Alex melirik. Di dekat kakinya, setengah melongok keluar dari tas teman yang duduk di seberang, tergeletak terbuka: buku pelajaran Sejarah. Melihat ilustrasi pada halaman kiri, ia tahu jawaban soal ulangan nomor 3 tertulis tepat di bawahnya.

Ada dua pilihan yang bisa Alex ambil: berpura-pura bolpoinnya jatuh lalu melirik jawaban di buku itu, atau… tidak melakukan apa-apa.

Dari depan kelas, Pak Guru sudah sejak tadi mengawasi. Ia dapat membaca dengan jelas jalan pikiran Alex. Awalnya ia juga sempat mencurigai si pemilik tas, tetapi tampaknya si anak sama sekali tidak menyadari, buku pelajarannya sedang menjadi kunci pertarungan dua batin.

Ada dua pilihan yang bisa Pak Guru ambil: menendang buku itu hingga tertutup untuk menolong memperingatkan si murid yang jelas-jelas tengah bergumul, atau… tidak melakukan apa-apa.

Detik demi detik merayap, dua batin bertarung dalam senyap. Pak Guru memilih tidak melakukan apa-apa, dan Alex memilih menjatuhkan bolpoin. Keduanya sama sekali tidak tahu, ada lima pasang mata lain yang diam-diam memperhatikan.

Kejadiannya sangat cepat. Pak Guru bertindak di saat yang tepat, dan tahu-tahu Alex sudah digiring ke kantor Kepsek. Di sekolah lain, ada beberapa versi nasib yang mungkin menanti murid seperti Alex. Ia bisa diskors, diberi nilai nol, atau paling berat mungkin tinggal kelas. Namun di sekolah ini, sejak awal semua pihak telah sepakat, bahwa vonis hukuman untuk murid yang mencontek hanya satu: dikeluarkan dari sekolah.

***

Alex langsung menjadi trending topic di grup WA orangtua murid. Ibunya terpukul dan meninggalkan grup, sementara yang lain menganggap itu sebagai kode untuk berlomba-lomba mengomentari dan menilai insiden tersebut, seolah-olah mereka hadir dan menyaksikan sendiri semua itu.

Awalnya Karina membaca pesan-pesan itu dengan acuh tak acuh. Namun jantungnya serta-merta berderap saat trending topic tahu-tahu banting setir ke Benaya, putranya. Pesan demi pesan bermunculan. “Benaya menggerakkan anak-anak untuk membela Alex.” “Menurut saya sih anak-anak tidak usah ikut-ikutan, bisa-bisa mereka kena sanksi juga.” “Alex sudah jelas mencontek, apa lagi yang mau dibela?” “Ortu Benaya itu yang mana sih? Tolong didik anaknya!” Dan masih banyak lagi pesan serupa yang bikin nyali Karina ciut. Memang ada satu-dua pesan yang nadanya membela, tapi suara mereka begitu pelan hingga langsung tenggelam ditelan gelombang pesan bernada menyudutkan. Apa yang dilakukan putranya, sehingga orang-orangtua ini bereaksi demikian rupa?

Pak Guru tidak melakukan bagiannya. Ia memilih tidak menjalankan fungsinya sebagai pendidik, padahal ia bisa menegur dan mencegah Alex dari mencontek.

Seperti remaja seusianya, Benaya bercerita dengan berapi-api. Ia menyimpulkan, ada yang sangat mengusik tentang kejadian itu: Pak Guru tidak melakukan bagiannya. Ia memilih tidak menjalankan fungsinya sebagai pendidik, padahal ia bisa menegur dan mencegah Alex dari mencontek.

“Kami tahu Alex bersalah dan harus dihukum, tapi… dia juga sudah diperlakukan dengan tidak adil, Ma,” ucap Benaya tegas.

Karina terus menggali pikiran putranya. Namun meski ia akhirnya paham bahwa pergumulan yang membebani hati Benaya layak diperjuangkan, sebagai ibu, ia mencemaskan banyak hal buruk yang mungkin terjadi. Ini masalah sensitif, salah sedikit saja, ujung-ujungnya malah bisa merugikan putranya. Apalagi dari reaksi para orangtua di grup, Karina tak yakin anak-anak lain bakal diizinkan ikut terlibat.

Dan diam-diam, ia juga sebenarnya keberatan Benaya terlibat. Maka dengan halus ia mencoba membujuk putranya. Ia memaparkan risiko-risikonya, kemungkinan kegagalannya, hingga akhirnya benar-benar mengatakan “tidak boleh”.

Namun Benaya tetap pada pendiriannya. “Pokoknya besok aku menghadap Kepsek. Titik.” Dan percakapan mereka pun berakhir dengan sengit.

“Masalahnya, risikonya terlalu besar, mereka cuma anak-anak yang menyampaikan sesuatu yang menurutku sangat sensitif. Apa iya sekolah mau mendengarkan teguran anak-anak SMP terhadap salah satu pendidiknya?” ucap Karina kepada suaminya malam itu. “Bagaimana kalau mereka gagal?”

“Tapi bagaimana kalau mereka berhasil?” balas suaminya. “Menurutku, serahkan hasilnya kepada Tuhan, karena itu di luar kuasa kita. Anak kita sedang memperjuangkan sesuatu yang benar, menurutku, jadi yang bisa kita lakukan adalah melakukan bagian kita dengan mendampinginya. Kalau sebagai orangtua, karena kekhawatiran ini-itu kita malah membujuk dan melarang Ben dari melakukan bagiannya, kita tidak ada bedanya dengan Pak Guru dong. Sama-sama menyesatkan anak-anak. Dan itu mengerikan!”

“Tapi…” Karina tidak melanjutkan perkataannya, ucapan suaminya mengingatkannya kepada ayat dalam Kitab Amsal, “Lebih baik teguran yang nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi (Amsal 27:5). Meski begitu, hatinya masygul. Ia tahu yang dilakukan putra mereka benar, tapi tetap saja kekhawatiran membuatnya gentar.

“Rin. Aku sama cemasnya dengan kamu, dan kurasa semua orangtua juga akan begitu. Tapi kamu sendiri dulu yang bilang, ‘Keindahan sesungguhnya dari menjadi orangtua adalah mendidik anak-anak yang takut akan Tuhan. Anak-anak yang tidak hanyut terbawa arus zaman, yang tidak gentar menghadapi tantangan kehidupan, dan selalu bersedia menolong mereka yang membutuhkan.’ Nah, kurasa kita sudah mendidik Ben dengan baik, dan inilah salah satu hasilnya.”

Karina terdiam, sama sekali tidak menyangka suaminya masih ingat ucapannya itu. Padahal itu sudah lama sekali berlalu. Dan kini ia jadi teringat potongan artikel yang dibacanya sebelum mengucapkan perkataan itu. “Nyatanya, segala upaya kita sebagai orangtua tidak dapat menjamin keselamatan atau keberhasilan anak-anak kita. Allah-lah yang mengontrol hasilnya. Tugas kita adalah bekerja sama sebaik mungkin untuk mendidik anak-anak kita, dengan mengandalkan kekuatan Allah, dan memercayakan hasilnya kepada-Nya. Jadi, didiklah anak Anda dengan baik, tetapi ‘Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu’” (Amsal 3:5-6).

Malam itu mereka secara khusus mendoakan Benaya yang menolak keluar dari kamar untuk doa malam bersama. Sepertinya ia masih marah kepada ibunya, meski tadi ayahnya sudah memberitahu keputusan mereka.

Ketika malam semakin larut, pesan-pesan di grup WA orangtua murid tiba pada keputusan bulat akan melarang anak masing-masing melaksanakan niat mereka besok. Dan meski bisa memahaminya, Karina mengkhawatirkan putranya.

Benaya akhirnya muncul dengan wajah muram, dan Karina langsung menebak apa yang terjadi: teman-teman yang semula sepakat untuk menghadap Kepsek besok, akhirnya memutuskan mundur. Sorot mata Benaya membuat hati Karina kelu. Tidak ada lagi semangat berapi-api yang tadi sore menantangnya. Ingin rasanya Karina memeluknya seperti waktu Benaya masih kecil dulu. Tapi ada pelukan-pelukan yang perlu menunggu. Dan ini salah satunya. “Ada apa, Nak?” tanyanya.

Benaya menjelaskan semuanya dengan lesu, lalu berkata, “Mama benar, ini bisa berbalik membahayakan kami sendiri. Teman-temanku juga bilang begitu. Ortu mereka juga bilang begitu.”

Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban” (2 Timotius 1:6-7).

Lama Karina terdiam. Batinnya bertarung, namun hatinya mengingatkannya kembali pada doa yang diucapkan suaminya tadi. “Ingatkan kami bahwa tugas kami sebagai orangtua adalah mengobarkan karunia Allah yang ada pada [kami]… Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban” (2 Timotius 1:6-7).

Meski tetap khawatir, Karina tahu suaminya benar: putra mereka sedang memperjuangkan sebuah kebenaran, dan tugas mereka adalah mendampingi, bukan menghalangi. Ia menghela napas dalam-dalam lalu berkata, “Sebetulnya Mama salah, Nak. Kamu yang benar, karena tidak takut untuk mencoba mengoreksi sebuah kesalahan, meski harus berhadapan dengan guru dan kepala sekolah. Maafkan Mama karena tadi mencoba melarang kamu ya, Nak.

“Namun memperjuangkan kebenaran itu menuntut keberanian. Dan pengorbanan. Kadang-kadang kamu jadi dibenci, atau malah ditinggalkan. Semua risiko yang tadi Mama khawatirkan, itu bisa terjadi. Tapi semua itu sangat layak dilakukan, karena dengan membela kebenaran kita dapat menyenangkan hati Tuhan. Ya kan?

“Tentu, kalau kamu mau mundur seperti teman-temanmu, itu sangat dimaklumi. Tapi kalau kamu ingin tetap maju besok, Mama dan Papa akan mendampingi dan mendukung kamu, Ben. Kita akan menghadapi ini sebagai satu kelu…” Namun Karina tidak pernah sempat menyelesaikan kalimatnya, karena tiba-tiba saja, Benaya telah masuk ke pelukannya.

Malam itu sekali lagi mereka berdoa bersama. Mereka pertama-tama mendoakan Alex dan keluarganya, lalu memohon pimpinan dan penyertaan Tuhan bagi Ben besok. Mereka juga memohon agar Bapa memberi hikmat bagi pihak sekolah supaya bijak dalam menyikapi hal ini. Dan tentu tidak lupa juga, mereka mendoakan Pak Guru.