Berapa kali kita merasa patah semangat ketika mencoba berkomunikasi dengan anak-anak remaja kita? Berapa sering mereka langsung menutup diri karena merasa kita mendesak mereka, padahal yang ingin kita lakukan hanya menolong? Berapa kali mereka dengan kesal berkata, “Mama cerewet!” dan membuat kita bertanya-tanya apa yang salah?

Komunikasi itu tidak mudah, apalagi komunikasi antara orangtua dan remaja. Jika disebut gampang ya sulit, tapi disebut sulit ya tidak juga. Mengapa? Karena ketika menciptakan manusia, Allah sesungguhnya menjadikan manusia makhluk yang berelasi. Oleh karena itu, Allah juga sudah memperlengkapi manusia dengan kemampuan untuk berkomunikasi.

Sayangnya, sewaktu akan berkomunikasi, meski sudah diniatkan sedemikian rupa, tidak jarang komunikasi kita malah berantakan karena tidak nyambung. Dalam konteks relasi orangtua dan anak, ini terutama sering terjadi dalam relasi orangtua dengan anak remaja, yaitu ketika kita mencoba untuk berbicara dan mendengarkan anak-anak kita meski saat itu mereka menolak untuk berbicara dan mendengarkan kita.

Mengapa sering terjadi konsleting dalam komunikasi ortu dan anak remaja?

Harus kita akui bahwa sebagai orangtua, tak jarang kita terlalu banyak berbicara kepada anak. Bukannya mencoba mendengarkan anak lebih dulu, kita sering terlalu lekas menasihati, mengomeli, bahkan menceramahi anak, dengan alasan demi kebaikan mereka. Padahal yang sesungguhnya terjadi adalah kita sebagai orangtua tidak mau bersabar sebentar untuk memahami anak. Kita ngotot berdasarkan sudut pandang dan pengertian sendiri tanpa memperhitungkan kondisi anak pada saat itu.

Orangtua perlu selalu mengingatkan diri bahwa kita berbeda dengan anak-anak. Ada perbedaan usia yang cukup besar di antara kita dan anak, dan karenanya juga perbedaan generasi. Generation gap ini dapat menciptakan sudut pandang yang berbeda antara anak dan orangtua. Akibatnya, berelasi, berinteraksi, dan berkomunikasi dengan mereka pun tidak mudah.

Apa kata Alkitab mengenai cara berkomunikasi yang baik?

Allah melalui Rasul Yakobus memberikan pernyataan yang bijak perihal berkomunikasi: “Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah” (Yakobus 1:19). Dalam ayat ini terkandung satu perintah yaitu hendaknya kita cepat untuk mendengar, dan dua larangan yakni agar kita lambat berkata-kata dan lambat untuk marah.

Atau dengan kata lain: satu positif dan dua negatif. Ini sama halnya dengan Tuhan yang memberi kita dua mata, dua telinga, dan satu mulut untuk berbicara. Kita diminta untuk memperhatikan dan mendengarkan dulu dengan saksama, kemudian barulah memberi respons dengan mulut kita.

Mendengarkan ChineseDalam aksara Chinese, kata “mendengar” memiliki beberapa unsur. Ada telinga, sepuluh, mata, perhatian yang terpusat, hati, dan raja. Jika dijabarkan, mendengarkan itu bukan hanya dengan memasang telinga. Jika kita memiliki sepuluh mata, maka kita perlu menggunakan kesepuluh mata kita untuk memfokuskan perhatian sambil mendengarkan bukan hanya dengan telinga dan mata, tetapi juga dengan hati. Dengan kata lain, kita menempatkan orang yang kita dengarkan itu sebagai raja. Pada saat seorang raja berkata-kata, kita akan menyimak dan mendengarkan dengan sepenuh hati.

Mendengarkan EnglishDalam bahasa Inggris, jika kita menyusun ulang huruf-huruf yang membentuk kata “listen” yang artinya mendengarkan, maka kita akan menemukan kata “silent” yang artinya diam. Ini mengingatkan kita bahwa ketika mendengarkan, kita perlu diam dan menyimak orang yang kita dengarkan tersebut.

Mendengarkan apa yang tidak dikatakan.

“Listen” (mendengarkan) dan “hear” (mendengar) itu adalah dua hal yang berbeda. Mendengar dapat dilakukan secara sambil lalu atau dengan tidak sengaja. Misalnya, mendengar suara mobil, suara piring jatuh, dan sebagainya.

Sebaliknya, mendengarkan hanya dapat dilakukan jika kita mengupayakannya. Sebuah ungkapan berbunyi demikian: “Listen and silent are two words with the same letters that are both important for relationships because only true friends listen to you when you are silent” yang dapat diartikan demikian: “Listen (mendengarkan)” dan “silent (diam)” tersusun dari huruf-huruf yang sama. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa “mendengarkan” dan “diam” sama-sama penting bagi relasi, karena hanya teman sejati yang mendengarkanmu saat engkau diam.

Saat kita mendengarkan, tentu kita perlu diam dan tidak berbicara. Namun, ungkapan ini mengajak kita maju selangkah lagi dalam hal mendengarkan orang lain. Yaitu mendengarkan layaknya seorang teman sejati, yang dapat mendengarkan dan menangkap apa yang tidak diucapkan temannya. Seorang teman sejati dapat mendengar melalui apa yang ia lihat. Ia juga dapat mendengar melalui apa yang dirasakan. Dan mendengar melalui apa yang ia pahami.

Hal ini berarti, mendengarkan bukan hanya sekadar menangkap bunyi yang masuk ke telinga, melainkan menyimak dan memperhatikan bahkan yang tidak terucapkan sekalipun. Kita dapat belajar untuk mendengarkan dengan melihat sikap, bahasa tubuh, bahkan raut wajah teman kita.

Seorang bijaksana pernah mengatakan ungkapan ini: “When you talk you are only repeating what you already know. But if you listen, you may learn something new” yang artinya, jika kita berbicara, kita hanya mengulangi apa yang telah kita ketahui. Namun, jika kita mendengarkan, di situlah kita akan belajar sesuatu yang baru yang mungkin belum pernah kita ketahui sebelumnya.

Apa yang terjadi ketika komunikasi tidak berjalan dengan baik?

Di atas kita telah membahas bagaimana Allah yang menciptakan kita sebagai makhluk berelasi telah memperlengkapi kita dengan kemampuan berkomunikasi. Alkitab bahkan sudah mengajar kita mengenai hikmat dalam berkomunikasi.

Lalu mengapa kita masih sering kesulitan dalam berkomunikasi? Ini karena masalah terbesarnya terletak pada sikap kita yang keliru. Kita tidak mendengar untuk memahami, melainkan mendengar untuk apa yang ingin kita jawab. Seperti dikatakan dalam Amsal 18:13, “Jikalau seseorang memberi jawab sebelum mendengar itulah kebodohan dan kecelaannya.”

Khususnya dalam hal berkomunikasi dengan remaja, orangtua sering kali merasa sudah tahu atau sok tahu. Ketika anak ingin membicarakan sesuatu, kita sudah merasa tahu lebih dulu bahwa ujungnya pasti ini atau itu. Oleh karena itu, sebelum anak selesai berbicara, kita sudah berkomentar bahkan memberi nasihat. Anak baru mengatakan satu kalimat, kita sudah membalasnya sepuluh kalimat. Itulah yang dimaksudkan sebagai kebodohan dan kecelaannya.

Pertanyaannya, bersediakah kita mendengarkan perkataan anak dari awal sampai akhir, dengan sabar menyimak apa yang menjadi maksud anak kita? Mungkin saja kali ini berbeda dengan yang kemarin anak sampaikan. Dan kita dapat menangkapnya dari air muka dan nada bicara anak kita.

Misalkan kita sedang menjemput anak sepulang sekolah. Anak kita masuk ke mobil dengan wajah cemberut. Lalu kita bertanya, “Ada apa, kok wajah kamu cemberut?” Si anak bilang, “Nggak! Nggak ada apa-apa.” Nah, bagaimana reaksi kita sebagai orangtua?

Sering kali orangtua malah berkata, “Nggak ada apa-apa? Mama dari tadi udah nungguin kamu sekian lama, seharusnya Mama yang cemberut dong bukan kamu!”

Ketika anak cemberut, bukannya mencoba memahami bahwa pasti anak sedang punya masalah, orangtua malah mengomeli anak. Padahal anak sangat mungkin punya masalah lho. Entahkah dengan teman, guru, nilai yang jelek, merasa gagal, bahkan mungkin dirisak.

Apa pun itu, anak kita sedang punya masalah. Nah, sebelum ia siap menceritakan masalahnya, mengapa kita tidak memberinya waktu sampai ia siap untuk bercerita kepada kita? Jika kita mau bersabar, nanti anak akan bercerita sendiri.

Nah, sambil menunggu anak siap, kita sebagai orangtua bisa menghibur dan menunjukkan support kita dengan mengatakan hal-hal seperti, “Yuk kita minum es krim dulu,” atau “Yuk kita beli kue kesukaanmu dulu.” Berusahalah untuk mencairkan suasana dan memberi sinyal bahwa kita mengerti ia belum ingin bicara sekarang, dan itu tidak apa-apa. Dengan orangtua mencoba memahami situasi anak, itu juga merupakan salah satu upaya untuk mendengarkan.

Mendengarkan bukanlah menilai atau memutuskan untuk menyelesaikan sesuatu.

Biarkan anak berbicara dan kita mendengarkan, bukan untuk memutuskan melainkan untuk melengkapi pembicaraan tersebut agar jadi lebih sempurna. Kita dapat menggunakan metode parafrasa. Misalnya anak berkata, “Nggak ada apa-apa,” kita dapat mengulangi perkataannya, “Oh nggak ada apa-apa.” Titik. Kita tidak perlu melanjutkan dengan bertanya “Kenapa?” Tunggu dan biarkan sampai anak meneruskan penjelasannya. “Iya itu sih… ya biasalah.” Kita boleh melanjutkan, “Oh biasa… biasa yang mana?” Intinya, kita tinggal melanjutkan saja kalimat demi kalimat yang dilontarkan anak sampai akhirnya apa yang ingin anak utarakan dapat mengalir keluar.

Mendengarkan adalah keterampilan aktif, bukan pasif.

Mendengarkan bukan keterampilan yang pasif. Bukan pula hanya sekadar menyediakan telinga. Sebaliknya, mendengarkan adalah keterampilan yang aktif. Seni mendengarkan adalah seni yang aktif, proaktif. Sewaktu mendengarkan, kita memasang mimik wajah yang antusias dan dengan sabar tidak memaksa anak untuk malah mendengarkan kita.

Orangtua perlu belajar untuk menahan diri dari mengulang-ulang ucapan yang sama, supaya anak dapat menghargai perkataan kita dan bukannya menutup telinga karena hanya menganggap kita cerewet. Percayalah bahwa anak tahu apa yang kita katakan kepada mereka, dan karenanya kita tidak perlu mengulang-ulang dan malah membuat mereka menolak mendengarkan.

Kiranya sebagai orangtua kita dapat mengingat, bahwa inti dari mendengarkan adalah mendengarkan dengan hati. Tangkap apa yang tidak diucapkan oleh anak, gunakan pengenalan kita terhadap karakter anak untuk membaca perasaannya, dan berkomunikasilah dengan anak dengan mengandalkan hikmat yang kita dapatkan dari firman Tuhan.

Anda diberkati dengan materi ini?
Pastikan Anda tidak ketinggalan membaca tulisan-tulisan terbaru kami lainnya.

Klik untuk SUBSCRIBE