“Kami tidak suka putri kami mengikuti kegiatan cheerleader ini di belakang kami! Tidak peduli katamu dia jadi bintangnya, berbakat, dan …”
“Bahagia?” potong Tia dari seberang meja.
Manda mengerutkan kening. Orang-orang selalu menarik kesimpulan sesuka mereka, padahal tahu apa sih mereka? pikirnya. Aku ibunya. Masakan aku tidak tahu anakku bahagia atau tidak! Ia menghela napas dalam-dalam dan melontarkan kalimat yang belakangan ini semakin sering ia ucapkan. “Nadine pada dasarnya memang anak yang pendiam dan tertutup, Tia, tapi bukan berarti dia tidak bahagia.”
Tia menatap wanita di hadapannya ini. Mereka sudah saling mengenal sejak berteman di SMA dulu. “Nda, aku mengerti kamu kecewa karena Nadine tidak berterus terang tentang kegiatannya selama ini. Tapi menurut kamu, kenapa dia memilih tidak bercerita?”
“Ya dia memang begitu. Tidak pernah bercerita. Tidak…”
“Bahagia?” Tia menyodorkan kembali kata itu, dan kali ini Manda menepisnya dengan memalingkan wajah, rautnya menunjukkan kekesalan hatinya.
“Terserah,” tukasnya tersinggung.
Meja tiba-tiba menyajikan hening yang tidak bersahabat. Tia menyeruput minumannya,
mengingatkan diri untuk tetap tenang dan memilih kata-katanya. Ingatannya hinggap ke percakapan seminggu yang lalu, kepada Nadine dan sepotong pengakuan yang membuat hati Tia pedih.
“Aku tahu Mama dan Papa sayang sama aku sih, Bu Tia. Tapi … aku … seringnya tidak merasa disayang.” Suara yang dijingkati keraguan itu berhenti sebentar. “Aku … tidak pernah bisa bikin Mama-Papa bangga juga.”
“Memangnya menurut Nadine, apa sih yang bikin Mama dan Papa bangga?”
“Kalau Nadine jadi juara olimpiade matematika, kayak Mama dan Papa dulu juara apa itu… cerdas cermat,” ucap gadis itu pelan. Ia menunduk untuk menyembunyikan ekspresinya. “Aku … aku udah berusaha, Bu Tia, tapi ya … gitu deh.”
Ucapan yang dilontarkan dengan nada tak berdaya itu membuat hati Tia terenyuh. Bukan baru sekali ini ia berjumpa seorang anak seperti Nadine, yang merasa asing dengan kasih sayang orangtuanya.
“Tapi sekarang beda ceritanya dong. Nadine kan sudah kerja keras dan membuktikan diri dengan baik. Masuk tim cheerleader nggak gampang lho, apalagi sampai ikut membawa nama sekolah ke putaran final. Nadine pasti bangga, kan?”
Mendengar ucapan sang pelatih, wajah gadis kecil itu pun berubah cerah. Ia mengangguk sambil tersenyum malu.
“Nah, Bu Tia yakin mama dan papa Nadine pasti bangga juga. Tidak ada orangtua yang tidak senang anaknya berprestasi…”
Nadine kembali menunduk. “Mama dan Papa tidak tahu aku ikut cheerleader, Bu. Aku kepingin sekali cerita, tapi…” suaranya menipis.
Tia terkesiap sedih, tetapi dengan sabar ia mencoba membujuk Nadine agar memberitahu orangtuanya tentang kegiatan yang sudah diikutinya selama hampir satu semester ini. Sayang, Nadine tidak berhasil diyakinkan. Ia takut bercerita kepada Mama dan Papa. Takut nanti malah dilarang. Takut ditolak. Takut Mama dan Papa menyahut dengan nada meremehkan. Dulu sekali gadis kecil itu pernah mencoba mengungkapkan minat-minatnya. Senam lantai. Gimnastik. Menari. Namun, orangtuanya selalu punya cara untuk mengatakan tidak. Jadi, sekarang tidak mungkin berbeda, kan?
“Kami pastinya bangga kalau Nadine jadi wakil sekolah di olimpiade matematika, Ti. Atau lomba sains, dan semacamnya. Lomba-lomba seperti itu kan tidak diikuti sembarang anak. Hanya mereka yang benar-benar tekun dan cerdas,” Manda akhirnya memecah keheningan. Ia ingin Tia mengerti. “Aku dan Gino sudah menyusun rencana bagi masa depan Nadine. Dia hanya perlu bekerja keras. Rajin. Tekun. Tapi… makin ke sini anak itu makin sulit dimotivasi. Padahal kurasa keinginan kami tidak mengada-ada loh, Ti. Kami sendiri dulu bisa, kenapa dia tidak?”
“Nadine bisa kok, Nda. Aku dan teman-teman satu timnya sudah membuktikan dia tidak berbeda dengan harapan orangtuanya. Pekerja keras. Rajin. Tekun. Dan terbukti sangat termotiva…”
“Maksud kamu?” suara Manda menusuk.
Tia mengeluarkan telepon genggamnya, lalu menyodorkannya ke seberang meja. “Ini, aku merekam aksi Nadine dan teman-temannya di salah satu nomor pertandingan. Perhatikan wajahnya deh, Nda. Gerakan-gerakannya.”
Manda memandang layar kaca di tangannya, sementara di seberang meja, Tia mulai bercerita tentang bagaimana ia sering melihat Nadine menonton latihan-latihan cheerleader dengan wajah muram, bagaimana sepasang sorot matanya memendarkan keinginan-keinginan yang selama ini dipendamnya dalam diam. Itulah yang mendorong Tia mengajaknya bergabung. Mencoba sesuatu yang sepertinya sudah lama menjadi minat Nadine.
“Maaf, kalau aku membuatmu tersinggung. Sama sekali bukan begitu maksudku, Nda. Percayalah, aku sedang tidak mencoba membela ataupun menyalahkan siapa-siapa. Aku cuma ingin kamu tahu bahwa sudah lama Nadine tidak bahagia. Dia mengaku sering merasa tidak disayang oleh orangtuanya. Dia tahu kalian sayang padanya, tapi dia tidak…”
“Tapi yang penting dia tahu, ya kan?” potong Manda, dalam hati menuduh Tia bersikap berlebihan. Ia meletakkan HP Tia di tengah meja. Wajahnya tanpa emosi, ia sama sekali tidak menangkap sesuatu yang istimewa dalam video rekaman yang dilihatnya tadi. “Namanya juga anak-anak, Ti. Wajar saja kalau salah mengerti, salah menyimpulkan. Aku yakin nanti sesudah besar, Nadine akan sadar bahwa selama ini mama dan papanya menyayanginya. Kamu sendiri pasti tahu dong kami melakukan ini semua untuk Nadine.”
Tia menggeleng tegas seraya berdeham. “Bukan. Kalian melakukannya untuk kalian sendiri. Nadine tidak menyukai matematika, tapi bertahun-tahun dia mencoba mengikuti kemauan kalian. Ketika dia tidak berhasil, kalian lalu mengeluh tentang dia. Mengkritiknya. membanding-bandingkan dia dengan kalian. Perlahan dia pun berubah jadi anak yang tertutup dan pemurung. Tapi… kalian bahkan tidak menganggapnya masalah!”
“Dengar, kami yakin dengan Nadine. Kami percaya dia bisa. Dia hanya perlu dimotivasi!” Manda mencoba membela diri. Ia meneguk tehnya yang sudah setengah dingin. “Tia, kamu mungkin menganggap aku ini ibu yang kejam. Tapi aku melakukan semua ini justru karena aku menyayangi Nadine. Aku ingin dia menjadi yang terbaik!” Manda bergegas bangkit berdiri, membuat Tia terkejut.
“Nda! Sebentar…”
Manda menghentikan langkah. Ia tidak menoleh, tapi juga tidak melangkah pergi.
Melihat itu, Tia buru-buru menghampiri dan meraih tangannya. “Dengar, aku benar-benar tidak bermaksud membuatmu tersinggung. Tapi, Nda, aku sudah terlalu sering melihat anak-anak seperti Nadine, dan itu membuatku sedih. Aku mengerti kita pasti ingin anak-anak kita kelak sukses. Dan aku menghargai niat dan ketekunan orangtua menyiapkan masa depan anak-anak mereka. Tapi sayangnya, saking sibuknya menyiapkan masa depan anak-anak kita, kita sering lupa bahwa semua ini adalah tentang anak-anak itu, bukan kita orangtua. Kita lupa mendengarkan anak-anak kita. Lupa melihat mereka. Lupa bahwa… mereka bukan robot, bahwa mereka punya perasaan, kemauan, kehendak…”
Tia diam sebentar, mencoba menahan gebu kata-katanya. Ia menghela napas dalam-dalam, “Bahkan saking fokusnya kita pada masa depan, kita lupa pentingnya masa sekarang. Lupa merajut kasih sayang dan relasi dengan anak-anak kita hari lepas hari. Padahal, Nda, kalau kita gagal menanamkan kasih sayang di dalam hati mereka sekarang, kelak anak-anak kita itu hanya akan menuai kegetiran. Dan ujung-ujungnya … kita kehilangan mereka. Dan, mereka kehilangan kita. Sedih, kan?
“Besok pertandingan final. Datanglah. Nadine pasti akan senang sekali.” Tia mencoba untuk terakhir kali. “Nadine bukannya tidak ingin seperti mama dan papanya. Malah, dia ingin sekali. Dia ingin menyenangkan hati kalian. Tapi, Nda… Tuhan merancang dia berbeda dengan orangtuanya. Dia meminati bidang yang lain, berbakat di tempat yang mungkin tidak kalian sangka-sangka. Dan sebagai orangtua, tugas kita adalah membimbing dan menyiapkan anak-anak kita untuk menemukan dan memenuhi rancangan Tuhan atas diri mereka. Ya kan?”
Manda tahu benar mandat parenting yang sedang dibicarakan Tia itu sesungguhnya memang ada. Namun, ia tidak kuasa menolak keinginannya untuk mendesak Nadine agar fokus pada mata-mata pelajaran yang berguna untuk masa depannya, dan bukannya berfokus pada kegiatan … cheerleader … yang …
Sekelebat ucapan Tia bahwa Nadine tidak bahagia mengusik hati Manda. Namun, lekas dan tegas ia segera menyingkirkannya. Tidak, keputusan kami sudah tepat. Ini demi kebaikan Nadine. Nanti dia juga akan mengerti dan semua ini akan terbayarkan.
Tia terus memandangi Manda yang hanya terdiam, hanyut dengan pikiran-pikirannya sendiri. Ia bisa memahami kalau Manda termasuk jenis orangtua yang mengira mereka sudah memberikan yang terbaik untuk anaknya. Merasa mereka paling tahu tentang kebutuhan anaknya dan masa depannya, namun lupa bahwa anak itu bukan robot. Anak itu memiliki perasaan, kemauan, dan kehendak. Ketika orangtua membesarkan ego mereka dengan dalih demi masa depan anak dan sang anak dipaksa untuk menuruti keinginan orangtuanya, maka hubungan mereka pun mulai terputus. Anak perlahan bungkam dan menutup diri. Tidak ada trust di antara mereka, dan kasih sayang yang sedianya untuk dinikmati malah menjadi ajang untuk saling “membenci”, saling memaksakan kehendak, baik secara dominan maupun diam-diam.
Perlahan Tia akhirnya melepaskan tangan Manda. Ia dapat merasakan sekujur tubuh Manda yang tegang, dan dalam hati dapat merasakan kerinduannya sendiri untuk mendengarkan sepotong jawaban “Ya.” Atau sekadar anggukan kecil. Namun ia tahu, kemungkinan besar ia akan kecewa. Ia pun menghela napas dalam-dalam dan sayup-sayup sebuah lagu pujian memenuhi hati dan pikirannya:
“Kasih itu lemah lembut, sabar sederhana
Kasih itu murah hati rela menderita.
Ajarilah kami bahasa kasih-Mu
Agar kami dekat pada-Mu ya Tuhanku,
Ajarilah kami bahasa kasih-Mu
Agar kami dekat pada-Mu.”
Lalu bibirnya mulai membisikkan doa-doanya: Ya Tuhan, tolonglah kami. Ajar kami mendengarkan anak-anak kami. Melihat mereka. Memahami mereka. Mengasihi mereka.
Berulang-ulang. Tak jemu-jemu.
Yuk berjalan berdampingan untuk
Kami akan menampilkan artikel, kesaksian, dan tips-tips parenting setiap minggunya.