“Kalung itu jelas-jelas kuletakkan di sini kemarin! Baru saja ditinggal sudah lenyap!” terdengar gelegar teriakan Mami, ibu mertua Rahmi.

“Pasti kamu yang mengambilnya!” ia menuding Rahmi dengan garang, telunjuknya yang keriput bukan hanya membuat Rahmi ciut, namun hatinya juga mendadak seperti diserut-serut.

“Ngaku kamu, Rahmi … iya kan … aku tahu watakmu … sudah lama kamu mengincar kalungku itu. Sekarang, begitu ada kesempatan kamu langsung memanfaatkannya. Culas sekali hatimu!” bentakan Mami terus menghunjam tanpa ampun, mendesak Rahmi untuk mengaku salah meski ia sama sekali tidak tahu-menahu tentang kalung itu. Jangankan mengambilnya, ia bahkan tidak tahu di mana ibu mertuanya menyimpannya.

“Ya Tuhan, seandainya Engkau hadir di sini secara fisik, untuk menjadi hakim antara aku dan Mami, pastilah Engkau akan memenangkan perkaraku ini.” Sebulir air mata menetes di pipi Rahmi, sebelum akhirnya ia tersedu pilu.

Ini bukan pertama kalinya ia dituduh yang bukan-bukan oleh Mami, ibu yang sangat diagungkan oleh suaminya. Dan ini bukan pertama kalinya pula suaminya diam saja sementara Rahmi dihujani tuduhan dan kata-kata yang melukai hati. Tak pernah sekali pun suaminya membelanya. Padahal, Rahmi yakin, Adit pasti tahu istrinya tidak pernah mencuri. Pekerjaannya bagus, tabungannya cukup. Mengapa Rahmi harus sampai mencuri untuk mendapatkan kalung yang … harganya mungkin tak lebih dari seperempat gajinya?

“Untuk apa aku mencurinya?” pertanyaan itu meluap begitu saja dari dalam hati Rahmi, terhenti di tenggorokan, dan tertelan kembali dalam keheningan. Percuma membela diri, ia tidak punya pembela. Adit sama sekali tidak berdaya jika menyangkut Mami.

“Minum air ini, Rahmi!” perintah Mami sambil dengan kasar menyodorkan segelas air putih pemberian “orang pintar” kenalannya. “Aku yakin, sesudah minum air ini kamu bakal sakit perut dan muntah, dan itulah buktinya bahwa kamu memang pencurinya. Minum ini … cepat minum!”

Dengan enggan Rahmi menerima segelas air putih itu dan meminumnya. Aku bersih, aku tidak bersalah, aku tidak mencuri, pikirnya. Ia menenggak air itu sampai habis tak bersisa. Terlintas sebuah kejadian yang mirip yang pernah dibacanya di Perjanjian Lama. Suatu hukum diberlakukan atas istri yang dituduh berselingkuh. Istri itu harus meminum air yang telah didoakan oleh imam. Jika benar ia berselingkuh, perutnya akan menggembung dan ia akan kesakitan. Ia bahkan dikutuk menjadi mandul! Namun, jika itu hanya prasangka suami yang didera rasa cemburu yang membabi buta, maka air itu tidak menimbulkan efek apa pun pada perempuan yang dituduh berselingkuh tersebut (Band. Bilangan 5:17-31).

Dan … benar saja, ia tidak merasakan efek apa pun sesudah meminum air dari dukun itu. Dan meski akhirnya dapat bernapas lega, tetap saja ia tak sanggup menanggung rasa sakit hati yang menusuk-nusuk dadanya. “Tuhan, tolonglah aku,” ia tersedu.

***

GEMPARR!!

Pencurinya tertangkap!

Rahmi menghambur ke ruang tengah dan melihat Om Bowo bersitegang dengan Mami. Sumpah serapah saling dilontarkan bertubi-tubi, saling tuding, saling bentak, saling melotot. Entah neraka apa lagi yang sedang mereka bawa ke rumah ini.

Om Bowo adalah adik kandung Mami, namun pertalian darah ini tidak menghentikan semburan amarah Mami dan ujaran kebencian yang keluar dari bibirnya. Om Bowo pun tak mau kalah, mereka saling berbalasan dan sesekali melemparkan benda-benda demi meredam emosi.

Meski tidak terlalu jelas, Rahmi dapat menangkap mereka menyebut-nyebut tentang kalung yang hilang tempo hari. Rupanya, kalung itu telah dijual Om Bowo demi membayar utang judi dan membeli minuman keras. Om Bowo memang bukan orang yang mudah mengalah, malah bisa dibilang sumbu pendek. Ia mudah sekali lepas kendali. Emosinya bisa meledak sewaktu-waktu, meski hanya tersulut sedikit saja. Para tetangga yang pernah dipalak, dipukuli, dan diintimidasi olehnya sering mengeluhkan perangai kasarnya.

Lalu, di mana Adit kali ini? Suami Rahmi ini hanya dapat berdiri terpaku. Diam tak berdaya. Persis seperti dua hari lalu, Adit juga bersikap pasif, bingung harus bersikap bagaimana. Ia sangat mempercayai Mami, tapi ia juga mencintai Rahmi. Kedua perempuan ini penting baginya, dan ia tidak sanggup memilih. Namun sikapnya ini seolah memberi angin segar bagi Mami sehingga ia merasa menang. Beruntung kemenangan itu dipatahkan kenyataan bahwa Rahmi tidak mempan dengan air dukun itu. Sebenarnya bukan karena tidak mempan, tapi lebih karena memang bukan Rahmi-lah pencurinya.

Sikap diam Adit melukai Rahmi. Ia tahu suaminya sangat mengasihinya, namun ia paham dalam ketidakberdayaannya, Adit akan memihak Mami. Tak berbeda dengan sekarang. Adit juga diam, bergeming. Entah apa yang ada dalam pikirannya.

“Adit memang tidak sempurna, tapi itu bukan alasan bagiku untuk tidak mengasihinya,” batin Rahmi seraya menghela napas dalam-dalam. Lagi pula, ia ingin anak-anaknya menuruti teladannya dalam menerapkan kasih kepada ayah mereka, juga kepada oma dan opa mereka. Karakter, perangai, perilaku senegatif apa pun, semua itu tidak boleh menghalangi Rahmi untuk terus menunjukkan rasa hormat dan kasih yang oleh kekuatan Ilahi dapat diwujudkannya dari sehari ke sehari.

Kekuatan Ilahi itu juga yang mendorong Rahmi untuk menunjukkan kasih saat suatu ketika kehadirannya benar-benar dibutuhkan oleh ayah mertuanya. Memang, perangai Mami tidak pernah berubah. Bahkan saat Papi, suaminya, mendadak sakit dan hanya bisa berbaring tak berdaya pun, Mami tetaplah mami yang bermulut tajam dan tidak ramah.

Namun, kali ini pun, Rahmi tidak dapat membiarkan Mami pontang-panting seorang diri mengurus Papi. Ia tidak mungkin memalingkan wajah dari kedua orangtua suaminya hanya karena Mami berkali-kali melukai hatinya. Entah dari mana datangnya kekuatan itu, Rahmi pun akhirnya memutuskan mendampingi Mami dalam masa-masa paling berat hidupnya. Ia bahkan tidak segan-segan mengambil alih mengurus Papi, seperti menyuapi makan, memandikan, memakaikan baju, atau sekadar mengajaknya ngobrol.

Tak jarang para kerabat bergantian berceloteh, “Rahmi … ibu mertuamu itu sudah melakukan hal-hal yang jahat kepadamu. Ngapain kamu repot-repot menolong dia sekarang? Biarkan sajalah, biar dia tahu rasa! Kalau kelakuannya tidak berubah, dia bakal ditinggalkan banyak orang. Tidak bakal dapat pertolongan kalau lagi susah. Lagi pula … bla bla bla.”

Celotehan seperti itu tidak hanya datang dari kerabat, tetapi juga dari tetangga, teman, bahkan kadang-kadang dari dirinya sendiri. Bisikan-bisikan halus itu seolah tak henti membujuknya untuk berhenti menunjukkan kasih kepada orang yang selama ini telah memperlakukannya sebagai musuh.

Rahmi bukan seorang yang religius, namun ia bertekad untuk terus menerapkan kasih. ”Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Matius 7:12). Ia tidak ingat di mana tepatnya firman itu tertulis, namun ia yakin semua orang layak untuk dikasihi. Sama seperti Tuhan terus menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik, dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar, maka Rahmi pun ingin meneladan kasih Tuhan yang agung ini. (Matius 5:45)

Ternyata, sikap Rahmi yang teguh dalam mengasihi ini diam-diam diperhatikan oleh putranya, Deny. Ia sadar bahwa konsep kasih itu tidak hanya sekadar untuk dibaca, dimengerti, dan dipahami, namun memerlukan kesediaan untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika ingin membebaskan diri dari belenggu sakit hati yang ditimbulkan oleh orang-orang di sekitarnya, ia harus menerapkan kasih yang rela mengampuni. Kalau ia ingin merdeka dari luka hati dan keinginan untuk membalas dendam, ia harus menerapkan kasih yang rela mengampuni.

Kasih itu tidak memberi celah bagi sakit hati. Kasih itu tidak memberi kesempatan untuk mata ganti mata ataupun gigi ganti gigi. Kasih itu tidak diperbudak oleh amarah dan kepentingan diri sendiri. Kasih itu tidak merampas hak orang lain yang tampak tidak layak untuk dikasihi. Kasih itu memerdekakan baik orang yang memberikan maupun yang menerimanya. Memerdekakan mereka dari perbudakan amarah, dendam, gengsi, kecewa, dan sakit hati.

Namun, itu bukan hal mudah bagi Rahmi… tentunya demikian pula bagi orang lain, bahkan bagi seluruh umat manusia di bumi ini. Tidak mudah, tapi tidak berarti mustahil. Cara paling cepat untuk kita dimampukan melakukannya adalah dengan mendapatkan kekuatan Ilahi untuk menerapkan kasih, yaitu dengan cara terus terkoneksi dengan Tuhan melalui renungan-renungan pribadi dan dalam doa-doa kita kepada-Nya.

Mengampuni adalah keputusan diri sendiri. Tidak bersyarat. Untuk bisa merdeka, kita tidak harus menunggu orang lain yang mengecewakan kita berubah sehingga kita baru mau mengampuni mereka. Merdeka itu sederhana.

Merdeka itu rela mengampuni.

MERDEKA!!!

Kesaksian oleh: Deny Surya Saputra.
Diceritakan kembali oleh: Marlia Kusuma Dewi

Yuk berjalan berdampingan untuk

Menjadi Orangtua Sebaik yang Kita Bisa.

Kami akan menampilkan artikel, kesaksian, dan tips-tips parenting setiap minggunya.

Klik untuk SUBSCRIBE