“Kamu harus berhenti berteman dengan Anna dan Rovano.”

Aku masih ingat benar ucapan Nina itu, teman sekelasku di SMP dulu. Aku mengangkat alis, heran mendengar permintaannya itu. “Memangnya kenapa sih? Mereka baik, aku senang berteman dengan mereka.”

“Mereka itu aneh, tahu,” ucap Nina. “Kalau kamu berteman dengan mereka, nggak ada yang bakal mau berteman denganmu lagi. Percaya deh.”

Diriku yang masih berusia 14 tahun saat itu, sulit memenuhi permintaan Nina. Lagi pula, bagiku, Anna dan Rovano sama sekali tidak aneh. Mereka tampak sangat normal, bahkan ramah dan senang bercanda. Belum lagi, mereka langsung menerimaku ke dalam kelompok kecil mereka, meski aku anak baru di kelas mereka.

Namun, beberapa hari kemudian, teman sekelasku yang lain mengatakan hal yang sama: aku sebaiknya tidak berteman dengan Anna dan Rovano.

Permintaan yang aneh. Jadi aku pun tidak menghiraukannya dan tetap bergaul dengan Anna dan Rovano. Lalu, suatu hari aku tersadar bahwa sikap teman-teman sekelasku berubah, meski tidak kentara. Yang tadinya bersahabat, sekarang mereka mulai menjauh. Mereka bahkan mengucilkanku dari obrolan dan acara kumpul-kumpul. Bukan hanya itu. Dua anak laki-laki, Dino dan Didot—yang terkenal sering mem-bully—mulai mengincar dan menggangguku, juga Anna dan Rovano, yang memang sudah lama jadi bulan-bulanan mereka.

Aku Tidak Pernah Memberi tahu Orangtuaku

Untungnya, aku tidak pernah di-bully secara fisik. Namun, ejekan dan julukan-julukan yang dilontarkan Dino dan Didot, juga sikap diam serta mengucilkan yang dilakukan teman-teman sekelas terhadapku, sangat mempengaruhiku. Sebagai remaja yang ingin merasa diterima, diakui, dan menjadi bagian dari sesuatu, diam-diam aku merasa terpukul.

Jauh di lubuk hati, aku merasa malu karena telah dikucilkan dan diabaikan oleh teman-teman sekelasku. Dan karena waktu itu aku tidak benar-benar mengetahui identitas sejatiku, cara teman-temanku berbicara dan memperlakukanku di sekolah akhirnya menjadi patokanku dalam memandang harga diriku—atau begitulah yang kupikirkan.

Orangtuaku sendiri sama sekali tidak tahu apa yang terjadi di sekolah, dan tak sekali pun terlintas di benakku untuk memberi tahu mereka. Pikirku, paling-paling mereka hanya bisa memberi tahu guru. Dan kalau mereka sampai melakukannya, bagaimana dengan kami? Aku yakin kami akan terus di-bully. Malahan, bisa-bisa karena dendam, Dino dan Didot akan semakin menjadi-jadi menindas kami.

Jika kuingat kembali masa-masa itu, mungkin orangtuaku menganggap sikap murung dan tertutupku sebagai bagian yang wajar dari masa puber dan hormon remaja. Maka selama di SMP, aku selalu menunduk, menahan diri, dan sebisa mungkin tidak menarik perhatian serta berdoa agar diriku tidak kasatmata.

Hikmah yang Dapat Kuambil dari Pengalaman Pahit Itu …

Sudah lebih dari 15 tahun berlalu sejak masa-masa aku di-bully, dan meskipun banyak yang telah berubah, aku masih saja mengenang masa-masa itu dengan jeri.

Dan sekarang, ketika aku sendiri telah menjadi seorang ibu, sesekali pertanyaan-pertanyaan ini mengusikku:

Apa yang akan kulakukan jika anakku yang di-bully?

Apakah aku akan memberi tahu gurunya?

Bagaimana jika seperti aku dulu, anakku tidak ingin aku melaporkan hal ini ke sekolah?

Bagaimana jika anakku di-bully secara fisik?

Sejujurnya, pertanyaan-pertanyaan ini tidak pernah mudah: apakah aku harus melaporkan hal itu ke sekolah atau tidak, apakah aku harus mendorong anakku untuk berbicara atau tetap bungkam, dan apakah aku harus menghadapi sendiri si tukang bully beserta orangtuanya. Menurutku, jawabannya sangat bergantung kepada situasi, usia anakku, perasaan anakku sendiri, seberapa serius bullying tersebut, dan sebagainya.

Namun, yang aku tahu pasti adalah, bahwa diriku yang masih remaja dulu tidak ingin orangtuaku bereaksi berlebihan. Ya, itulah yang paling menjadi beban kekhawatiranku saat remaja dulu. Aku tidak ingin orangtuaku bergegas menelepon pihak sekolah atau melabrak para pelaku bullying tersebut.

Aku tidak ingin mereka bereaksi berlebihan, tetapi aku juga tidak ingin mereka memandang enteng dan meremehkan apa yang menimpaku. Aku tidak ingin mereka menanggapiku dengan berkata, “Sudah, abaikan saja!” atau “Ini hanya sebuah fase, nanti juga lewat,” atau “Selama tidak ada yang memukulmu, itu tidak benar-benar bullying.” Ya, kekhawatiran-kekhawatiran inilah yang membuatku dulu memutuskan untuk menanggung semua itu seorang diri.

Sekarang, jika kurenungkan kembali masa-masa sulit itu, aku tersadar, mungkin yang paling dapat menolongku adalah mengenal firman Tuhan dengan lebih baik. Aku butuh memahami identitasku di dalam Kristus dan mengerti siapa Tuhan, karena semua itu dapat memberiku sauh yang kuat sementara aku mencoba memilah perasaanku dan mengatasi bullying yang dilakukan terhadapku.

Tuhan Melindungi Mereka yang Di-bully

Alkitab mengatakan banyak hal mengenai bullying—yang ditujukan kepada si pelaku bullying, juga kepada mereka yang menjadi korban.

Allah kita adalah Allah yang benar, yang melihat dan mengetahui setiap tindakan bullying—setiap perkataan yang tidak baik, setiap tindakan untuk mengucilkan, setiap penindasan dan paksaan. Dan Dia akan menjatuhkan penghakiman ilahi kepada para pelaku, atas nama para korban yang berseru kepada-Nya.

Seperti yang dijanjikan dalam Mazmur 34:16-17: “Mata TUHAN tertuju kepada orang-orang benar, dan telinga-Nya kepada teriak mereka minta tolong; wajah TUHAN menentang orang-orang yang berbuat jahat, untuk melenyapkan ingatan kepada mereka dari muka bumi.”

Sungguh merupakan penghiburan jika diriku yang masih berusia 14 tahun dulu tahu bahwa mata Allah sendiri tertuju kepadaku, dan telinga-Nya mendengarkan tangisanku selama aku di-bully! Dan untuk diyakinkan akan janji Allah bahwa Dia akan menuntut pembalasan bagi mereka yang telah diintimidasi, dalam kehendak-Nya yang berdaulat dan waktu-Nya yang sempurna.

Demikian pula dalam Roma 12:17-19, Paulus menasihati kita:

“Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan;
lakukanlah apa yang baik bagi semua orang!
Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu,
hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!
Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan,
tetapi berilah tempat kepada murka Allah,
sebab ada tertulis: Pembalasan itu adalah hak-Ku.
Akulah yang akan menuntut pembalasan, firman Tuhan.”

Jika sewaktu remaja dulu aku tahu sifat Allah yang adil dan melindungi ini, mungkin ini akan menghibur dan menguatkanku untuk melakukan apa yang benar ketika menghadapi orang-orang yang mem-bully-ku setiap hari itu. Dan jika suatu hari kelak putraku membutuhkan penghiburan, mungkin inilah salah satu kebenaran pertama yang akan kuberitahukan kepadanya.

Jaminan Allah bagi Anak-anak-Nya

Kebenaran lain yang aku yakin akan menolong anakku (atau remaja lainnya), adalah mengetahui identitasnya di dalam Kristus. Mengetahui identitasnya di dalam Kristus akan memberinya fondasi yang kuat, aman, dan tak tergoyahkan sementara ia mencari cara untuk menghadapi pem-bully mana pun yang mengadangnya.

Aku menyukai penjelasan dalam Efesus 1:4-6 mengenai siapa kita di dalam Kristus, karena kebenarannya yang meyakinkan:

“Sebab di dalam [Kristus] Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya. Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya, supaya terpujilah kasih karunia-Nya kepada kita di dalam Dia, yang dikasihi-Nya.”

Ayat ini mengingatkanku bahwa karena apa yang telah Kristus lakukan untuk mendamaikan kita dengan Allah, kita dapat mendekat kepada-Nya sebagai anak-anak-Nya, dan menyebut Dia Bapa surgawi kita. Dan karena Allah adalah untuk kita, tidak ada apa pun–bahkan pem-bully sekalipun—yang dapat memisahkan kita dari kasih-Nya (Roma 8:31-39).

Ah, kalau saja diriku yang berusia 14 tahun dulu mengetahui hal ini…

Dan sekarang, sebagai orangtua, aku berdoa semoga putraku tahu dan meyakini, bahwa terlepas dari apa yang dikatakan atau dilakukan para pem-bully itu, ia teramat dikasihi oleh Pencipta dan Bapa-Nya, dan oleh orangtuanya.

Para Pem-bully Juga Membutuhkan Injil

Namun, tidak berhenti sampai di situ, aku juga berharap anakku mengerti bahwa Injil bukan hanya bagi dirinya, melainkan juga bagi para pem-bully.

Kita semua adalah orang berdosa. Dengan begitu, kita semua—baik mereka yang mem-bully maupun yang di-bully—membutuhkan pengampunan dan pendamaian dari Allah melalui Kristus.

Seperti dikatakan dalam Roma 3:10, 23-24:

“Tidak ada yang benar,
seorang pun tidak …
semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan
kemuliaan Allah, dan oleh kasih karunia telah dibenarkan
dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus.”

Saat anakku tumbuh besar, aku berdoa agar aku dapat menyampaikan kebenaran Injil ini kepadanya: bahwa kita semua melakukan hal-hal buruk karena dosa yang ada dalam hati kita, dan kita semua membutuhkan pengampunan yang hanya dapat diberikan oleh Kristus.

Sebagai seorang remaja dulu, aku tidak memiliki lensa alkitabiah untuk memahami mengapa para pem-bully melakukan apa yang mereka lakukan kepadaku. Tak pernah terpikir olehku bahwa tindakan mereka itu mungkin dipengaruhi oleh dosa di dalam hati mereka, atau mungkin dosa yang terjadi di rumah mereka.

Mungkin jika dulu semua itu terbit dalam pikiranku, aku akan lebih berbelas kasihan kepada mereka–atau, setidaknya, aku akan mengerti bahwa seperti aku, mereka juga membutuhkan Yesus. Dan mungkin, aku bahkan dituntun untuk berdoa bukan hanya agar keadilan ditegakkan, melainkan juga bagi pertobatan dan keselamatan mereka, seperti yang diperintahkan Yesus dalam Matius 5:44-45: “Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga.”

Dikenal Sepenuhnya, Dikasihi Sepenuhnya

Ketika anakku mulai bersekolah, inilah yang akan kuajarkan dan ingatkan kepadanya: bahwa Allah melihat dan membalas kesalahan, bahwa Dia sangat mengasihi dan peduli kepadanya, dan bahwa Dia dengan cuma-cuma menawarkan keselamatan kepadanya dan kepada para pelaku bullying di kayu salib.

Tentu saja, aku tahu bahwa meski anakku mengetahui semua ini, ini tidak akan sepenuhnya melindungi anakku dari para pem-bully. Namun, aku yakin, sementara aku berusaha untuk membesarkannya dalam jalan dan hikmat Tuhan, aku dapat berdoa agar ia mengalami kepenuhan kasih Allah yang tecermin dalam kasih kita, dan bahwa kasih ini akan menjadi kekuatan baginya, apa pun yang terjadi.

Teolog Amerika, Timothy Keller, menyimpulkan hal ini dengan baik:

“Dikasihi tetapi tidak dikenal adalah sesuatu yang menghibur tetapi dangkal. Dikenal tetapi tidak dikasihi adalah ketakutan terbesar kita. Namun, dikenal sepenuhnya dan benar-benar dikasihi, sangat mirip dengan dikasihi oleh Allah. Inilah yang kita butuhkan melebihi segalanya. Hal ini membebaskan kita dari kepura-puraan, menjauhkan kita dari sikap paling benar sendiri, dan melindungi kita dari segala kesulitan yang mungkin terjadi dalam kehidupan kita.”

Artikel ini pertama kali diterbitkan di Biblical Wisdom for Parents © Our Daily Bread Ministries dengan judul “What If My Son Is Bullied Too?”
Penerjemah: Rosi Simamora
Penyelaras Bahasa: Marlia Kusuma Dewi

Yuk berjalan berdampingan untuk

Menjadi Orangtua Sebaik yang Kita Bisa.

Kami akan menampilkan artikel, kesaksian, dan tips-tips parenting setiap minggunya.

Klik untuk SUBSCRIBE