“Maaf ya, Ma, tadi Fidel nggak hati-hati,” ucap anak laki-laki kecil itu. Ia duduk lemas di atas sofa, wajahnya tampak muram dan nyaris menangis. “Tadi teman Fidel datang, trus kami keasyikan main perang bantal. Eh … bantalnya nggak sengaja kelempar kena kipas angin, jadi tutup depannya lepas.”

Spontan Tirza menoleh ke kipas angin dan melihat tutup depannya tergeletak di lantai, jadi tinggal tutup belakang dan baling-baling kipasnya saja. Sebenarnya tutup depan itu tinggal dipasang lagi dengan mudah, hal sederhana yang bisa dilakukan orang dewasa, tetapi tidak bagi anak sekecil Fidel. Di sepanjang tepi penutup kipas tampak sisa-sisa lem berwarna putih. Jelas tampak kerja keras di baliknya. Rupanya Fidel telah berusaha keras menempelkan penutup depan kipas langsung dengan penutup belakangnya dengan lem. Dia ingin memperbaiki sendiri, hanya saja tidak berhasil.

Seandainya Tirza masih dirinya yang dulu, maka ia akan marah besar kepada anaknya, dengan nada tinggi memuntahkan kalimat-kalimat tanpa ampun, “Udah nggak usah main lagi!! Main kok kasar begini!! Lain kali, hati-hati!! Kamu tahu nggak berapa harga kipas itu? Kamu nggak sayang sama Mama ya??!!!” Ia bisa saja berespons seperti itu.

Namun, sekarang Tirza cuma duduk, menghela napas dalam-dalam dan menenangkan diri dengan berdoa dalam hati: “Tuhan, tolong aku.”

Lalu ia tersenyum, memeluk Fidel yang sudah hampir menangis. “Nggak apa-apa, Sayang. Terima kasih ya kamu sudah jujur dan berusaha memperbaiki kipas angin ini.” Sambil menatap mata putranya, Tirza melanjutkan, “Tadi di tempat kerja, Mama juga melakukan kesalahan kok. Kita sama-sama belajar untuk berhati-hati, ya.” Sambil berkata begitu, ingatan Tirza pun kembali ke kejadian tadi di sekolah tempatnya bekerja.

Suasana kantor saat itu begitu riuh, gegap gempita menyambut 3000 eksemplar buku terbaru yang tiba di kantor. Sudah berbulan-bulan tim mereka bekerja keras mengerjakan buku itu. Hari demi hari dan jam demi jam dipakai untuk menulis, mengedit, dan dan mengulas kembali materi-materi di dalamnya. Buku yang berbicara mengenai karakter ini sangat besar artinya. Setiap bab membahas tentang karakter yang berbeda-beda, dilengkapi dengan kejadian yang seolah-olah merupakan ujian terhadap karakter yang sedang dibahas. Betapa seluruh tim penulisan berjuang bukan hanya sekadar urusan administrasi melainkan juga mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah pengalaman baru yang Tirza temui dalam pekerjaan tulis-menulis buku.

Semua orang bersukacita dengan kedatangan boks-boks buku berwarna hijau itu. Dengan tidak sabar mereka membuka halaman demi halaman sambil terus mengagumi pekerjaan Tuhan dalam proses penulisan buku tersebut.

Namun, mendadak Tirza berhenti di halaman menjelang akhir buku. Berkali-kali ia membolak-balik halaman sebelum dan sesudahnya, seolah tidak mempercayai matanya sendiri. Benar … ada satu bagian penting yang terlewat dan tidak ada di sana, di buku itu, yaitu salah satu bagian endorsemen. Sebuah kesalahan fatal yang tentu saja bukan hanya ada di buku yang dipegangnya, tetapi juga pada 2999 eksemplar buku yang baru saja datang.

Bagaimana mungkin ini sampai terjadi? pikir Tirza tidak percaya. Ia yakin sudah memberikan file revisi ke bagian lay out akhir buku. Namun, entah mengapa, bagian itu tidak ikut tercetak, dan ia tidak melihatnya meski pada waktu mengedit buku itu ia sudah berkali-kali membaca ulang isinya dari awal sampai akhir, memperhatikan titik koma, tanda kutip, dan lain-lain. Namun, ia mengakui bahwa ia dihadapkan pada situasi di mana ia terpaksa memilih antara mengejar tenggat waktu atau ketelitian. Dan inilah hasilnya. Tetap saja ada kesalahan. Aduh!!!

Meski udara terasa panas, tubuh Tirza menggigil, rasa bersalah yang sangat besar menerpanya dan ia merasa lemas tak bertenaga. Ya Tuhan, bagaimana aku bisa mempertanggungjawabkan kesalahan ini kepada atasanku? Bagaimana responsnya nanti? Buku ini sangat berarti baginya, dia penulisnya dan karena keteledoranku buku ini menjadi tidak sesempurna seperti harapannya.

Dan tentu saja Tirza harus mengakui bahwa semua ini murni kesalahannya dan tidak melempar tanggung jawab ke rekan di bagian layout. Atau menyalahkan tenggat waktu yang begitu ketat yang membuatnya kewalahan dari hari ke hari. Ini murni kesalahanku, akulah yang kurang teliti melihat layout terakhirnya, batin Tirza.

Beban itu begitu berat dirasakannya, dan Tirza pun diam-diam menangis di ruangannya. Gelak tawa gembira beberapa menit lalu sekarang menjadi duka baginya. Surga itu belum sempat menyentuh bumi, mendadak sudah menjadi seperti neraka di hatinya. Apa yang harus dilakukannya? Mungkin permintaan maaf saja tidak akan cukup untuk menebus kesalahannya itu. Haruskah ia mencetak ulang semua buku itu dengan biaya sendiri? Lalu apa yang bisa dilakukan dengan tiga ribu eksemplar buku yang sekarang sudah bertengger manis di kantor mereka? Masakan dibuang begitu saja?

Namun, tiba-tiba sebuah tepukan lembut di pundak Tirza membuyarkan ratapannya.

“Tirza, tidak apa-apa kok!” suara lembut atasannya terdengar bagaikan siraman air dingin pada tenggorokannya yang begitu kering. “Sori ya, kalau kamu merasa diburu-buru saat mengerjakan buku ini,” lanjut atasannya. “Dan terima kasih kamu sudah bekerja keras. Tidak apa-apa, Tirza. Kekurangan itu bisa kita revisi kok di cetakan kedua nanti. Seperti nama buku ini, namanya juga learning to learn. Kita belajar dari kesalahan. Kejadian ini adalah suatu bukti bahwa kita tidak bisa berhenti untuk belajar.”

Beban yang begitu berat seolah terangkat dari hati Tirza ketika rasa tertuntut itu Tuhan balikkan menjadi pelukan yang besar dari Tuhan sendiri, sehingga Tirza dapat berkata, “Begini rupanya rasanya terus menjadi murid Kristus. Begini rupanya rasanya terus diproses dan dibentuk untuk belajar taat, rendah hati, dan menghargai anugerah yang menemani proses belajar itu hari demi hari.”

Saat ini Fidel pasti juga dapat merasakan perasaan diampuni seperti yang Tirza rasakan di kantor tadi. Baginya momen itu Tuhan jadikan indah, dan Tirza betul-betul menikmati hubungan itu. Besok kalau teman-teman Fidel datang lagi ia akan memasukkan kipas angin itu ke kamar supaya aman.

Banyak hal dalam kehidupan ini yang Tirza pelajari bukan dari teori-teori di kelas-kelas, tetapi justru dalam kehidupan sehari-hari. Dulu ia pernah berurusan dengan “kepahitan” terhadap mamanya. Bertahun-tahun ia jatuh-bangun dalam hal mengasihi, mengampuni, lalu balik membenci bahkan menyalahkan diri sendiri. Dan hubungan yang tidak ideal ini pun menjadikannya seorang yang tidak dapat berfungsi secara maksimal dalam perannya sebagai seorang istri, ibu, dan pelayan Tuhan. Namun, lagi-lagi Tuhan meraihnya dengan kasih pengampunan-Nya yang begitu besar.

Bukan itu saja. Tuhan bahkan merengkuh Tirza dalam kehangatan kasih seorang ibu dalam diri atasannya, yang membuat Tirza sungguh-sungguh baru bisa merasakan kasih Bapa sebagai orangtua, yang memeluk dan menerima dirinya seutuhnya, yang menuntun—bukan menuntut.

Dan inilah titik balik dalam kehidupannya sebagai seorang pembelajar firman. Sebuah proses “kelahiran baru yang kedua”. Tuhan tidak pernah tinggal diam. Saat ia seolah-olah kembali ke titik nol dan mulai lagi belajar dikasihi dan mengasihi dengan benar, Tuhan terus memulihkan dan mengubah karakternya yang sudah terbentuk kaku selama puluhan tahun, lalu membongkar dan membangunnya kembali berulang kali. Sungguh proses yang tidak mudah dan penuh dengan air mata. Meski begitu, ia bersyukur dengan semua itu. Ia bersyukur Tuhan mulai mengikis perasaan bersalahnya, perasaan tertuntut yang selalu menggayutinya selama ini, dan terutama ia bersyukur karena Tuhan tak pernah surut untuk terus membentuk hubungannya dengan suami dan anak. Tuhan itu baik. Hanya itu yang sanggup Tirza katakan.

Harapan Tirza bagi semua pembaca buku “Learning to Learn”

Jangan pernah membaca, mengerti, dan mau melakukan setiap karakter di buku ini hari demi hari dengan kekuatan dan pengertian sendiri. Buku ini dibuat dengan pimpinan Roh Kudus. Buku ini adalah cara Tuhan mengasihi saya dan Anda. Maka, ketika mau menjadi serupa dengan Kristus, harus, kudu, wajib bergantung penuh pada-Nya. Lewat jatuh-bangun dalam proses kita nanti, Kristus yang mengerjakannya di dalam diri kita. Selamat belajar untuk terus belajar.

Image

Pembentukan karakter adalah proses pembelajaran seumur hidup, melalui berbagai peristiwa dan kondisi yang Tuhan izinkan terjadi. Dua puluh karakter dalam buku ini dipilih sebagai karakter dasar yang harus dibentuk di dalam diri anak sejak dini. Proses ini dimulai dari orangtua terlebih dahulu sehingga keluarga menjadi “tanah” di mana karakter bertumbuh dan berkembang melalui relasi di dalamnya. Klik di sini untuk mendapatkan buku ini.

Yuk berjalan berdampingan untuk

Menjadi Orangtua Sebaik yang Kita Bisa.

Kami akan menampilkan artikel, kesaksian, dan tips-tips parenting setiap minggunya.

Klik untuk SUBSCRIBE