Aku dilahirkan sebagai anak tengah dari lima bersaudara, pada tengah minggu, di tengah bulan, dan tengah tahun. Banyak orang berkata: “Wah anak tengah tulen, middle child syndrome pastinya.” Karena, anak pertama biasa lebih dominan dan anak terakhir sering dimanja, sedangkan kebanyakan dari anak tengah merasa terabaikan, akibat urut kelahirannya.

Tambahan pula, dengan sifatku yang cukup penurut, sejak masa remajaku, aku sering diberi tanggung jawab oleh kedua orang tua, untuk turut menjaga adik-adikku. Dan sesungguhnya, sempat terlintas di benakku, “Apakah aku penting?”

Salah satu buku cerita favoritku berjudul My Sister’s Keeper yang ditulis oleh Jodi Picoult. Novel tersebut menceritakan tentang dinamika kakak-beradik yang saling mengasihi. Namun, sang adik bergumul dengan kepahitan yang ia rasakan terhadap kedua orang tua dan sang kakak, yang adalah penderita kanker darah. Pusat perhatian kedua orang tua tentu ada pada sang kakak yang sakit, sedangkan ada ekspektasi tak terucapkan bagi sang adik untuk menjadi donor berkelanjutan bagi kakaknya sendiri.

Ketika membaca buku tersebut, aku merasa dimengerti. Bahwa perasaan sakit hati terhadap seseorang, bukan berarti kita tidak mengasihi mereka. Karena aku sangat mengasihi keluargaku. Namun, dalam hati kecil, ternyata ada sebuah luka yang mengiang dan melontarkan pemberontakan: “Apakah aku sekadar penjaga adik-adikku?”

Kain, Penjaga Habel

Kuingat suatu hari ketika aku sedang saat teduh, dan membaca Kejadian 4. Cerita tentang sepasang kakak-beradik, Kain dan Habel. Dalam keirian hati seorang Kain, ia membunuh Habel, adiknya sendiri—ini adalah kali pertama firman menyatakan seorang manusia membunuh dengan darah dingin. Dan ketika Tuhan menghampiri Kain dan menanyakan keberadaan Habel, ia menjawab: “Aku tidak tahu! Apakah aku penjaga adikku?” (ayat 9).

Penjaga Adik 1
Ketika membaca kata-kata itu, hatiku tertegur. Bukankah ini pernyataan yang selama ini telah kuucapkan kepada Tuhan? Betapa miripnya keluhanku dengan tanggapan Kain—dan pada saat itu juga, peringatan Tuhan kepada seorang Kain, menjadi peringatan bagiku:
“Dosa sudah mengintip di depan pintu; ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya” (ayat 7).

Seketika, aku memutuskan untuk segera menyelesaikan kekesalan yang selama ini kusimpan di hati kecilku ini.

Keadilan Tidak Berarti Sama

Setiap orang yang memiliki saudara, pasti pernah merasakan ketidakadilan. Contoh sederhana adalah ketika kedua anak berebutan mainan, dan orang tua harus melerai dan memihak. Bahkan ketika orang tua mengambil mainan tersebut, dan tidak ada satupun dari mereka yang mendapatkannya, mudah bagi seorang anak, terutama yang merasa memiliki mainan tersebut, untuk berkata, “Tidak adil! Itu kan punyaku!”

Dalam sebuah keluarga yang memiliki banyak anak, orang tua tentu tidak bisa memperlakukan anak-anaknya dengan seragam. Setiap anak memiliki karakteristik yang berbeda, dan sebagai orang tua, perlu kebijaksanaan untuk menanggapi tiap anak dengan cara yang sesuai dengan kepribadian dan kebutuhan anak tersebut. Ada anak yang bawaannya penurut, tetapi ada juga yang bersifat lebih pemberontak. Bahasa kasih setiap orang juga berbeda. Ada yang merasa dikasihi ketika diperhatikan, ada yang lebih membutuhkan pelukan, dan ada yang memerlukan perkataan pujian.

Hal ini baru kusadari ketika aku beranjak dewasa. Ternyata, selama ini, ketika orang tuaku mendidik aku dan saudara-saudaraku dengan cara yang berbeda, mereka bukan sedang memperlakukanku dengan tidak adil. Bukan karena mereka menganggapku tidak penting, atau karena mereka kurang mengasihiku. Sebagai orang tua, mereka terus berusaha untuk mengasihiku sebagaimana aku perlu dikasihi.

Alkitab Penuh Keluarga Disfungsional

Penjaga Adik 2

Namun, harus kita akui, tidak ada orang tua yang sempurna di dunia ini. Karena memang tidak ada orang yang sempurna (Roma 3:23). Firman Tuhan pun penuh dengan cerita tentang keluarga-keluarga disfungsional. Seperti kisah Abraham dengan Sarah dan Hagar (Kejadian 16), yang menyebabkan permusuhan sengit antara Ishak dan Ismael. Persekongkolan Yakub dengan ibunya, Ribka, untuk menipu Ishak, ayahnya yang sudah rabun, untuk mencuri hak sulung Esau (Kejadian 27)—Alkitab memperlihatkan betapa bobroknya manusia, sehingga sulit bagi kita untuk mengasihi orang-orang terdekat!

Namun, kita tidak boleh putus asa. Karena walaupun firman mengungkapkan dengan sangat eksplisit kebobrokan kita, Tuhan dapat menebus kesalahan-kesalahan kita dan tetap bekerja melalui orang-orang yang tidak sempurna. Oleh salib Kristus, Tuhan telah “mempersatukan kedua pihak…merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan, [agar kita dapat menjadi] kawan sewarga…dan anggota-anggota keluarga Allah,” (Efesus 2:14-19). Tuhan sendiri yang datang sebagai Penengah, Pelerai, Pendamai, agar kita dapat dipersatukan dalam keluarga-Nya.

Ketidakadilan Yang Dialami Yesus, Penjagaku

Tetapi apakah kita sepenuhnya menyadari harga yang dibayar oleh Yesus di kayu salib? Firman mengatakan bahwa Ia adalah yang sulung, yang pertama (Kolose 1:18). Satu-satunya Anak Allah (Yohanes 3:16) yang datang ke dunia, dan rela memberikan diri-Nya bagi umat manusia yang tidak mengenal, maupun menerima-Nya (Yohanes 1:9-10). Ia mengalami ketidakadilan yang terbesar, karena Yesus adalah satu-satunya yang tidak berdosa, namun menanggung segala penderitaan dan upah dosa setiap manusia (2 Korintus 5:21). Dan karena kasih dan pengorbanan-Nya, kita sekarang dapat dipanggil sebagai anak-anak Allah (Galatia 4:7).

Betapa besar kasih-Nya! Dan betapa berbeda dengan postur seorang Kain, ataupun diriku sendiri. Yesus sebagai Anak Tunggal meletakkan hak-hak-Nya, dan memberikannya kepada aku, kepada engkau. Maukah kita sekarang mengikuti-Nya? Maukah kita belajar untuk meletakkan hak-hak kita, ke-aku-an yang begitu besar, dan berseru seperti seorang Paulus? “Aku telah disalib bersama Kristus, bukanlah aku lagi yang hidup, tetapi Kristus yang hidup dalam aku,” (Galatia 2:20).

“Alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun!” (Mazmur 133:1).

 

Artikel ini pernah tayang di situs WarungSaTeKaMu di sini