Sejak Aby mulai bersekolah 10 tahun yang lalu, inilah pertama kalinya Ellen dipanggil menghadap guru BP.

“Kami ingin berdiskusi dengan Mom mengenai Abygail,” begitu pemberitahuan yang diterimanya dari sekolah.

Entah kenapa, Ellen merasakan … cubitan rasa kecewa. Selama ini, ia yakin telah berhasil mendampingi Aby hingga ia menjadi murid istimewa. Selalu masuk ranking tiga besar. Lalu, kenapa ia dipanggil? Mungkinkah karena nilai C yang Aby dapatkan minggu lalu? Nilai yang membuat putrinya bermuram durja dan mengurung diri berhari-hari?

Benar saja. Ibu Guru menyodorkan selembar kertas dan Ellen langsung mengenalinya. “Begini, Mom. Dua hari yang lalu, Aby memberi tahu saya bahwa dia yakin, tidak mungkin nilainya C. Dia … merasa dicurangi,” ucap Ibu Lydia.

“Oh itu. Saya rasa itu wajar, Bu. Saya yakin Ibu tahu catatan prestasi Aby selama ini, ya kan? Dia selalu masuk ranking lho, dan pencapaiannya pun tidak cuma satu-dua. Sejak kecil kami terus memotivasinya untuk menjadi yang terbaik,” ucap Ellen berapi-api.

Ibu Lydia tersenyum. “Apakah saya boleh menjelaskan dasar penilaiannya, agar Mom tahu mengapa Aby mendapat nilai C?”

“Ah, tidak perlu,” tepis Ellen. Ia yakin ibu guru ini tidak berbeda dengan yang lain. Mereka selalu berdalih bahwa nilai yang mereka berikan adalah yang sebenar-benarnya. Jadi, untuk apa buang-buang energi? “Saya sangat bangga pada Aby, Bu. Dia tahu itu. Bahkan medsos saya isinya semua tentang pencapaian dan prestasi dia. Tentang perasaan bangga dan syukur saya punya anak sesempurna dia. Saya yakin semua itu bisa memotivasi dia, Bu. Membangun rasa percaya dirinya …”

Ibu Lydia terdiam. Ia tahu ada banyak sekali orangtua seperti Ellen, yang media sosialnya bagaikan etalase yang mengumumkan pencapaian dan kecemerlangan anak-anaknya. Yang sayangnya dilakukan dengan berlebihan, sehingga kebablasan dan menjadi obsesi serta pemberhalaan anak sendiri. Tapi sungguh, ia bisa mengerti.

“Saya mau share sesuatu. Boleh ya, Mom?” ujarnya, dan Ellen mengangguk. “Dua tahun yang lalu, kami punya murid yang mengingatkan saya kepada Aby. Tekun, berprestasi, dan menuntut diri selalu jadi yang terbaik. Sempurna. Rupanya dia yakin, itulah yang membuat orangtuanya bangga. Sayangnya, Mom, kita semua tahu, hidup ini tidak selalu mulus. Tidak ada satu pun manusia yang sempurna dan selalu jadi yang terbaik. Meski sudah berusaha semaksimal mungkin, kita dan anak-anak kita pasti suatu kali akan gagal, ya kan? Nah, anak ini pun begitu. Dia begitu yakin bisa melakukan apa saja, dan menuntut dirinya sangat tinggi. Lalu ketika gagal memenuhi target yang ditetapkannya sendiri bagi dirinya, dia tidak bisa teri …”

“Abygail tidak begitu!” sambar Ellen ketus.

Ibu Lydia terkejut, tapi segera menguasai diri. “Saya tidak bilang begitu. Kami hanya mengkhawatirkan Aby, dan tidak ingin dia seperti anak didik kami tersebut. Anak-anak yang memikul beban yang terlalu berat untuk usianya. Anak-anak ini biasanya berfokus hanya pada dirinya. Mereka mengejar pengakuan. Dari diri sendiri, dari orangtua, bahkan dari orang-orang di media sosial. Di bawah sadar anak-anak seperti ini yakin dia sejenis superkid, karena itu dia sulit menerima kalau dirinya tidak sempurna. Mereka terpenjara oleh tuntutan mereka sendiri untuk menjadi sempurna.” Ia terdiam sebentar.

“Anak-anak seperti ini … sangat rapuh, Mom. Dan sayangnya, sekarang ada banyak sekali yang seperti mereka. Apalagi, karena dia berprestasi, orangtua sering dibutakan oleh rasa bangganya sendiri, lalu terlambat menyadari kerapuhan anaknya.”

Lama Ellen terdiam, sementara kata demi kata yang dilontarkan Ibu Lydia mulai mengendap. Meski … entah mengapa, ingin rasanya ia membela diri dan berkata: “Saya ini dulu sangat minderan, itu sebabnya saya berjanji anak saya tidak boleh seperti saya.” Dia harus jadi anak yang percaya diri, berprestasi, menonjol. Namun, peristiwa demi peristiwa yang sebelumnya tak pernah benar-benar dipikirkan Ellen, kini berkelebat dalam benaknya: Aby yang mengurung diri berhari-hari di kamar setelah mendapat nilai C. Aby yang merasa dicurangi. Aby yang sering kali kelewat keras menilai dirinya sendiri.

Ellen menghela napas panjang, lalu menunduk, tersiksa pikiran-pikirannya sendiri. Badai-badai yang datang dari keminderannya sendiri kini mulai mengancam. Ia hanya ingin Aby memiliki kepercayaan diri yang tinggi, tidak seperti ibunya. Itu sebabnya ia mendidik Aby seperti ini.

Namun … kini ia mulai melihat, bahwa kepercayaan diri yang kelewat tinggi pun rupanya bukan jawaban. Karena meski berbeda dengan Ellen yang selalu terperangkap dalam pendapat dan penghakiman orang lain tentang dirinya, Aby malah terperangkap dalam penilaiannya sendiri atas dirinya. Bahwa dia spesial. Sempurna. Hebat. Dan jika dia kurang dari itu, dia tidak bisa menerimanya.

Dari wajah dan bahasa tubuh Ellen, Lydia tahu, hati wanita itu mulai terbuka. Tugasnya sekarang tinggal menunggu waktu yang tepat untuk membagikan fakta yang semakin sering menyesatkan orangtua dalam upaya mereka untuk menciptakan anak-anak yang percaya diri.

“Mom dan Aby tidak sendirian, banyak orangtua dan murid-murid kami mengalami hal yang sama. Kita semua ingin punya anak yang percaya diri, itu tentunya tidak salah, Mom. Hanya saja, dalam upaya kita tersebut, tanpa sadar kita membuat anak hanya berfokus pada dirinya. Pada prestasinya. Kebahagiaannya. Keinginannya. Kebutuhannya. Lalu kita terus memberi mereka pujian dan kalimat-kalimat apresiasi, dan akhirnya … mereka jadi kelewat percaya diri. Dan ketika mereka menemukan bahwa mereka memiliki kekurangan seperti anak-anak lain, mereka pun hancur. Kita tidak ingin anak-anak kita begitu, kan, Mom?”

“Lalu, apa yang harus kami lakukan kalau begitu?” tanya Ellen.

Ibu Lydia tersenyum. “Menggeser fokus, Mom. Aby perlu tahu bahwa dia tidak dituntut menjadi sempurna, karena itu mustahil. Dia tidak dituntut menjadi yang terbaik, melainkan memberikan yang terbaik dari dirinya yang tidak sempurna itu. Dia istimewa dalam ketidaksempurnaannya, diterima dan dikasihi dalam ketidaksempurnaannya, merdeka dalam ketidaksempurnaannya, untuk menjadi versi dirinya yang akan terus disempurnakan di dalam Kristus.”

Ellen tercenung. Tuhan, ya, Tuhan-lah yang seharusnya menjadi fokus mereka, sandaran mereka. Hanya Dia-lah yang dapat memerdekakan mereka dalam ketidaksempurnaannya sebagai ibu dan ketidaksempurnaan Aby sebagai anak. Kita tidak diciptakan untuk sekadar menjadi versi diri kita yang kita tetapkan sendiri, untuk sekadar berfokus pada diri kita dan mengikuti kehendak kita, melainkan untuk menjadi bagian dari rencana dan pekerjaan Tuhan yang lebih besar.

Ah, sekarang akhirnya Ellen mengerti, karena sesungguhnya, Tuhan telah menegurnya lewat khotbah yang didengarnya kemarin. Ia saja yang menutup hati dari teguran itu, karena meski hati kecilnya terusik, ia tidak ingin mengakui kebenaran yang disodorkan Tuhan lewat firman-Nya. Namun sekarang, ia tidak ingin lari lagi. Ia ingin menolong Aby dari kekeliruan yang selama ini dilakukannya.

Perlahan, firman Tuhan yang dikhotbahkan kemarin terbit dalam ingatannya. “Beginilah firman TUHAN: “Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada TUHAN! Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN! (Yeremia 17:5, 7)

Yuk berjalan berdampingan untuk

Menjadi Orangtua Sebaik yang Kita Bisa.

Kami akan menampilkan artikel, kesaksian, dan tips-tips parenting setiap
minggunya.

Klik untuk SUBSCRIBE