Donna menunduk. Putranya, Markus, 9 tahun, tidak teliti sewaktu mengerjakan ujian bahasa Inggris. Akibatnya, nilainya cuma B, padahal seharusnya ia bisa mendapat nilai A. Donna cemas, tetapi ia teringat perkataan Rasul Paulus dalam Roma 12:2. “Aku tidak ingin menjadi serupa dengan dunia ini. Aku ingin diubahkan oleh pembaharuan budiku,” Donna menemukan dirinya berdoa dengan lantang. “Aku tidak ingin bereaksi berlebihan. Namun, Tuhan, masakan kubiarkan saja Markus bersikap ceroboh? Bukankah hal itu bisa mendorong dia membangun sikap belajar yang buruk? Ya Tuhan, apa sebaiknya yang harus kulakukan?”

Apa artinya memandang Allah sebagai Tuhan atas persaingan akademis? Apakah itu berarti kita hanya mendoakan anak-anak kita tanpa perlu menegur mereka? Hikmat alkitabiah mengatakan yang sebaliknya. Ada tiga cara yang dapat kita pakai untuk menolong putra-putri kita meletakkan Allah di pusat persaingan akademis.

Artinya adalah belajar untuk Allah

Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. (Kolose 3:23)

Sekarang ini, tugas utama anak-anak kita adalah menjadi murid. Dengan demikian, kita dapat mendorong mereka dengan menunjukkan bahwa mereka memiliki tujuan belajar yang jauh lebih berarti daripada sekadar meraih nilai terbaik. Firman Tuhan berbicara seperti ini kepada mereka: mereka belajar untuk Tuhan.

Perhatikan: ini artinya anak-anak tidak belajar untuk kita, untuk mencapai ekspektasi orangtua. Mereka juga tidak belajar untuk diri mereka, demi kebanggaan diri sendiri. Sebaliknya, tujuan utama mereka belajar adalah untuk memuliakan Allah.

Jika anak-anak kita berprestasi di sekolah, kita mungkin tergoda untuk memuji diri sendiri atau memuji kemampuan anak-anak kita. Padahal Allah-lah yang berhak mendapatkan kemuliaan itu. Bagaimanapun, Allah-lah yang menciptakan anak-anak kita, dan memberikan kemampuan mereka. Sebaliknya jika anak-anak kesulitan mengikuti pelajaran, Pribadi pertama yang seharusnya kita hampiri—bersama anak-anak kita—adalah Allah, sumber kekuatan dan hikmat kita.

Anak-anak kita tidak boleh dinilai dari nilai-nilai mereka. Sebaliknya, mereka harus didefinisikan oleh Allah, Allah yang penuh kasih dan personal yang menciptakan setiap mereka secara unik, dan yang memiliki rencana bagi semua anak-Nya, tak peduli berapa nilai ujian mereka. Mengingat hal ini akan membantu kita menjaga perspektif kita ketika nilai ujian anak-anak tidak sesuai dengan harapan kita.

Refleksi

  1. Bagaimana saya dapat mendorong anak-anak saya untuk tidak belajar demi saya atau demi kebanggaan sendiri, melainkan demi tujuan yang lebih besar—untuk memuliakan Allah?
  2. Bagaimana saya dapat menolong anak-anak saya agar mereka tidak menilai diri mereka berdasarkan nilai ujian, dan sebagai gantinya percaya pada identitas mereka di dalam Allah?

Artinya bekerja keras

Kita dapat mendorong anak-anak kita untuk belajar “dengan segenap hati [mereka]” (Kolose 3:23). Ini artinya dengan rajin. Seperti dikatakan dalam Amsal 13:4:

Hati si pemalas penuh keinginan, tetapi sia-sia, sedangkan hati orang rajin diberi kelimpahan.

Alkitab tidak memerintahkan agar anak-anak kita mencetak nilai-nilai tertinggi, melainkan menasihati mereka agar rajin dan melakukan yang terbaik. Mendorong anak-anak untuk belajar dengan rajin tidak berlawanan dengan keinginan kita untuk meletakkan Allah di pusat persaingan akademis. Sebenarnya, Tuhan senang jika anak-anak kita bertanggung jawab atas pelajaran mereka.

Dengan kata lain, tujuan kita sebagai orangtua adalah untuk mendorong anak-anak kita melakukan yang terbaik, bukannya menjadi yang terbaik. Jika mereka melakukan yang terbaik, kita harus bangga pada mereka meski mereka tidak mendapat ranking pertama di kelas.

Refleksi

  1. Apakah saya memuji anak-anak saya hanya ketika mereka berprestasi di sekolah? Bagaimana saya dapat mengingatkan diri saya untuk memuji mereka karena telah melakukan yang terbaik?
  2. Bagaimana saya dapat mendorong anak-anak saya agar rajin menuntut ilmu?

Artinya memercayakan masa depan anak-anak kita ke tangan Allah

Dengan memandang Allah sebagai Tuhan atas persaingan akademis artinya kita dapat memercayakan masa depan putra-putri kita kepada-Nya.

Setiap kali kita cemas dengan nilai-nilai pelajaran anak-anak kita, sekolah mereka di masa depan, atau apakah kita sudah cukup menolong mereka—Alkitab mengarahkan kita kembali kepada Allah. Firman Tuhan meyakinkan kita bahwa Dia-lah tempat paling aman bagi kita dan anak-anak kita:

Dalam takut akan TUHAN ada ketenteraman yang besar, bahkan ada perlindungan bagi anak-anak-Nya. (Amsal 14:26) Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus. (Filipus 4:6-7)

Kita dapat mengenyahkan perasaan cemas dan tetap tenang saat menghadapi stres karena Allah adalah tempat perlindungan kita. Kita dapat menyerahkan segala sesuatu dalam doa, percaya bahwa Dia yang menjamin masa depan kita yang kekal di dalam Kristus Yesus lebih dari mampu untuk melindungi kehidupan kita di atas bumi, dan masa depan anak-anak kita.

Mudah bagi kita untuk menjadi cemas ketika mengobrol dengan teman-teman dan mendengar anak siapa yang masuk sekolah elite, atau kelas privat manakah yang terbaik. Perasaan cemas akan terbit dalam hati meski kita mencoba sebisa mungkin untuk memeranginya. Lalu tahu-tahu rasa percaya kita terhadap Allah menguap sepenuhnya. Itulah sebabnya seruan untuk “berubahlah oleh pembaharuan budimu” (Roma 12:2) merupakan proses yang berlangsung setiap hari. Ketika kita diserang rasa panik, ketika cemas menerpa, kita dapat berlari kepada-Nya dan mengingat bagaimana kita telah dipanggil untuk takut akan Tuhan lebih daripada rasa takut kita akan dunia ini.

Takut akan Tuhan artinya kita mengakui ketuhanan-Nya atas hidup kita dan anak-anak kita. Ini berarti mengakui bahwa kita tidak dapat merekayasa masa depan anak-anak kita dengan sempurna. Ini berarti menyerahkan perasaan tidak aman kita sendiri dan percaya kepada-Nya.

Pada akhirnya, Tuhan-lah yang membimbing masing-masing kita. Kita tidak memiliki pengetahuan yang sempurna, kekuatan yang sempurna, ataupun kendali yang sempurna. Namun, Dia memilikinya. Allah tidak akan pernah melepaskan anak-anak-Nya. Dia adalah pertolongan dan perisai bagi mereka yang takut akan Dia dan percaya kepada-Nya. Kita dapat dengan penuh doa menyerahkan perjalanan akademis anak-anak kita kepada-Nya, tahu Dia mengasihi mereka jauh melebihi yang dapat kita lakukan.

Refleksi

  1. Seberapa besar saya memercayai Allah dengan perjalanan akademis anak-anak saya? Apa yang dapat saya lakukan untuk menumbuhkan rasa percaya ini?
  2. Bagaimana saya dapat terus takut akan Allah sementara saya merencanakan waktu dan sumber daya anak-anak saya?

 

Artikel ini diadaptasi dari buku “HELP, I’M STRESSED ABOUT MY CHILD’S EDUCATION”, oleh Ruth Wan-Lau, © 2019 Our Daily Bread Ministries.