(Sebuah Cerita Pendek)

Malam perlahan menua. Tempat itu berbayang-bayang, pohon Natal besar di sudut tampak gelap. Tidak ada kelap-kelip lampu yang memantul pada permukaan bola-bola hiasannya. Ada kotak tak jauh dari sana. Aku mengambil sebatang lilin putih dari dalamnya, menyalakannya, menancapkannya di paku di depanku. Semua kulakukan nyaris tanpa sadar.

Entah apa yang kulakukan di situ, aku tidak benar-benar tahu. Aku hanya ingin menyepi, melarikan diri, menjauh dari kenyataan yang mengingatkanku pada getirnya pengkhianatan, menangisi cinta yang telah lama tak dapat lagi kunamai, namun tak kunjung sanggup kumatikan.

Sekilas aku mengedarkan pandang. Tempat apa ini? Entahlah, aku tadi asal masuk. Gereja? Mungkin. Rasanya asing, namun menenangkan. Tidak ada suara, hanya retih sumbu-sumbu lilin yang berbisik-bisik, seolah berbagi rahasia paling kelam, rahasia luka hati yang ingin dikubur dalam-dalam, dibungkam, dilupakan. Rahasia-rahasia yang membelenggu dan menggerogoti kehidupan.

Aku duduk di bangku kayu paling depan, menunggu entah apa. Menanti, membiarkan waktu berlalu, mengawasi pertempuran hebat di dalam hatiku, yang ingar-bingar dan tak kunjung berakhir. Kali ini aku benar-benar tidak tahu apa yang diperdebatkan di dalam sana. Terlalu ribut, kelewat rumit, suara dan peristiwa dan ingatan mengaburkan segalanya.

Ah, apa sebenarnya yang diperdebatkan di balik kepulan kemarahan dan segala emosi yang diseret bangun ini? Tiga tahun bukan waktu yang singkat, dan aku penat berputar-putar di tempat.

“Lilin yang mana?”

Aku terkejut mendengar suara yang parau itu. Sangkaku, aku sendirian saja di tempat ini. Rupanya aku keliru. Pemilik suara itu duduk di ujung barisanku, bayang-bayang yang dipancarkan lidah-lidah lilin menari-nari di wajahnya, menyibakkan separuh kegelapan dari sana. Laki-laki itu sedikit kurus, wajahnya yang tirus menyiratkan kelembutan. Aku memandangnya penuh tanya.

“Lilin yang kamu nyalakan tadi?” ia menegaskan pertanyaannya.

“Itu.” Aku menunjuk, lalu … tertegun. Lilinku telah nyaris padam, sumbunya tenggelam dalam kubangannya sendiri. Bukankah aku baru saja menyalakannya tadi?

“Sedang bergumul untuk siapa? Suamimu?”

“Tidak, aku tidak sedang menggumuli siapa-siapa,” ucapku dingin, namun di dalamku emosi-emosi kembali menderas. Tak peduli tempat ini begitu senyap. Tak peduli suara laki-laki itu begitu tenang.

Ia tidak menimpali dan kami sama-sama terdiam, seperti asyik memperhatikan tarian lilin.

“Ironis, bukan?” ia akhirnya membuka suara.

“Maksud Bapak?”

“Lilinmu. Sebentar lagi mati karena kubangannya sendiri.” Ia mengedikkan kepala ke arah lilin.

Aku terdiam, dalam hati mengiyakan ucapannya. Kembali kami membiarkan kesunyian membungkus, mata kami dipenuhi pantulan daun-daun api dari lilin-lilin di depan kami.

“Apa yang menjadi kubanganmu?” ia kembali bertanya.

Aku memandangnya tidak mengerti. “Maksud Bapak?”

“Kubangan di dalam sana, kubangan mematikan itu. Sepertinya perang di dalam sana dahsyat sekali,” ujarnya seraya menunjuk dadaku.

“Bapak bisa mendengarnya?”

Pria itu tersenyum. “Terasa sampai ke sini.” Ia terdiam. “Perang yang berkepanjangan selalu melelahkan, bukan? Sejak kapan seperti itu?”

Aku mengangkat bahu. Aku tidak ingin mengatakan apa-apa kepada lelaki ini. Aku yakin ia tidak berbeda dengan semua orang lainnya yang terus menudingku. Mengatakan aku mau saja dibodoh-bodohi. Lemah. Terlalu polos. Ah… mungkinkah mereka benar?

“Ayo, berceritalah. Aku tidak akan menilai, apalagi menghakimimu. Lagi pula, aku sering jadi tempat curhat orang-orang yang datang kemari. Itu juga salah satu alasanku ada di sini,” ucapnya. Ada sesuatu dalam suaranya yang membuat hatiku tergerak.

“Sebenarnya ceritaku tidak istimewa, suamiku berselingkuh tiga tahun yang lalu. Klise, bukan? Aku mengira kami bahagia, tapi …” aku mengangkat bahu. Sampai titik ini pun aku tidak pernah tahu alasan suamiku berkhianat. Dan mungkin sampai kapan pun ia tidak akan pernah memberitahuku. “Dia keluar dari rumah. Begitu saja. Meninggalkan aku dan anak-anak. Lenyap seperti ditelan bumi. Walaupun tidak mudah, tapi akhirnya aku bisa bangkit juga. Tersaruk-saruk, kerja serabutan, yang penting anak-anak bisa makan dan sekolah. Siang aku baik-baik saja, Pak, tapi … malam-malamku sangat menyiksa, sebab aku selalu kembali sendirian bersama rasa marah. Kecewa. Aku berdoa, tapi untuk waktu lama, tidak ada yang terjadi, seolah-olah bukan cuma suamiku yang pergi, Tuhan juga meninggalkanku,” ucapku. “Sampai akhirnya … suatu hari, aku tersadar beban itu telah diangkat dan aku bisa bernapas lagi, bisa hidup seperti orang-orang lain lagi. Move on, begitu mungkin istilahnya…” Suaraku bergetar, aku tidak melanjutkan kalimatku. Aku menghela napas dalam-dalam, emosi-emosi membadai dalam hatiku.

Laki-laki itu tidak mengatakan apa-apa, hanya menunggu dengan sabar.

“Lalu tadi aku ditelepon dan diminta datang ke rumah sakit. Dia kecelakaan. Perdarahan di dalam, harus segera dioperasi. Kalau tidak, akibatnya fatal. Karena statusku masih istri, aku diperlukan untuk menandatangani informed consent, menyatakan setuju dengan tindakan medis yang akan diambil.” Pikiranku melayang kembali ke siang tadi, ke ruangan itu, ke wajah perempuan yang telah merampas kebahagiaan rumah tangga kami. Dan ke laki-laki yang dulu pernah berjanji akan setia mencintaiku hingga maut memisahkan kami.

Begitu saja, air mataku pun jatuh tanpa dapat kucegah.

“Kamu menandatanganinya?”

Aku berdeham. “Aku … sebenarnya tidak ingin. Kalau mau jujur, aku … tidak ingin dia pulih. Aku ingin menghukum pengkhianatannya. Menganggap ini hukuman yang setimpal karena dia sudah menyakitiku. Anak-anak. Keluargaku …” tenggorokanku perih diiris air mata. Aku tak kuasa melanjutkan kata-kataku.

Lama kami terdiam, seperti dua kesunyian di antara retihan lilin-lilin dalam selimut kegelapan.

“Pastinya banyak yang dapat memahami kemarahanmu itu,” akhirnya ia angkat bicara.

“Ya. Sepertinya marah memang jawaban yang tepat untuk masalah ini, ya kan? Semua orang pasti mengerti kalau aku marah. Maklum, malah. Mereka bisa menerimanya. Seluruh keluargaku juga menganggapnya begitu. Aku berhak marah. Berhak menghukumnya. Berhak membalaskan kesalahannya. Tapi … “ Ah, bagaimana aku bisa mengungkapkan ini kepada orang asing ini? batinku. Namun, kupaksakan diriku.

“Tapi, tahu tidak? Rasa berhak itu menyentakku telak dan membuatku ngeri, Pak … “ bisikku. “Aku ngeri mengingat pikiran-pikiran yang ditimbulkannya dalam diriku. Begitu jahat. Kelam. Kejam. Rasa berhak itu … seperti memburuku, mengimpitku sampai-sampai aku tidak dapat melihat ruang untuk doa. Tak ada ruang untuk … Tuhan, karena … karena aku sudah menjadikan diriku sendiri tuhan.” Lagi-lagi suaraku sarat emosi.

Anggukannya nyaris tak kentara, ekspresinya yang teduh memancarkan pengertian, seolah membujukku untuk meneruskan.

“Jadi … aku menandatangani dokumen itu. Dan keluargaku pun marah besar. Mengamuk. Kecewa. Bilang aku bodoh. Budak cinta. Tidak punya pendirian. Tapi aku … “ Apa kata yang tepat untuk menyimpulkan perasaanku saat ini? Aku tidak menemukan satu pun.

“Mengampuninya?” laki-laki itu mengusulkan.

Benarkah? “Itu … aku tidak yakin. Aku … tidak semulia itu. Jika mau jujur, aku masih punya marah. Kecewa. Benci …”

Laki-laki itu tersenyum. “Dosa membuat hati manusia bisa jadi sebuah tempat yang rumit dan sulit dinamai, bukan? Tapi kalau kamu mau, mungkin terima saja keberadaan semua emosi itu untuk saat ini. Tidak usah dirumuskan, ditimbang, dinilai,” ia menatapku. “Lagi pula, pengampunan seberat yang kamu lepaskan itu biasanya butuh proses, tidak bisa sekali jadi,” lanjutnya. “Menandatangani dokumen itu adalah satu langkah proses yang besar menurutku.”

Aku mengangkat bahu. “Begitukah? Aku tidak tahu. Keluarga dan teman-temanku menganggap dia tidak layak diampuni. Dan aku bodoh karena menandatangani dokumen itu. Tapi … sejujurnya begini. Entah Bapak bisa memahami atau tidak, kupikir, setelah semua prahara mengerikan ini, aku masih … mengasihinya.” Aku menatapnya dengan sorot menantang, tapi sorot matanya tetap tenang. “Aku tahu, itu bodoh. Dan aku mengerti kalau keluarga dan teman-temanku marah, sebab aku sendiri pun jengkel pada diriku. Apa-apaan?! Setelah dikhianati, ditinggal pergi, marah, benci, kecewa, bisa-bisanya aku masih mengasihi? Itu … memalukan.”

“Ah, kata siapa? Itu sama sekali tidak memalukan. Begini, tahukah kamu, sesungguhnya tak satu pun manusia mampu mengasihi. Tuhan-lah yang lebih dulu menaruh kasih itu di dalam hati manusia. Kamu mengasihi suamimu dengan kasih Allah. Kalau tidak, mengapa kamu akhirnya dapat menandatangani dokumen itu?”

“Entahlah, sungguh, aku tidak tahu.” Lama aku terdiam, merenungkan perkataan laki-laki itu barusan.

“Tapi … mungkin sama seperti yang Bapak katakan tentang kasih tadi, manusia sesungguhnya tidak mampu mengampuni. Tuhan-lah yang lebih dulu mengampuniku, dan sekarang Dia memampukanku untuk mengampuni suamiku. Begitukah?” Ia mengangguk tipis, dan tangisku pun pecah. “Sekarang aku tinggal menghadapi kemarahan dan kekecewaan keluarga dan teman-temanku. Tudingan-tudingan mereka,” ucapku pasrah.

Laki-laki itu beringsut mendekatiku. “Sssh … serahkan semuanya kepada Tuhan. Mereka marah karena menyayangimu dan tidak ingin kamu disakiti lagi. Dan selama itu dilakukan karena kasih, aku yakin semua akan baik-baik saja.”

Ia menatapku dalam-dalam sebentar, kemudian bangkit berdiri. “Pulanglah. Sudah malam. Bukankah besok Natal?” ucapnya. Tepat sebelum berlalu, ia menyentuh pundakku.

Aku menoleh dan melihat tangannya memiliki lubang bekas luka.

“Luka itu, apa penyebabnya?” bisikku parau.

Ia mengangkat kedua tangannya, dan baru kulihat tangan kanannya juga memiliki luka yang sama. “Ini?” ucapnya. “Ini kubanganku. Tidak berbeda jauh dengan kubanganmu—K A S I H. Selalu kasih.”

Yuk berjalan berdampingan untuk

Menjadi Orangtua Sebaik yang Kita Bisa.

Kami akan menampilkan artikel, kesaksian, dan tips-tips parenting setiap minggunya.

Klik untuk SUBSCRIBE