Kita tahu, mengasuh anak-anak yang masih kecil mirip seperti melatih tupai-tupai yang tidak bisa diatur—di atas perahu kecil tanpa mesin, di tengah amukan angin ribut. Mereka cukup kecil dan imut sehingga kelihatannya tidak berbahaya, tetapi itulah yang mereka inginkan untuk Anda percaya.

Saya ingat “bencana tupai” yang terjadi pada tahun-tahun pertama kami. Sore itu saya bersiap membangunkan satu anak saya dari tidur siang. Sebelum menyentuh gagang pintu, saya langsung “mencium” ada masalah di balik pintu. Ini bukan masalah biasa; ini sesuatu yang lebih mengerikan. Saya membuka pintu dan menemukan bahwa diaper yang penuh kotoran telah berubah menjadi palet pelukis. Tidak ada sejengkal pun permukaan yang selamat. Cukup bangga dengan hasil karyanya, si pelaku berdiri tegak di boks bayi yang penuh kotoran, tersenyum seolah-olah saya akan tertarik untuk membeli ”mahakaryanya”.

Setelah dimandikan (dan dibersihkan dengan 78 lembar tisu), kami duduk untuk makan malam dan mezbah keluarga. Seingat saya, seniman itu cukup lapar. Kami menidurkan anak-anak kami, berdoa untuk kenakalan kreatif lainnya, lalu tidur. Beberapa jam kemudian, kami dibangunkan oleh anak yang lain, yang mengompol di tempat tidur untuk pertama kali setelah berbulan-bulan. Wahai para orangtua, saat Anda menghadapi berbagai “bencana” ini, anggaplah semua itu sebagai sukacita. Setelah mandi (dan beberapa lembar tisu lagi) anak ini akhirnya bersih dan kembali ke tempat tidur. Saat itu baru pukul 2 pagi.

Saya merangkak ke tempat tidur, memejamkan mata. Beberapa detik kemudian, sang seniman menangis. Saya menghela napas dan turun. Sesampainya di dekat kamar mereka, saya dapat mencium bau masalah lagi, tetapi kali ini masalahnya berbeda. Rupanya seperti anak-anak umumnya, anak saya telah makan terlalu banyak dan terlalu cepat, sehingga perutnya bermasalah.

Ketika saya dan istri saya, Faye, kembali ke tempat tidur antara pukul 2 dan 3 dini hari, tahu bahwa kami harus bangun dan memberi makan tupai-tupai ini beberapa jam lagi, kami cuma bisa tertawa. Dengan mata dan tubuh lelah, kami tersenyum dan saling memandang, lalu sepakat, “Mau tambah satu anak lagi?”

Anak-anak Butuh Kita Terus Berjuang

Setiap orangtua memiliki cerita yang sama. Kita tahu membesarkan anak itu sulit dalam hal-hal tak terduga. Kita tidak tahu seperti apa kesulitan yang akan kita hadapi besok, minggu depan, atau lima tahun lagi, tetapi yang pasti itu tidak mudah.

Allah sendiri punya maksud dengan semua ini. Dia tahu yang paling dibutuhkan anak-anak kita bukanlah orangtua yang mengasuh dengan mudah, melainkan orangtua yang perlu mengandalkan Allah setiap harinya. Anak-anak perlu melihat orangtua yang terbuat dari tanah liat, yang sering kelelahan, berdosa, mengaku, bertobat, memohon pengampunan, kekuatan, dan pertolongan, sambil tetap mempercayai dan menikmati Allah. Anak-anak perlu melihat bagaimana kita berdiri teguh dengan pengharapan di dalam-Nya.

Meski demikian, iblis memangsa semua aspek menyakitkan dalam mengasuh anak. Ia tahu kita rentan dan siap menerjang di saat kita paling lemah. Ia membuat segala sesuatu tampak sangat remeh dan tidak penting, sangat tidak dihargai, sangat sia-sia. Saat iblis menggoda (dan ia akan mencobai kita), sangat penting untuk mendengar suara lain yang lebih keras daripada suara iblis di telinga kita yang lelah dan putus asa ini.

Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada TUHAN, dan buah kandungan adalah suatu upah. Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda. (Mazmur 127:3-4)

Apakah Mengasuh Anak Terasa Sepele dan Tidak Penting?

Mungkin inilah kebohongan terbesar tentang anak-anak dalam masyarakat kita sekarang ini: Banyak hal yang lebih besar, lebih produktif, lebih penting yang dapat Anda lakukan selain sekadar mengasuh anak. Mengasuh anak terlalu “kecil” dan remeh bagi Anda.

Mengasuh anak terkadang kelihatan sepele dalam kehidupan sehari-hari, tetapi memiliki dampak yang sangat besar dalam hal-hal yang benar-benar penting. “Ketahuilah, anak adalah warisan dari Tuhan”—hadiah, warisan, milik pusaka. Mari kita memperhatikan apa yang Allah sebut sebagai warisan, karena Dia menyebutkan untuk diri-Nya sendiri: “Berbahagialah bangsa, yang Allahnya ialah TUHAN, suku bangsa yang dipilih-Nya menjadi milik-Nya sendiri!” (Mazmur 33:12). Kita adalah ahli waris-Nya—”Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri” (1 Petrus 2:9). Dan anak-anak, baik itu anak biologis, anak asuh, atau anak rohani, adalah warisan kita.

Saat Allah memberikan seorang anak, Dia mempercayakan warisan yang berharga dan kekal—sebuah kehidupan baru yang takkan pernah usai, dan yang apabila Allah berkenan, akan mengubah dan membentuk dunia dengan segala cara (mungkin dengan memiliki anak-anak mereka sendiri). Dampaknya terhadap kekekalan akan lebih besar daripada pekerjaan apa pun yang dianggap lebih bermakna dan penting oleh dunia.

Apakah Mengasuh Anak Terasa Sia-Sia?

Mungkin mengasuh anak tidak terasa kecil sama sekali, mungkin malah terasa besar dan membuat kewalahan, dan kadang-kadang membuat kita patah semangat. Putri kita masih harus memakai pampers. Putra kita masih belum bisa duduk diam. Ia masih membuang-buang makanan setiap kali makan. Ia mengamuk setiap kali ibunya melarang. Anak-anak kita belum bisa bermain bersama selama tiga menit tanpa berkelahi. Apakah yang saya kerjakan ini ada gunanya? Apakah yang saya kerjakan ini lebih banyak buruknya daripada baiknya? Apakah semua upaya ini adalah kegagalan besar?

Anak-anak dapat membuat hidup ini terasa seperti balap karung melewati hutan yang lebat. Itulah yang kita lihat dan rasakan (dan sering kali endus). Namun, apa yang Allah katakan? “Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda.” Dari tempat tinggi di surga, kita melihat bahwa anak-anak bukanlah distraksi dari peperangan atau beban di kaki kita. Sebaliknya, mereka adalah anak-anak panah kemenangan yang ditajamkan, menunggu untuk dilepaskan demi kebaikan. Di mata Allah, anak-anak adalah senjata paling efektif untuk peperangan-peperangan yang sangat penting. Itu sebabnya, saat Allah menciptakan bumi dan menugaskan laki-laki dan perempuan pertama untuk bekerja, Dia tidak berkata agar mereka merintis karier atau membangun bisnis, melainkan, “Beranak cuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi” (Kejadian 1:28).

Penuhi bumi dengan apa? Dengan anak-anak panah yang setia, bijaksana, dan penuh sukacita. Tidak ada yang lebih efektif dan signifikan secara rohani selain dari memiliki anak dan mempersiapkan mereka untuk kekekalan.

Apakah Mengasuh Anak Terasa Seolah Tidak Dihargai?

Mengasuh anak kadang-kadang terasa seolah hanya berisi tantangan dan tanpa imbalan. Dosa kita berkata, Apa yang saya dapatkan dari semua kerja keras, pengorbanan, dan cucian kotor ini? Apa yang harus saya tunjukkan sebagai hasil dari semua yang saya telah berikan? Tuhan berkata, “Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada TUHAN, dan buah kandungan adalah suatu upah”—suatu hadiah, kehormatan, penghargaan. Anak-anak itu sendiri adalah upah dari memiliki anak.

Ketika kita mulai mencari upahnya dalam hal-hal lain selain anak-anak itu sendiri, maka kita akan luput untuk melihat upah dalam membesarkan anak. Kita menginginkan efisiensi. Kita menginginkan pencapaian. Kita menginginkan gaji. Kita menginginkan pengakuan. Namun sebaliknya, Allah malah memberi kita jiwa-jiwa yang kekal untuk digembalakan dan dimuridkan. Dia tidak memberi kita upah sesuai dengan keinginan daging kita yang telah rusak, tersesat, dan bersifat duniawi; Dia memberi kita upah sesuai dengan kenyataan. Sementara jutaan orang mati-matian membangun menara yang akan rubuh dan hancur dalam satu generasi, orang bijak akan menerima dan membangun jiwa-jiwa yang akan hidup untuk selamanya.

Saat karier Anda hampir usai, maukah Anda menukar kesuksesan dan ketenaran hanya dengan satu dari jiwa-jiwa tersebut? Upahnya mungkin tampak kecil saat Anda disibukkan oleh botol susu dan popok. Namun, seperti bayi-bayi kita, semua itu tidak akan tampak sepele untuk waktu lama.

Diberkatilah Laki-Laki Ini

Sedang saya menulis artikel ini, dalam hitungan hari kami akan bertemu muka dengan anak panah yang baru, yaitu anak ketiga kami yang masih dalam kandungan. Ia menyikut saya saat saya memegang perut Faye, istri saya (saya rasa itu ekspresi sayangnya). Ketika kami mendoakannya, sukacita yang semakin dalam pun terbit dalam hati saya, bahwa ia akan menjadi anak kami yang pertama lahir pada masa Amerika melarang aborsi di berbagai wilayah. Hidupnya akan menjadi akhir dari rezim kematian yang memilukan. Mungkin aborsi akan menjadi sesuatu yang tidak pernah terpikirkan dalam hidupnya.

Kita tidak tahu berapa jiwa yang diselamatkan oleh keputusan baru mengenai aborsi ini, tetapi kita bersyukur aborsi telah jauh dipersulit bagi banyak orang di Amerika. Memiliki bayi tampaknya adalah salah satu cara yang tepat untuk merayakannya. Terlepas dari apa yang masyarakat kita serukan selama bertahun-tahun, sungguh suatu kebahagiaan yang besar untuk memiliki seorang bayi:

Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya dengan semuanya itu. Ia tidak akan mendapat malu, apabila ia berbicara dengan musuh-musuh di pintu gerbang. (Mazmur 127:5)

Kebahagiaan ini tidak dangkal dan mudah hancur seperti kebahagiaan yang dunia tawarkan. Anak-anak pastinya akan mempermanis karya dan kehidupan seorang ayah, dan mereka juga akan menyemangati sang ayah untuk terus hidup, bekerja, dan mengasihi. Anak-anak memberi ayah mereka sukacita yang kuat dan tangguh. Siapa pun yang melawannya tidak dapat lagi dengan mudah menyakiti perasaannya atau memanfaatkannya. Iblis gentar di hadapan anak-anak kita. Bagaimanapun, iblis tahu kebaikan seperti apa yang dapat dilakukan seorang anak.

Maka, saat jam tidur berkurang dan jumlah pampers dan tisu bertambah, ingatlah yang Allah katakan tentang mengasuh anak. Belajarlah mengasihi dan bersukacita dalam diri anak-anak kita, seperti Bapa telah mengasihi dan bersukacita di dalam kita.

Artikel ini pertama kali diterbitkan di website Desiring God dengan judul The Messy Homes of Blessing, Why Children Are Worth the Chaos. Digunakan dengan seizin penerbit.

Penerjemah: Sonia Hardani

Penyelaras Bahasa: Rosi Simamora

Yuk berjalan berdampingan untuk

Menjadi Orangtua Sebaik yang Kita Bisa.

Kami akan menampilkan artikel, kesaksian, dan tips-tips parenting setiap minggunya.

Klik untuk SUBSCRIBE