“Al, kalau kamu nggak bisa sembuh dan harus pergi menemui Tuhan Yesus, trus gimana?” bisik Emma parau. Malam telah larut, sudah dua minggu lebih ia tidur di sofa rumah sakit, menunggui putranya.

Wajah Aldri yang membulat akibat obat-obatan menatap ibunya. Lalu pelan, nyaris tak terdengar, ia berbisik, “Ya habis mau gimana lagi?”

Seketika hati Emma patah. Ia mengerti kekecewaan putranya. Berkali-kali Aldri bertanya kenapa dia? Apa salahnya? Bahkan belakangan ketika Emma mengajak putranya berdoa, Aldri hanya berbaring menerawangi langit-langit kamar.

“Tetap percaya kepada Tuhan Yesus ya, Nak…” bisik Emma lembut.

Aldri hanya memandang ibunya, air mata meninggalkan sudut-sudut matanya. Emma ingin memeluknya, tapi Aldri berbalik memunggunginya, dan Emma hanya dapat menatap tak berdaya. Seumur hidup Aldri, tidak sekali pun Emma pernah membayangkan harus melakukan percakapan yang meremukkan hati ini dengan putranya yang masih remaja itu.

***

Hingga sebulan yang lalu, Aldri adalah remaja yang sehat dan aktif. Lalu pada suatu hari Emma menemukan putranya itu tak sadarkan diri di lantai kamar mandi dan segera melarikannya ke rumah sakit. Setelah serangkaian tes yang panjang dan menyakitkan, dengan nada muram tim dokter menyatakan Aldri menderita radang selaput otak dan mereka harus bergerak cepat.

Hati Emma hancur, kesedihan dan penderitaan membawanya semakin dekat kepada Tuhan. Siang dan malam ia berdoa lebih khusyuk daripada yang dilakukannya seumur hidup. Memohon kesembuhan untuk Aldri. Mendesakkan mukjizat. Menuntut titik terang.

Namun, kenyataan demi kenyataan pahit datang bergulung, dan siang itu tim dokter meminta bertemu Emma dan Tomas, suaminya. Melihat wajah dokter yang serius, jantung suami-istri itu mencelus. Ini jelas bukan kabar baik. “Bu, Pak, sebaiknya keluarga mempersiapkan diri menghadapi yang terburuk. Kita sudah melakukan yang terbaik, tapi kondisi Aldri tidak menunjukkan kemajuan.”

“Hancur hati” tak cukup untuk menggambarkan perasaan mereka saat itu. Tangis Emma pecah dalam diam, tetapi Tomas segera membagikan kabar buruk itu lewat grup WA keluarga, diikuti permohonan agar mereka terus mendoakan mukjizat. Keluarga besar memutuskan berdoa tak lagi cukup, dan tidak mungkin mereka cuma duduk pasrah, menantikan upaya dokter yang serba tak pasti.

“Bang Yos tahu ‘orang pintar’ yang terkenal bisa menyembuhkan berbagai penyakit,” sorenya Tomas membawa kabar. “Tidak ada salahnya kita coba.”

“Tapi kita percaya Tuhan Yesus, Tom,” Emma menyuarakan keberatannya.

“Itu nggak ada hubungannya. Memangnya kamu nggak kepingin Aldri sembuh?”

“Tentu saja aku kepingin Aldri sembuh!” Emma mencoba tenang. “Tom, kita sudah menyerahkan Aldri ke tangan Tuhan sejak dia masih dalam kandungan. Setiap hari kita ajari dia berdoa dan percaya kepada Tuhan Yesus…” Ditatapnya suaminya, lalu lanjutnya, “Katakanlah setelah ditangani ‘orang pintar’ itu, Aldri sembuh. Trus apa? Tubuhnya memang selamat, sembuh. Tapi, bagaimana dengan imannya? Dan iman kita?”

“Nanti sajalah kita pikirkan soal iman. Yang penting dia sembuh dulu,” tukas Tomas. Ia menunduk, lalu menangis sejadi-jadinya. “Ya, Tuhan… Kenapa Aldri, Em? Kenapa dia? Aku cuma kepingin dia sembuh… cuma itu…”

Belum pernah Emma menyaksikan suaminya serapuh itu, dan hatinya pedih melihat laki-laki yang selama ini tampak kuat kini takluk dalam ketidakberdayaannya. Emma mengerti, semua bermaksud baik, ingin Aldri sembuh. Ia tahu, semua takut kehilangan Aldri. Namun, sulit baginya untuk mengiyakan jalan keluar semacam ini. Doa-doa Emma sendiri masih datang dari hati yang hancur dan gentar. Namun, perlahan, sedikit demi sedikit, ia mulai menyadari sesuatu yang selama ini tidak disadarinya: bahwa Allah dengan lemah lembut sedang membuka cengkeraman Emma agar ia menaruh Aldri ke tangan-Nya yang jauh lebih kuat dan penuh kasih.

Meski begitu, rasa takut kehilangan dan keputusasaan membuat keluarga besar menyudutkan Emma. “Memangnya kamu tega membiarkan anakmu mati?” “Beriman sih beriman, tapi tidak perlu kaku begitu!” Atau yang nadanya membujuk, “Pakai ‘orang pintar’ itu nggak berarti kita jadi nggak percaya Tuhan kok.” Dan puncak dari semua itu adalah perkataan ibu mertuanya, “Aku akan tanya sendiri pendapat Aldri. Dia toh bukan anak kecil lagi. Nggak bisa dong kamu mutusin sepihak begini!”

Emma tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia lelah, bayangan Aldri yang memunggunginya semalam terus mengejarnya. Ia menyadari betapa selama ini, doa-doanya untuk Aldri hanya tentang hidup yang mudah dan lancar: memohon kepintaran, kebaikan budi, prestasi, kerajinan, sekolah yang bagus, cita-cita yang tercapai… Ia lupa bahwa di dunia yang sudah tercemar dosa ini, tak satu manusia pun yang luput dari penderitaan. Termasuk putranya. Dan kini Emma merasa tidak berdaya. Tidak berdaya menolong Aldri, tidak berdaya mendampingi putranya menghadapi semua ini.

Tak tahan lagi, Emma pun menyelinap ke ruang duduk bangsal rumah sakit yang sepi, dan menumpahkan kesesakan hatinya. Ratapan demi ratapan ia sampaikan kepada Tuhan. Meratapi Aldri. Meratapi Tomas dan dirinya sendiri. Meratapi keluarga besar mereka… hingga akhirnya hatinya perlahan tenang dan ia menyerahkan Aldri sepenuhnya ke tangan Tuhan. Dengan suara penuh air mata, ia berbisik, “Bukan kehendakku, Bapa, melainkan kehendak-Mulah yang jadi. Dia milik-Mu, dan tak pernah jadi milikku. Engkau selalu mengasihinya lebih besar dan Engkau-lah pelindung terbaik baginya. Ajarlah Aldri agar tahu artinya mengandalkan Engkau. Biarkan dia mengalami sendiri arti kehadiranMu dalam hidupnya. Tolong dan kasihanilah dia.”

Ia menyusut air matanya, lalu mendongak. Dan ketika itulah ia menangkap tulisan di bawah gambar di sudut dinding ruangan itu: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (2 Korintus 12:9). Hatinya bergetar, rasanya seolah Allah ada di hadapannya saat itu, menguatkannya dengan firman-Nya.

Emma kembali ke kamar rawat Aldri. Meski kesedihannya masih tebal, ia kini merasa tenang. Ketika mendapati pintu kamar putranya tidak sepenuhnya tertutup, Emma tidak langsung masuk. Dari dalam, terdengar suara ibu mertuanya sedang membujuk Aldri untuk menerima pertolongan si “orang pintar”. Emma menahan napas, dalam hati kembali mendoakan putranya. Lama, tidak terdengar apa-apa dari dalam sana. Lalu ibu mertuanya kembali mendesak, “Aldri, gimana? Mau ya?”

Diam sebentar, kemudian terdengar Aldri menyahut, “Tidak usah, Nek. Aku tidak mau.”

Di luar sekali lagi Emma menangis dan membisikkan “terima kasih” kepada Tuhan. Beberapa minggu kemudian, dokter akhirnya memutuskan Aldri boleh pulang dan dirawat jalan. Walaupun tidak membaik, kondisinya stabil dan tidak ada lagi yang dapat dilakukan dokter. Namun, Allah terus bekerja memulihkan kesehatan Aldri dan membangun iman mereka semua, meski butuh hampir dua tahun hingga Aldri dapat bersekolah kembali.

Anda diberkati dengan materi ini?
Pastikan Anda tidak ketinggalan membaca tulisan-tulisan terbaru kami lainnya.

Klik untuk SUBSCRIBE