Pesan dari Levana singkat saja: “Sekolah nelepon. Bantuin handle ya. Aku lagi menghadap Direktur soal itu.”

Bukan baru sekarang Levana, sepupunya, meminta bantuan Amira untuk mengurus Nathan yang bermasalah di sekolah. Belakangan malah semakin sering. Tapi… setidaknya kali ini Levana berhalangan karena sedang mengurus “itu”. Kalau mengingat percakapan mereka seminggu yang lalu, “itu” artinya penting, karena sehubungan dengan Nathan.

“Tommy terus merongrongku meminta izin perusahaan agar diperbolehkan bekerja dari rumah untuk sementara waktu!” keluh Levana minggu lalu. “Bayangkan kalau aku melakukannya! Bisa-bisa promosi yang sudah dijanjikan kantor sejak tahun lalu lepas begitu saja dari genggamanku, dan…”

“Mungkin Tommy ngotot karena ini demi kebaikan Nathan?” potong Amira.

“Iya sih. Tapi menurutku berlebihan. Aku yakin ini cuma fase khas anak remaja, nanti juga lewat. Sekolah saja yang terlalu membesar-besarkan, dan sekarang Tommy ikut latah,” omel Levana.

“Hmmm… yang kutangkap, Nathan memang membutuhkan perhatian yang lebih intens sih, Lev…” ucap Amira.

“Tapi dua kakak…”

“Iya, iya… aku tahu. Dua kakaknya dulu nggak begitu. Mereka sudah mandiri sewaktu seumur Nathan. Padahal mereka dididik dengan cara yang sama,” ujar Amira. “Kamu sudah bilang begitu berulang kali. Tapi… kamu tahu kan, karakter setiap anak itu berbeda-beda. Dan pengalaman mereka juga berbeda-beda. Kakak-kakaknya tidak pernah jadi korban bully, sedang Nathan…”

“Maksudmu, Nathan di-bully lagi?” sambar Levana.

“Kalaupun iya, seharusnya ibunya lebih dulu tahu daripada tantenya dong, Lev.” Amira menyusun kata-katanya dengan hati-hati, “Tapi bukan itu masalahnya. Kamu tahu, di sekolah Nathan suka membadut? Awalnya memang lucu, tapi belakangan dia jadi dicap nakal, perusuh, dan sebagainya. Menurut guru BK, Nathan begitu haus perhatian sampai nekat melakukan hal-hal berbahaya…”

“Seperti melakukan prank-prank yang kebablasan,” ucap Levana muram.

Amira merangkul sepupunya. “Dia hanya membutuhkan ortunya, Lev,” ucapnya. “Dia merasa sendirian, kurang diperhatikan, kurang di…lihat. Kamu sendiri bilang dia sangat diam dan… tertutup. Mungkin, itu karena dia kesepian…”

Kesepian.

Levana langsung teringat pada Suster Grace, babysitter Nathan sejak bayi. Begitu sang suster diberhentikan, masalah bergantian muncul. Selama dua tahun terakhirnya di SD, Nathan kesulitan bersosialisasi dan jadi korban bully di sekolah, lalu perlahan menutup diri.

Yang lebih mengenaskan, Levana dan Tommy baru tahu belakangan. Itu pun dari Suster Grace yang berkirim pesan WA suatu malam. “Ibu jangan marahin Dik Nathan ya… Dik Nathan sering cerita, dia kesepian. Di sekolah dia di-bully, di rumah dia… merasa tidak punya siapa-siapa. I… Ibu dan Bapak baru pulang malam-malam, Bang Edu dan Bang Randy tinggal di asrama.”

Ia kecewa saat menyadari Nathan lebih memilih bercerita kepada Suster, daripada kepada papa dan mamanya. Levana ingat ia dan Tommy bertengkar karena urusan ini. Tapi yah… cuma sebentar, karena masalah-masalah di kantor dengan cepat merenggut kembali perhatian dan waktu mereka. Seperti para orangtua yang kelewat sibuk dengan ambisi mereka sendiri, Tommy dan Levana dengan cepat menyerah dan memilih memalingkan wajah dari masalah di dalam keluarga.

Mungkinkah ini buntut dari kelalaian mereka dulu itu? Atau… sebenarnya ini memang fase masa remaja yang akan berlalu sendiri? Mungkin mereka bisa mencari psikolog, atau kegiatan-kegiatan lain agar Nathan tidak mengeluh kesepian? Levana mencari-cari dalih dan jalan untuk berkelit.

“Lev…?” tegur Amira.

“Aku sebenarnya tidak mengerti kenapa Nathan merasa kesepian dan tidak diperhatikan. Kami kan bekerja membanting tulang demi dia dan kakak-kakaknya. Masa depan yang gemilang itu tidak murah lho!” emosi Levana terpancing. “Aku sayang padanya, tapi kuakui aku tidak mengerti cara menghadapinya. Sudah diomeli panjang-lebar, dikasih pengertian, dinasihati, tidak juga berubah…”

“Ya memang tidak mudah sih, Lev. Tapi bukannya tidak bisa. Semua ini terjadi tidak dalam semalam, tentunya membereskannya tidak bisa dalam semalam juga. Kalau menurutku, usulan Tommy ada baiknya dicoba. Dengan bekerja dari rumah, kamu tidak terlalu tersita dengan urusan kantor dan bisa lebih fokus membangun relasi dengan Nathan. Mungkin dengan begitu dia akhirnya bisa membuka diri dan membiarkan ibunya masuk.”

“Tapi, kan…” Levana mencoba berdalih.

“Lev, Nathan… dia anakmu. Sudah seharusnya dia jadi prioritas utamamu. Kita tuh tidak bakal bahagia jika tugas utama kita sebagai orangtua gagal kita penuhi loh, Lev. Kita bakal menyesal kalau itu sampai terjadi. Tak peduli sesukses apa pun pekerjaanmu, kamu tidak akan bisa berbahagia kalau anak-anakmu… terperangkap dalam ketidakbahagiaan, kesepian.”

Lama baru Levana menjawab lesu, “Ya sudah. Akan kulakukan usulan Tommy itu.”

Kini Amira memandang ke luar jendela taksi yang membawanya ke sekolah. Kepada Nathan. Tadi sebelum berangkat ia menyempatkan menelepon guru BK, untuk memberi tahu bahwa dialah yang akan mewakili Levana. Bu Guru kecewa, karena pertemuan kali ini sangat penting. Ia ingin membahas karangan Nathan dalam tugas pelajaran bahasa Indonesia.

“Akan saya kirim berkas tulisan Nathan untuk Ibu baca sekarang. Mungkin sebagai kerabat dekat, Ibu bisa menyampaikan ke orangtuanya bahwa Nathan anak yang sangat kesepian dan tidak bahagia, tapi sepertinya orangtuanya tidak menyadari hal itu.”

Kesepian.

Dada Amira bagai diremas sementara matanya mengikuti kata-kata yang dituliskan Nathan. Anak Paling Kesepian di Dunia, begitulah judul karangannya. Dan meski cerita itu dikemas dengan jenaka, Amira dapat menangkapi jerit-pekik kesedihan yang disembunyikan penulisnya dengan susah payah. “Hati mengenal kepedihannya sendiri, dan orang lain tidak dapat turut merasakan kesenangannya,” kata seorang raja bijak ribuan tahun lalu. Ah, rupanya hal ini masih terjadi sampai sekarang, dan betapa pedih rasanya ketika itu terjadi pada anak-anak… seperti Nathan. Semakin lama Amira semakin tak tahan memikirkannya.

Perlahan gedung sekolah mulai tampak, dan tepat sebelum Amira turun dari taksi, sebuah pesan WA tiba di ponselnya. Levana.

“Sorry, tolong diwakili dulu ya. Belum sempat ngomongin ‘itu’, eh… Direktur malah kasih kabar gembira: aku dipromosikan. Yaay! Cerita nanti menyusul!”

Amira terkesiap tak percaya, matanya memandang layar ponselnya tanpa berkedip. Lalu tanpa dapat ditahan, air matanya mengalir turun. Untuk Nathan, anak yang merasa paling kesepian di dunia. Terbayang olehnya betapa kecewanya anak itu nanti saat melihat Amira-lah yang muncul, bukan ibunya. Kekecewaan yang telah berkali-kali ia saksikan, namun selalu ditepiskan oleh sang ibu.

“Ya Bapa, tolonglah Nathan. Tolonglah keluarga mereka…,” bisik Amira sebelum memasuki ruang guru BK. Di ujung ingatannya ucapan Bunda Teresa terbit dan mengiris hatinya: “Lebih mudah memberikan semangkuk nasi untuk menghilangkan rasa lapar daripada melenyapkan kesepian dan kepedihan seseorang yang tidak dicintai di rumah kita sendiri.”

Anda diberkati dengan materi ini?
Pastikan Anda tidak ketinggalan membaca tulisan-tulisan terbaru kami lainnya.

Klik untuk SUBSCRIBE