Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga

Wanita yang sedang berbicara di telepon itu sungguh sedih. Dengan suara gemetar dan gugup, Wati menceritakan bahwa kemarin malam, suaminya, Roni, mengejarnya dengan pisau dan mengancam akan membunuhnya.

Wati sangat ketakutan. Ini bukan pertama kalinya Roni menganiaya dirinya. Selama empat tahun pernikahan mereka, Roni telah berulang kali memukul Wati dan mengucapkan kata-kata penghinaan.

Sayangnya, pernikahan seperti ini banyak dijumpai.. Dan meski tidak begitu banyak terjadi di lingkungan gereja, tetap saja hal ini cukup mengejutkan.

Definisi Kekerasan dalam Rumah Tangga

Di zaman kemerdekaan ini seharusnya semua orang dapat menghirup udara kebebasan. Namun, ternyata sampai sekarang pun masih banyak warga yang terenggut kebebasannya dengan adanya “penjajah-penjajah” lokal yang menguasai hidup mereka baik dalam pekerjaan, pergaulan, bahkan di rumah tangga. Secara khusus, penjajahan yang terjadi dalam pernikahan merupakan masalah serius. Hal ini bisa berupa kekerasan fisik, kata-kata, maupun intimidasi yang dilakukan oleh pasangan.

Penjajahan dalam pernikahan merupakan penyalahgunaan kekuasaan dan kendali. Ini lebih merupakan upaya untuk memaksa dan mengendalikan pasangan baik secara fisik maupun psikis. Kekerasan fisik termasuk menampar, mencakar, menggigit, menendang, mendorong, mencekik, memukul, melecehkan secara seksual, menikam, dan menembak. Sedangkan kekerasan psikis bertujuan untuk mengintimidasi dan mengendalikan, seperti memanggil pasangan dengan nama ejekan, membuat pasangan merasa bersalah, bersikap merendahkan, mengkritik, dan mengancam. Pasangan yang bersikap kasar ini juga mendominasi dengan membatasi aktivitas dan pertemanan pasangan mereka, mendiamkan, membatasi keuangan secara ketat, atau menghancurkan barang-barang yang disukai pasangannya.

Penganiayaan terhadap pasangan tidak mengenal batas-batas ekonomi, pendidikan, ras, atau agama. Hal itu dapat terjadi dalam keluarga mana pun. Sering kali yang mengalami penganiayaan adalah wanita, baik ibu rumah tangga maupun wanita karier yang menikah dengan pria dari berbagai latar belakang karier, termasuk pemimpin gereja. Dalam artikel ini kita akan secara khusus menyoroti wanita sebagai pihak yang terjajah.

Dampak yang Ditimbulkan

Nyata atau tidak, secara emosi maupun fisik, penjajahan yang dialami wanita akan melukai tubuh dan jiwanya. Meski luka yang dirasakan berbeda-beda, semua bentuk penganiayaan akan menimbulkan luka-luka yang sangat menyakitkan, baik itu luka yang kasatmata maupun yang tidak Luka yang kasatmata atau luka fisik dapat berupa memar, goresan atau lecet, tusukan, luka dalam, patah tulang dsb. Luka yang tidak kasatmata dapat berbentuk pedihnya pengkhianatan yang dilakukan pasangan,perasaan tidak berdaya dan tidak berharga,kehilangan kebebasan, hancurnya kehormatan, bahkan harga diri.

Respons terhadap Kekerasan dalam Rumah Tangga

Istri mempunyai alasan yang baik untuk tunduk kepada suami yang mengasihi, memimpin, dan rela berkorban seperti yang dilakukan Yesus untuk gereja (Efesus 5:23,25,28-29). Namun, ketika suami merusak panggilan untuk mengasihi ini dengan melakukan penindasan dan kekerasan seperti yang dijelaskan di atas, istri perlu mengambil langkah yang mantap untuk melindungi dirinya dan anak-anaknya dari cengkeraman penjajahan suaminya.

Tidak ada istri yang dapat sepenuhnya mengasihi suami yang suka menganiaya. Dalam rumah tangga yang diwarnai kekerasan, perasaan takut biasanya akan terus menarik istri untuk bersikap pasif. Selain itu, keinginan untuk membalas kejahatan dengan kejahatan kadang-kadang tak tertahankan. Namun, jika istri yang teraniaya ini adalah pengikut Kristus, keinginan untuk membalas dendam tak pernah terbit dalam hatinya. Dengan Roh Kristus dalam dirinya, ada keinginan yang lebih besar untuk ia mengasihi suaminya. Ini bukan karena ia takut kehilangan suaminya, melainkan karena ia menginginkan yang terbaik bagi suaminya.

Sebagai istri yang bertumbuh dalam relasinya dengan Pribadi yang menunjukkan kasih yang luar biasa kepadanya dengan rela mati untuk dosa-dosanya, sang istri ini dapat memiliki lebih banyak kekuatan dan kerinduan untuk menyatakan kasih Kristus kepada suaminya yang suka menganiaya. Dan meski suaminya mungkin tidak pernah mengakui dosanya—terus menjajah dan menyalahkan istri—istri dapat mengerti sepenuhnya bahwa dia perlu bergantung sepenuhnya kepada Allah untuk menyatakan keadilan dan kedaulatan-Nya atas kehidupan rumah tangganya.

Allah pun mengetahui adanya sejumlah hal yang lebih buruk daripada perceraian.

Namun, bagaimana jika suami tidak bersedia melakukan proses rekonsiliasi? Maka istri harus terus melangkah maju dengan mengikuti konseling rohani dan mengambil tindakan secara hukum yang kemungkinan akan melibatkan perpisahan sementara ataupun perceraian. Sama seperti Allah membenci perceraian yang egois dan menguntungkan diri sendiri (Maleakhi 2:16a), Allah juga membenci segala bentuk kekerasan yang mengintimidasi dan mengancam ketenteraman rumah tangga (Maleakhi 2:16b). Allah pun mengetahui adanya sejumlah hal yang lebih buruk daripada perceraian.

Kebenaran ini jarang dibahas, bahwa Perjanjian Baru mengizinkan seorang wanita meninggalkan pernikahannya karena alasan-alasan tertentu, tetapi tidak ada kebebasan untuk menikah lagi. Paulus menulis, “Kepada orang-orang yang telah kawin aku–tidak, bukan aku, tetapi Tuhan–perintahkan, supaya seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya. Dan jikalau ia bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya. Dan seorang suami tidak boleh menceraikan isterinya” (1 Korintus 7:10-11).

Langkah ini diambil ketika kondisi semakin tidak kondusif dan membahayakan istri dan anak-anak. Namun, yang terpenting dari semua itu adalah pengampunan, yakni Dengan membereskan sakit hati dan menolak hak untuk membalas dendam. Pengampunan adalah satu-satunya jembatan untuk membangun kembali hubungan yang telah rusak akibat penganiayaan.

Refleksi:

  1. Jika Anda sedang terjajah dan memerlukan pertolongan, Anda mendapat undangan dari Seseorang yang telah menderita dan mati bagi Anda. Dia adalah Yesus yang mengatakan, “Marilah kepada-Ku semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (Matius 11:28).
  2. Jika Anda adalah penjajahnya, mintalah pertolongan kepada Tuhan untuk mengendalikan emosi Anda. Pernikahan yang dibangun di atas perjanjian sehidup semati ini, tidak akan bisa dipertahankan jika yang seorang berusaha memperbaiki sementara yang lain berusaha untuk merusaknya. 1 Yohanes 1:9 menyatakan, “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.”

Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel — juga orang yang menutupi pakaiannya dengan kekerasan, firman TUHAN semesta alam. Maka jagalah dirimu dan janganlah berkhianat! Maleakhi 2:16 (TB)

Disarikan dari buku “Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga, Bila Suami Mengekang atau Menyakiti Istri” (Tim Jackson dan Jeff Olson).

Anda diberkati dengan materi ini?
Pastikan Anda tidak ketinggalan membaca tulisan-tulisan terbaru kami lainnya.

Klik untuk SUBSCRIBE