mengajar anak-anak sehingga memiliki karakter-karakter yang memuliakan Tuhan, bukannya membangun surga di dunia.

Oleh karena itu, marilah kita para orangtua mendorong anak-anak untuk bertekun melalui kesulitan sejak mereka berusia dini. Dampingi mereka untuk menghadapi setiap tantangan yang menghampiri, bimbing mereka untuk mengatasinya, temani mereka ketika gagal, tetapi jangan pernah merampas semua itu dari mereka.