Dalam bukunya Walking With God Through Pain & Suffering, Timothy Keller menuliskan bahwa kemarahan atas kematian adalah intuisi kita sebagai manusia. Dengan demikian jika kita yang mengalami kehilangan merasa bahwa kematian itu tak seharusnya terjadi, sikap itu sebenarnya tidaklah salah. Karena pada mulanya kita diciptakan Allah memang bukan untuk kefanaan, kehilangan kasih, atau kalah atas kegelapan. Namun, pemberontakan dan penolakan kita terhadap otoritas Allah-lah yang membuat segala sesuatu (hati, emosi, tubuh, relasi dengan orang lain dan relasi dengan alam) menjadi hancur (Kejadian 3).

“Mengapa ini harus terjadi padaku dan tidak pada orang lain?”

Keluarga kami sendiri pernah mengalami peristiwa kehilangan ketika anak pertama kami meninggal di usia empat hari. Ketika realita ini terjadi, sesungguhnya tidaklah mudah bagi kami untuk menerimanya. Pertanyaan yang muncul adalah “Mengapa ini harus terjadi pada kami?” Memang benar kami bisa melanjutkan aktivitas sehari-hari setelahnya, tetapi harus diakui bahwa peristiwa ini sungguh amat membekas dan tak bisa disingkirkan begitu saja.

Pertanyaan di atas mungkin turut terlintas di benak orang-orang yang kehilangan akibat dahsyatnya pandemi yang melanda. Kematian anak terkasih, kehilangan pasangan, orangtua, kerabat, maupun teman adalah kepedihan yang pasti tak mudah untuk dilalui. Jawaban dari pertanyaan mengapa penderitaan ini terjadi pada kita dan bukan orang lain, tentu menjadi perenungan yang panjang. Tapi mari kita mencoba menilik kisah Ayub, saat para sahabatnya menghibur dan mengatakan alasan mengapa semua ini terjadi pada Ayub dan bukan pada mereka. Mereka menandaskan bahwa semua itu karena mereka hidup benar sedangkan Ayub tidak. Lalu, tepatkah bila kemudian kita berpikir bahwa orang buruk pasti mendapat hidup yang buruk sedangkan orang baik pasti mendapat hidup yang baik? Bila kita membaca akhir kisahnya, kita menemukan bahwa Allah membela Ayub dan menunjukkan amarah-Nya kepada para sahabat Ayub.

Dengan demikian, membagi segala sesuatu yang terjadi atas manusia menjadi pola dengan batasan yang tegas seperti di atas tentu tidak sepenuhnya tepat. Karena orang yang sedang menderita pun tidak selalu sedang membayar kesalahan tertentu. Seperti dikatakan Yesus dalam Matius 5:45, bahwa matahari dan hujan turun baik bagi orang jahat maupun orang yang baik. Di sisi lain, dari kisah Ayub kita pun dapat belajar bahwa Allah memakai penderitaan yang dialami Ayub untuk membawanya secara pribadi mengenal Allah dengan lebih dalam. Selain itu, Allah juga memakai penderitaan tersebut untuk membentuk Ayub sehingga memiliki kerendahan hati dan mengakui Allah adalah satu-satunya yang benar dan berkuasa atas hidup seluruh manusia.

“Apakah Allah tidak sanggup meniadakan penderitaan dan membuat segalanya berakhir dengan baik?”

Seperti telah kita ketahui sebelumnya, pemberontakan dan penolakan kitalah yang merusak dan menghancurkan segala sesuatu yang telah Allah ciptakan. Kejatuhan manusia ke dalam dosa sungguh merusak seluruh dimensi yang ada. Penderitaan dan kematian yang dialami pun dapat muncul sebagai konsekuensi dosa yang telah dilakukan manusia sejak semula—sebagai hukuman yang adil dari Allah atas kita. Bila kita merenungkan kembali kisah tersebut, masihkah layak kita menuntut dan memprotes Allah agar kita memiliki kehidupan yang lebih baik daripada yang kita alami saat ini?

Dalam bukunya tersebut Timothy Keller juga mencatat hasil penelitian seorang sosiolog bernama Christian Smith, yang mengungkapkan bahwa sebagian besar pemuda Amerika ternyata menganut “deist praktis”, di mana mereka melihat keberadaan Allah untuk bertugas memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Pemikiran ini mungkin dapat membuat orang yang merasa berhak secara “rohani” bingung dan kecewa ketika segala hal dalam kehidupannya berubah buruk dan mengalami penderitaan. Hal ini seolah menyiratkan bahwa Allah berutang kepada manusia untuk memberikan kehidupan yang baik dan nyaman, kecuali kepada manusia yang jahat. Pemikiran ini tentu tidak tepat.

Pada akhirnya, bagi kita yang sedang mencari jawaban di balik sebuah kehilangan pastinya membutuhkan perenungan secara pribadi dan mendalam bersama Allah. Perasaan duka, kecewa, atau marah mungkin akan hadir dan mewarnai prosesnya. Namun, saat kita menilik kebenaran firman-Nya, kita dapat meyakini bahwa Allah adalah pribadi yang merancangkan segala sesuatu baik bagi kita bahkan sejak semula. Menjadi penghiburan bagi kita bahwa Allah pun turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi kita, yang mengasihi-Nya (Roma 8:28).