“Bisakah Mama menemaniku? Aku ingin sekali Mama hadir. Orangtua teman-temanku akan datang juga.”

Anak saya terus memohon agar saya bersedia menjadi relawan di acara darmawisata TK-nya. Bagaimana mungkin saya dapat menolak permintaannya yang memelas itu? Namun, mengingat saya tidak bisa bepergian tanpa dibantu, lagi-lagi saya terpaksa mengatakan tidak. Dengan penuh pengertian ia mengangguk setelah saya menjelaskan alasannya—ia sudah sering dikecewakan. Ia tidak tahu betapa saya ingin sekali menemaninya, betapa saya merindukan waktu untuk dapat bersamanya di sekolah dan betapa saya merasa sangat bersalah telah mengabaikannya.

Sebelum saya memiliki anak, disabilitas saya tidak terlalu mempengaruhi saya. Saya dapat memilih apa yang ingin saya lakukan, dan saya belajar untuk hanya menginginkan hal-hal yang secara fisik sanggup saya lakukan. Namun, setelah mempunyai anak, saya menghadapi banyak tanggung jawab dan tuntutan yang tidak mudah, dan semua itu seolah mengingatkan saya tentang segala hal yang tidak mampu saya lakukan. Saya merasa bersalah dan harus bertanggung jawab atas banyak hal yang tidak bisa saya berikan kepada anak-anak saya karena keterbatasan saya ini.

Bertahun-tahun saya menjumpai banyak orangtua lain yang juga merasa tidak mampu. Baik itu dalam hal keuangan, rendahnya pendidikan, sumber daya yang terbatas, memiliki anak yang menuntut seluruh perhatian, pergulatan emosional mereka sendiri, disfungsi keluarga, dan serangkaian pergumulan lainnya. Seperti saya, mereka yakin bahwa ketidakmampuan mereka telah merugikan anak-anak mereka.

Namun, dalam hikmat-Nya yang tak terbatas, Tuhan telah memilih kita untuk menjadi orangtua bagi anak-anak kita.

Ketergantungan Dapat Menjadi Kekuatan

Dalam kerapuhan saya, saya semakin bergantung kepada Tuhan. Saya memerlukan kekuatan dan hikmat-Nya karena saya tidak memiliki kekuatan dan hikmat dalam diri saya sendiri. Dan saya menyadarinya saat saya membaca, “Sebab yang nampaknya bodoh pada Allah, adalah lebih bijaksana daripada kebijaksanaan manusia; dan yang nampaknya lemah pada Allah, adalah lebih kuat daripada kekuatan manusia” (1 Korintus 1:25 BIMK). Saya memiliki sumber kekuatan yang tak terbayangkan.

Saat saya meminta hikmat, Tuhan memberikan dengan berlimpah. Saat saya menantikan Tuhan, Dia memperbarui kekuatan saya. Saat saya lelah dan susah, Dia memberikan kelegaan. Saat saya berpaling kepada Allah, Dia memberikan segala yang saya perlukan.

Ketergantungan dan keterbatasan saya telah menjadi kekuatan terbesar saya, karena semua itu mendorong saya untuk berdoa sebelum saya menjawab atau bertindak. Ketika saya dapat dengan mudah memenuhi permintaan anak-anak saya, saya tidak mencari hikmat ataupun pertolongan dari Tuhan. Saya hanya menanggapi. Saya tidak mempertimbangkan alternatif lain atau kemungkinan bahwa itu jebakan. Saya mengira saya memegang kendali.

Suatu kali orang Israel tertipu oleh tetangga mereka yaitu orang Gibeon, yang berpura-pura datang dari negeri yang jauh dengan menunjukkan kantong yang robek, bekal makanan yang kering, dan pakaian yang sudah usang sebagai buktinya. Orang Israel “tidak meminta nasihat dari Tuhan” (Yosua 9:14) karena mereka yakin apa yang harus dilakukan. Saya dapat memahami tindakan mereka, saat saya mengingat kembali keputusan impulsif yang saya ambil tanpa pikir panjang. Keputusan yang sering kali saya sesali kemudian. Namun, saat anak saya meminta sesuatu di luar kemampuan saya, barulah saya meminta Tuhan agar memberikan hikmat dan pertolongan-Nya. Seperti yang Yosafat lakukan saat ia berkata kepada Tuhan, “…Kami ini tak berdaya menghadapi tentara yang banyak itu, yang mau menyerang kami. Kami tidak tahu harus berbuat apa, sebab itu kami datang kepada-Mu minta tolong” (2 Tawarikh 20:12 BIMK).

Kelemahan Menjadikan Saya Ibu yang Lebih Baik

Dalam kelemahan, saya memohon kepada Tuhan untuk memberikan pertolongan yang nyata dan spesifik serta jawaban doa yang konkret. Semakin saya meminta, semakin Tuhan menjawab. Semakin saya membutuhkan, semakin Tuhan mencukupkan. Semakin saya mencari Tuhan, semakin mudah saya menemukan Dia. Saya akan melewatkan berkat-berkat yang tak terhitung banyaknya seandainya saya tidak benar-benar membutuhkannya.

Kondisi fisik saya semakin lemah dan rasa sakitnya semakin meningkat, jadi setiap hari saya sujud kepada Yesus dalam lelah dan beban berat, dan Dia memberi saya kelegaan. Saya harus melepaskan keinginan saya untuk melakukan segala sesuatu dengan sempurna, untuk memenuhi kebutuhan semua orang, sehingga saya benar-benar lelah dan kewalahan. Saya sudah pernah berada di posisi Marta, tersingkir oleh berbagai kesibukan melayani, tetapi disabilitas membuat saya mengambil posisi Maria (Lukas 10:38-42). Namun, justru pada saat itulah saya menemukan betapa berharganya duduk di kaki Yesus, mempercayai Dia dengan semua hal yang terasa belum selesai.

Tuhan memakai kelemahan saya untuk menjadikan saya ibu yang lebih baik, dan untuk membentuk karakter yang lebih baik pada diri anak-anak saya.

Ketika menghadapi sesuatu yang tidak dapat saya lakukan, kadang saya bertanya-tanya apakah putri saya akan lebih baik jika berada dalam keluarga yang berbeda. Namun, Tuhan meyakinkan bahwa saya telah dipilih-Nya untuk melengkapi dalam kekuatan dan pergumulan unik mereka. Kristus melengkapi dan menguatkan kita untuk memenuhi segala kebutuhan anak-anak kita (Filipi 4:13, 19), sehingga kita tidak perlu merasa tidak mampu.

Apa yang Tuhan Lakukan Melalui Kelemahan

Ketika saya sibuk melakukan apa yang tidak dapat saya lakukan untuk anak-anak saya, saya hampir melupakan apa yang telah Tuhan kerjakan dalam diri mereka karena kelemahan saya. Sekarang saya dapat melihat bahwa anak-anak saya telah menjadi pemecah masalah yang kreatif. Mereka siap menolong orang lain dan menjaga komitmen mereka.

Mereka juga penuh belas kasihan dan peduli, memperhatikan kebutuhan orang lain dan orang-orang dengan kemampuan berbeda-beda. Bahkan meskipun masih kecil, mereka tidak pernah menatap dan bertanya kepada orang asing, “Apa masalahmu?”

Suatu kali, guru kelas satu putri sulung saya menjatuhkan kertasnya di kelas, dan Katie pun segera melompat dari tempat duduknya di seberang ruangan untuk mengambilkannya. Tak satu pun siswa lain mencoba membantu. Ketika guru menceritakan kisah tersebut, saya menyadari bahwa Tuhan sedang membentuk putri saya melalui disabilitas saya dengan cara yang bahkan tidak saya sadari.

Putri bungsu saya mengalami berkat-Nya saat berseru kepada Tuhan pada suatu malam berhujan saat saya mengantarnya ke pertandingan basketnya di kota lain. Dalam kemacetan lalu lintas, kaki saya mulai lemas, dan kami tidak dapat keluar dari jalan raya. Air mata saya berjatuhan, lagi-lagi saya merasa tidak mampu, takut, dan kewalahan.

Saat Kristi menyadari apa yang terjadi, ia langsung berkata lantang, “Tuhan, tolong kuatkan kaki ibuku dan lancarkan lalu lintas.” Bersama-sama kami terus bergantian berdoa. Dalam beberapa menit, kami tidak lagi melihat lampu merah, dan kram di kaki saya mereda saat kami tiba di pertandingan tepat pada waktunya. Dalam perjalanan pulang, ia berkomentar tentang bagaimana Tuhan menjawab doa kami.

Kelemahan Kita Membantu Mereka Melihat

Kelemahan kita bisa saja menjadi penentu keimanan anak-anak kita. Mereka belajar mengandalkan Tuhan untuk hal-hal yang tidak dapat kita lakukan. Mereka melihat kita berdoa. Mereka melihat keterbatasan kita. Dan mereka dapat melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Tuhan menyediakan. Saat mereka melihat dari dekat bejana tanah liat kita yang lemah dan cacat, mereka melihat kuasa luar biasa yang dimiliki Allah dan bukan kita (2 Korintus 4:7). Dengan cara ini, kelemahan kita membantu mereka untuk mengerti iman yang sesungguhnya.

Mengasuh anak lewat kelemahan dapat membawa kemuliaan bagi Tuhan. Saat kita mengandalkan Tuhan dan kasih karunia-Nya, Dia bersinar melalui hidup kita. Kasih karunia Allah cukup bagi kita, dan kuasa-Nya menjadi sempurna dalam kelemahan (2 Korintus 12:9). Apa lagi yang kita inginkan?

Artikel ini pertama kali diterbitkan di website Desiring God, dengan judul: Our Children Need to See Weakness, digunakan dengan seizin penerbit.

Penerjemah: Marlia Kusuma Dewi

Penyelaras bahasa: Rosi Simamora

Yuk, berjalan berdampingan untuk

Menjadi Orangtua Sebaik yang Kita Bisa.

Klik untuk SUBSCRIBE