“Teganya mereka! Keluargaku sendiri!”

Agnes terkejut saat suaminya yang biasanya tenang, muncul sambil merutuk.

“Ada apa?” ia bertanya.

“Kakak-kakak menuntut bagian dari penjualan rumah ini!” tukas Gavin, dadanya naik-turun dibakar emosi. “Aku tidak mengira mereka bisa setega ini pada kita! Serakah! Si…”

Hati Agnes kontan ikut panas. Apalagi, ini pembenarannya atas reaksinya, ia sebenarnya sudah lama keberatan dengan cara kakak-kakak iparnya memperlakukan mereka berdua. Mentang-mentang suaminya anak bungsu dan penurut, kakak-kakak iparnya ini senang mengatur dan ikut campur.

“Nggak bisa begitu dong!” suara Agnes tak kalah tinggi. Ia sama sekali tidak sadar betapa miripnya dia dengan salah satu tokoh istri dalam drakor-drakor tontonannya. Mengompori suami, mengipasi amarahnya.

“Sewaktu Mama meninggal kan kakak-kakak itu sudah dapat bagian warisan masing-masing. Lagi pula, apa mereka sudah lupa perkataan mereka sendiri sewaktu menyuruh kita pindah ke kota kelahiran kalian untuk merawat Mama? ‘Ju…’”

“‘Jual saja rumah kalian yang di Jakarta ini. Toh rumah Mama itu nanti jadi milik kalian juga.’ Iya, aku masih ingat persis omongan mereka!” potong Gavin gusar.

Agnes memandang wajah suaminya yang kusut, kini mereka sama-sama dibakar amarah. Ia ingat benar, dulu meski sulit dan berat, dengan pengorbanan tidak tanggung-tanggung, mereka akhirnya memindahkan seluruh keluarga dan kehidupan mereka ke kota kelahiran suaminya. Namun, jarak membuat bisnis mereka yang baru seumur jagung tidak dapat bertahan, dan ujung-ujungnya rumah mungil mereka yang masih dicicil terpaksa dijual.

“Sudah, tidak apa-apa, rumah Mama kan rumah kalian juga,” begitu salah satu kakak ipar mencoba menenangkan. Tak satu pun dari mereka mau mendengarkan kesulitan-kesulitan yang dilontarkan Gavin dan Agnes. Tak sekali pun mereka pernah menawarkan bantuan. Begitu Gavin dan Agnes bersedia kembali ke rumah masa kecil mereka, urusan ibu mereka yang sakit pun langsung dianggap beres, baik dalam hal biaya maupun lainnya.

Dan sekarang ketika mereka bermaksud kembali ke Jakarta dan menjual rumah warisan ini sebagai modal untuk memulai hidup baru, kakak-kakak ipar yang sebenarnya sudah mendapat bagian warisan malah menuntut bagian! Di mana adilnya sikap mereka itu?! pikir Agnes gemas.

Namun, saat hari berganti hari dan minggu saling mengejar, bukannya terurai, masalah ini malah semakin kusut. Agnes menyaksikan suaminya semakin muram dan menutup diri. Kemarahan mereka pun berubah jadi seperti gurita yang tentakelnya melebar ke mana-mana dan mencekik mereka.

“Lalu apa yang akan kita lakukan, Gav?” tanya Agnes suatu malam.

Gavin mengembuskan napas keras-keras. “Besok kami bertemu. Kalau mereka masih juga menuntut macam-macam, putus hubungan!”

Mendengar ucapan suaminya itu, Agnes terkejut bukan main. Putus hubungan? Dengan keluarga sendiri? Benarkah ini yang mereka inginkan? Agnes tidak yakin, apalagi kentara sekali Gavin mengucapkannya dengan nada terluka. Ya Tuhan, kok jadi begini? Apa yang sudah kulakukan? gumam Agnes.

Ia mulai menyelidiki motivasi-motivasinya belakangan ini, dan dengan berat hati mengakui bahwa keadaan jadi buruk begini sebagian karena perannya juga. Ia begitu cepat ingin membela suaminya yang diperlakukan dengan tidak adil, sehingga melupakan tugasnya sebagai istri. Ia bukannya menolong suaminya untuk dapat mengungkapkan kekecewaannya kepada kakak-kakaknya dengan bijaksana, tetapi malah mendorong Gavin memelihara kemarahannya hingga tak terkendali. Bukannya mengajak suaminya untuk membawa masalah ini kepada Tuhan, tetapi malah nekat menyelesaikannya menurut cara mereka sendiri.

“Ya Bapa, aku mengakui kesalahanku. Tidak seharusnya aku mengipasi kemarahan suamiku,” malam itu Agnes membuka doanya dengan penuh penyesalan. “Ampunilah aku, Bapa. Beri kami hikmat dan kekuatan untuk menghadapi masalah ini. Mampukan kami untuk melakukan apa yang dinyatakan oleh Rasul Paulus dalam Roma 12:18, untuk hidup dalam perdamaian dengan semua orang.”

“Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!” Roma 12:18 (TB)

Tepat ketika bibirnya membisikkan “Amin”, ia teringat nasihat almarhum ibunya ketika suatu waktu dulu ia bercerita tentang kakak-kakak iparnya. “Tidak ada keluarga yang sempurna, Nes. Keluarga kita juga tidak. Tapi orang Kristen tidak dipanggil menikah untuk memperjuangkan kepentingan kita sendiri, melainkan untuk mewujudkan kasih Kristus dalam seluruh relasi kita, termasuk relasi kita dengan keluarga besar. Seburuk apa pun relasi tersebut.”

***

Siang itu, Gavin pulang dengan emosi meledak-ledak. Kentara sekali pertemuannya dengan kakak-kakaknya berjalan dengan buruk. “Kalau aku tidak telanjur berjanji padamu untuk tidak memutuskan hubungan dengan mereka semua, pasti tadi sudah kulakukan!” sergahnya sengit. “Ketika kuingatkan tentang ucapan mereka sendiri dulu, mereka malah mengancam tidak akan menandatangani dokumen-dokumen yang diperlukan untuk menjual rumah ini!” omelnya.

Sedih hati Agnes menyaksikan suaminya diperlakukan dengan buruk oleh keluarganya sendiri, orang-orang yang dikasihinya. Namun, ia juga tahu, jika Gavin sampai memutuskan hubungan dengan keluarganya, hal itu tidak dapat dibenarkan. “Gav, aku tahu kau kecewa. Tapi… sepertinya sikap hati kita sendiri sudah salah dalam menghadapi masalah ini,” ucapnya hati-hati.

“Maksudmu? Kita tidak boleh marah setelah diperlakukan seperti ini oleh mereka? Atau kau lebih senang kita pasrah saja dibodoh-bodohi begini?” Gavin langsung nyolot.

“Eh… bukan. Kita boleh marah kok, tapi… kita juga perlu berhati-hati supaya tidak kebablasan. Seperti… dengan memutuskan hubungan, misalnya,” ucap Agnes. Sengaja ia terdiam sebentar agar ucapannya mengendap. “Begini, aku sebetulnya bersalah padamu, Gav. Aku bukannya menolong mengingatkan kau untuk menyerahkan masalah ini ke tangan Tuhan, tapi malah fokus pada perlakuan mereka dan kemarahan kita. Akibatnya, pandangan kita jadi sempit. Tuhan jadi tidak terlihat, dan kita tidak bisa melihat pengharapan. Kemarahan telah menghalangi pandangan kita dari kasih, kebaikan, dan… Tuhan. Iya nggak sih?”

Gavin bergeming, jadi Agnes meneruskan, “Aku bukannya mau sok mengajarimu sih, Gav. Tapi aku kok jadi diingatkan pada buku kecil berjudul Apa yang Dijanjikan Pernikahan yang pernah kauhadiahkan dulu. Ingat? Kita membaca buku itu bergantian, dan kaubilang paling suka bagian tentang bagaimana Alkitab berulang kali menceritakan tentang orang-orang yang kecewa, tetapi berulang kali pula Alkitab menunjukkan bahwa kekecewaan dapat menuntun kita pada pemenuhan. Ingat?”

Perlahan, Gavin mengangguk nyaris tanpa kentara. Sekarang ia ingat, bahwa salah satu orang yang kecewa tersebut adalah Yusuf, yang diperlakukan dengan tidak adil oleh saudara-saudaranya, bahkan dijual sebagai budak dan melewati musim-musim kehidupannya yang sulit. Meski begitu, akhirnya Yusuf dapat berkata kepada saudara-saudara yang telah mencelakainya, “Kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan” (Kejadian 50:20).

Ah, sekarang ia mengerti apa yang ingin dikatakan istrinya mengenai niatnya untuk membalas perbuatan kakak-kakaknya dengan memutuskan hubungan dengan mereka.

“Dulu, setiap kali aku curhat ke Ibu tentang perlakuan kakak-kakak kepada kita, Ibu cuma bilang begini, ‘Percayakanlah setiap musim dalam pernikahan kalian ke tangan Allah. Fokus pada kasih Kristus, dan Ibu percaya kalian akan menyaksikan penyertaan Kristus melampaui apa pun yang pernah terbayangkan oleh kalian,’” Agnes berkata.

“Jadi, maukah kita menyerahkan semua ini ke tangan Tuhan, Gav? Percaya, seperti Yusuf, bahwa Allah akan mereka-reka semua ini untuk kebaikan? Maukah kita mencoba sekali lagi mempraktikkan kasih, meski sulit setengah mati?” Agnes bertanya.

Lama Gavin terdiam, lalu akhirnya mengangguk dan mendesah panjang. Ketika hatinya perlahan tenang, di benaknya 1 Korintus 13:4-8 kembali terngiang-ngiang. Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan.

Gavin tahu, istrinya benar. Dan meski belum dapat menerima sepenuhnya, ia menyadari damai yang dari kasih Kristus perlahan memerdekakan hatinya dari kebencian dan kemarahan.

Anda diberkati dengan materi ini?
Pastikan Anda tidak ketinggalan membaca tulisan-tulisan terbaru kami lainnya.

Klik untuk SUBSCRIBE