(sebuah cerita pendek)

“Kanker paru?” suara Siska terdengar syok. Tangan Toga sendiri mendadak dingin dan ia tak kuasa melangkahkan kakinya masuk ke ruangan itu, menemani istrinya ketika ucapan Rion, dokter sekaligus teman keluarga, menghancurkan segenap harapan hidupnya. Hidup mereka.

“Baru dugaan, Sis. Kita masih perlu melakukan biopsi untuk memastikannya,” ucap dr. Rion.

“Dari pengalamanmu selama ini, berapa kans Siska, bahwa ini bukan kanker?” Itu suara ayah mertuanya.

“Tetap ada kans, Om,” suara dr. Rion terdengar berkelit. Hening sebentar. “Sis, menurutku, mari kita fokus saja dengan melakukan biopsi sambil terus berdoa bahwa kecurigaanku keliru.”

“Aku cuma tidak mengerti. Kok bisa? Pola hidupku sangat sehat!” suara Siska terdengar lagi.

“Apakah ini ada hubungannya dengan dia hidup bersama perokok, Nak Rion?” Itu suara ayah Siska.

“Maksud Papa?!” tukas Siska, suaranya naik satu oktaf. “Toga sudah setahun berhenti merokok, Pa. Dan…”

“Dan terbukti terlambat, kan?” ayahnya langsung menyahut dengan sengit. Ia memang tidak pernah terlalu menghargai menantunya, yang baginya hanya lelaki manja yang lembek. Si perokok berat yang di matanya sekarang adalah kandidat paling tepat untuk dituduh sebagai penyebab kondisi mengenaskan putrinya. Pertengkaran anak dan ayah itu segera saja meruncing, dan Toga tak sanggup mendengarkan lagi. Ia terburu-buru meninggalkan tempat itu, seolah dengan begitu ia dapat mengenyahkan kenyataan mengerikan itu: bahwa dialah yang membuat Siska jadi seperti ini.

***

Langit barat istrinya. Sepotong matahari bulat montok dengan genit menyemprotkan ribuan nuansa yang keluar-masuk menggelitik awan, lalu berebut jatuh mengisi setiap ruang langit yang ada.

Toga mencoba membersihkan jejak kepedihan dari tenggorokannya. Dadanya berat oleh perasaan bersalah yang terus memburunya, tak peduli seberapa dalam pedal gas yang ditekannya sepanjang jalan menuju kemari, tidak peduli kentalnya penyesalan yang selalu saja terlambat dilahirkan ini.

Maafkan aku, Sis. Maafkan aku. Maaf. Maaf. Maaf…

Berapa banyak maaf mesti menyesaki dadanya hingga cukup untuk menyelamatkan istrinya? Seberapa dalam? Seberapa besar? Tangisnya pecah tanpa dapat dicegah, namun perlahan, meski awalnya lirih, isakan demi isakannya sirna oleh harapan yang digemakan suara kecil dalam hatinya: “Bukankah Tuhan telah berjanji bahwa jika engkau mengakui kesalahanmu di masa lalu, Dia adalah setia dan adil? Bahwa Dia akan mengampuni kesalahanmu dan menyucikanmu dari segala kebiasaan burukmu?”

Toga tercenung dan menahan napas. Adakah Tuhan sekarang melihat hatiku yang remuk dan hancur? Kali ini bisakah aku mengalami lagi janji-Nya terpenuhi, bahwa buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskan-Nya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkan-Nya? “Ya Tuhan, tolonglah aku orang yang berdosa ini…” Dalam diam Toga menyematkan doa dari hatinya yang terdalam.

“Aku tahu kamu pasti kemari.”

Toga terkejut. Ia tidak menyadari suara-suara yang menandakan kehadiran, ia bahkan tidak sempat menangkap aroma yang selalu mendahului kedatangan Siska.

Ia menggeser duduknya dan menunduk, tidak ingin Siska melihat matanya yang sembap. Kini, sekali lagi, mereka duduk bersisian di bangku kayu itu, memandang langit.

“Kamu ingat waktu kita berjuang ingin punya anak dulu?” Siska bertanya.

“Ya.”

Hening. Toga tahu inilah percakapan yang dipilih istrinya untuk membagi bebannya, jadi ia pun mencoba mengesampingkan perasaan bersalah yang membebani hatinya sendiri. Dengan tabah ia membiarkan dirinya dibawa mundur ke tahun-tahun yang telah lama berselang, ketika mereka tanpa lelah berupaya membuahkan keturunan.

Mengapa dulu rasanya punya anak itu teramat penting, begitu terasa seperti hidup-dan-mati, begitu harus? Kini itu sepertinya hanya salah satu dari sekian banyak impian yang akhirnya mesti dilepaskan, dan ketika mereka belajar menerima dan merelakannya, beban itu pun perlahan terangkat dan mereka terbebas dari perasaan getir. Terhadap satu sama lain. Terhadap… Tuhan.

“Aku tahu, waktu itu seluruh keluargamu mendesakmu untuk menceraikan aku,” ucap Siska. Jantung Toga mencelus. Dari sekian banyak percakapan, Siska memilih yang ini. Dari sekian banyak kesempatan mengungkit kejadian dulu itu, istrinya justru memilih saat ini. Padahal selama ini Toga tidak mengira Siska mengetahui tuntutan keluarganya itu.

“Kamu tahu?”

“Tentu saja. Aku mendengar semuanya. Waktu itu aku pulang lebih cepat, dan menemukan kalian berunding di ruang tengah,” ujar Siska tenang.

“Selama ini kamu tidak kelihatan tahu. Setidaknya, aku tidak tahu bahwa kamu tahu.”

“Kenapa? Karena aku tidak mengamuk dan membenci mereka? Aku bisa memahami reaksi mereka, Ga. Kandungankulah yang tidak mungkin memberimu keturunan. Bukannya aku tidak terpukul mendengar perkataan mereka yang memojokkan. Tapi… kamu anak laki-laki mereka satu-satunya, Ga. Hanya kamu harapan mereka untuk meneruskan marga.”

“Tetap saja selama ini kamu tidak kelihatan tahu. Atau kamu sebenarnya rela-rela saja aku menikah lagi, asalkan bisa terbebas dari keluargaku yang beringasan?”

Siska tersenyum dan Toga mengulurkan tangan, menarik istrinya ke dalam pelukan. Lama mereka duduk seperti itu, seolah memberi gulungan-gulungan emosi waktu untuk mengatur diri.

“Kenapa kamu tidak mau menceraikan aku? Aku toh akan mengerti kalau kamu memilih mengikuti keinginan keluargamu,” Siska menyuarakan pertanyaan yang selama ini dipendamnya.

“Dan membiarkan kamu bebas mencari suami baru? Enak saja!”

“Aku serius, Ga!”

Toga terdiam. Bagaimana caranya mengungkapkan cinta, jika seumur hidup kau tidak pernah menggunakan kata itu? Bagaimana caranya, jika kau merasa kata “cinta” terlalu sederhana dan kecil, tak mampu mewakili segenap perasaan dan harapan dan keinginan yang mengikutinya? Tak mungkinkah ia hanya memeluk istrinya seperti ini, memandangnya dalam-dalam, dan membuat Siska memahami jawaban yang teramat ingin dinyatakannya, tetapi sulit diterjemahkannya ke dalam satu kata ini? Ah, kalau saja ia jenis laki-laki yang dengan mudah berkata cinta.

“Kamu temanku mengarungi hidup ini, Sis. Teman yang melamarku dengan bilang, ‘Aku mau Pengkhotbah 4:9-10 ditulis di undangan kita kalau menikah nanti.’”

Siska menarik diri, terheran-heran mendengar ucapan Toga. “Kamu masih ingat ayat itu?”

Toga mengangguk. “Berdua lebih baik dari pada seorang diri, karena mereka menerima upah yang baik dalam jerih payah mereka. Karena kalau mereka jatuh, yang seorang mengangkat temannya, tetapi wai orang yang jatuh, yang tidak mempunyai orang lain untuk mengangkatnya!”

“Terima kasih,” suara Siska memecah kesunyian. Dengan lembut ia mendaratkan kecupan di pipi suaminya.

“Untuk apa?”

“Karena tidak menceraikan aku. Karena berani menentang tuntutan keluargamu dan menyatakan pendirianmu. Karena tidak menyalahkan aku yang tidak bisa menjadikanmu seorang ayah. Aku tahu benar itu sangat sulit untukmu…” Dibelainya pipi suaminya. “Aku tahu hanya cinta yang demikian besar yang membuatmu berjuang begitu gigih demi kita, Ga. Hanya cinta yang teramat besar yang membuatmu sanggup melepaskan impianmu untuk memberi keturunan bagi keluargamu.”

Toga menunduk. Tahukah Siska bahwa jauh di lubuk hatinya, Toga tahu benar, cinta yang demikian besar itu bukan cinta miliknya, melainkan kasih yang didapatkannya dari Tuhan? Bahwa setiap kali Toga memikirkan kejadian bertahun-tahun silam itu, ia semakin menyadari dirinya sama sekali tak mampu bersikap seberani itu jika bukan karena kasih Tuhan?

“Haruskah kita bicara seperti ini? Aku…”

“Aku tahu kamu merasa tidak nyaman. Tapi… aku harus mengatakan semua ini.” Siska diam sebentar. “Aku tahu kamu ke rumah sakit tadi.”

Toga menatapnya. Rasanya tidak penting mengetahui dari mana istrinya mengendus kehadirannya yang singkat di luar ruang kerja dokter tadi. Rasanya tidak ada lagi yang penting setelah potongan percakapan yang didengarnya dari luar ruangan itu. Tidak ada lagi yang penting, sebab kehidupan rasanya begitu kejam pada mereka berdua.

“Sis…”

“Apakah menurutmu aku harus meminta maaf padamu, karena tidak bisa membuatmu punya anak?”

“Itu pertanyaan paling konyol yang pernah kudengar!” sekonyong-konyong suara Toga gusar.

“Menurutku juga begitu.”

“Sis…” Toga tidak tahan lagi. Serbuan perasaan bersalah tak lagi sanggup dibendungnya. Ia harus meminta maaf. Karena meskipun tak ada yang bisa membuktikan dialah penyebab Siska ada di kondisi sekarang ini, Toga juga tahu tak ada yang bisa memastikan sebaliknya. Oh, rasa bersalah yang teramat menyiksa ini, rasa bersalah ini. “Sis…”

Siska menoleh dan melihat perasaan bersalah yang teramat dalam di mata suaminya. “Ga, dengar! Dulu kamu tidak menyalahkan aku barang sedikit pun. Kamu bahkan terus mengingatkanku bahwa itu bukan salahku, bahwa aku tidak perlu merasa bersalah, bahwa Tuhan memiliki rencana lain bagi pernikahan kita. Sekarang, gilirankulah yang melakukannya untukmu. Aku butuh kamu untuk menemaniku berdoa agar hasil biopsi nanti tidak seperti yang diduga dokter. Dan jika Tuhan berkehendak lain, aku ingin menghidupi Pengkhotbah 4:9-10 bersamamu. Tuhan pernah menemani kita melewati tahun-tahun pahit dulu itu, dan Tuhan akan menemani kita lagi kali ini. Aku tidak menyalahkanmu barang sedikit pun, Ga, jadi singkirkanlah perasaan bersalah dan penyesalan itu. Oke? Sebab itu tidak perlu, tidak dalam cinta sebesar yang Tuhan letakkan dalam hati kita ini. Janji? Janji?”

Mereka bertatapan lekat-lekat. Dan di senja yang tengah sekarat itu perlahan mereka pun kembali mengenali segenap perasaan yang mereka simpan jauh di dalam hati mereka yang terdalam: perasaan gentar, tekad, dan tentu saja pengharapan. Namun tidak penyesalan, karena Tuhan-lah yang telah mempertemukan dan mempersatukan mereka, yang terus memayungi cinta mereka dengan kasih-Nya, menarik mereka kepada-Nya, seraya terus mengubah serta menumbuhkan mereka melalui suka dan duka kehidupan.