Aku masih ingat pertama kali pikiran itu muncul dalam benakku. Saat itu tahun 2021, aku sedang memasak untuk keluargaku. Tiba-tiba saja aku merasa bahwa aku akan meninggal. Dan aku pun disergap perasaan takut yang begitu kuat, sampai-sampai aku tidak dapat melanjutkan memasak dan hanya menangis sesenggukan.

Bukan, aku bukan takut meninggalnya. Sebagai pengikut Kristus, aku yakin Tuhan Yesus telah menebus dosaku dan sudah menyiapkan tempat yang indah bersama-Nya. Yang kutakutkan adalah pikiran bahwa anak-anakku masih muda. Bahkan si bungsu masih duduk di SD.

Dan bukan, aku tidak takut mereka akan merusak diri dalam pergaulan, karena sejak mereka kecil aku telah menyaksikan bagaimana mereka bertumbuh. Aku yakin mereka adalah anak-anak yang takut akan Tuhan, dan aku percaya pada komitmen yang selalu anak-anakku doakan. Aku hanya takut mereka belum mampu menghadapi kehidupan yang keras jika aku tidak mendampingi mereka.

Ah, tapi mengapa aku berpikiran seperti ini?

Aku seorang ibu rumah tangga dengan tiga orang putra dan seorang putri. Aku dan suami berasal dari keluarga yang jauh dari sempurna. Meski orangtua kami tidak mengenal Yesus, kami disekolahkan di sekolah Kristen, dan inilah yang memungkinkan kami mengenal Juruselamat.

Aku dan suami sama-sama melayani sebagai guru sekolah minggu. Masa lalu kami yang sulit membuatku bertekad untuk tidak mengulangi situasi yang sama pada anak-anak. Kudidik mereka menjadi anak-anak yang mandiri dan disiplin. Kuajar mereka untuk mengenal Tuhan secara pribadi.

Bahkan sejak usia anak pertama kami masih kecil, kami sudah memiliki mezbah doa di rumah. Suami membawa istri berdoa, dan orangtua membawa anak-anak untuk berdoa bersama. Bagaimanapun, sebuah rumah yang kokoh harus ditopang oleh tiang-tiang yang kokoh. Dan seluruh anggota keluarga adalah seumpama tiang-tiang itu.

Maka seluruh keluarga wajib berdoa. Dan melalui waktu membaca Firman Tuhan dan doa bersama seperti inilah, kami memperkuat setiap sisi kehidupan dan pertumbuhan anak-anak kami, yang penting bagi kehidupan saat ini maupun di masa depan. Dengan dasar Firman Tuhan, kami menunjukkan kepada mereka contoh kehidupan yang baik atau rusak yang terjadi saat itu. Aku mengajak mereka untuk mengambil keputusan setiap kali mendengar Firman Tuhan. Dengan keputusan yang mereka buat, aku menuntun mereka berdoa meneguhkan komitmen mereka dan meminta agar Tuhan terus menjaga mereka.

Tahun demi tahun berlalu, anak pertama kami sudah melayani sebagai hamba Tuhan di Sulawesi. Anak kedua menjadi desainer animator di sebuah studio, sementara anak ketiga kuliah di tingkat akhir sambil melayani di sebuah gereja di Surabaya. Hanya si bungsu yang tinggal bersama kami saat ini. Mereka semua adalah anak-anak yang mandiri, pekerja keras, mengasihi Tuhan dan orangtua. Bisa dibilang, tidak ada masalah dalam kehidupan rohani maupun jasmani anak-anak kami.

Lalu, mengapa pikiran menakutkan itu muncul? Bukan hanya sekali, melainkan berulang kali! Pernah suatu kali saat menyetir mobil seorang diri, perasaan bahwa aku akan meninggal itu muncul kembali disusul ketakutan yang sama. Ya, Tuhan, aku kenapa? Aku berdoa sambil menangis, memohon Tuhan menolong anakku jika memang Tuhan ingin memanggilku pulang.

Peristiwa itu terjadi lagi saat aku sedang tidur. Dalam tidur, aku merasa dadaku sesak, seperti ada yang menindih. Pikiran-pikiran buruk pun berkecamuk. Bagaimana anakku jika aku meninggal? Dalam tidur aku menangis, dan akhirnya terbangun dengan hati kacau. Aku menangis sejadi-jadinya. Rasanya takut sekali kala itu. Ini sudah ketiga kalinya aku merasa akan meninggal. Sudah ketiga kalinya aku mengalami serangan panik. Hatiku benar-benar galau!

Namun, tiba-tiba sebuah ayat melintas di benakku. “Janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari” (Matius 6:34).

Kemudian Tuhan seolah memutarkan kisah masa laluku sambil bertanya kepadaku, “Dulu sewaktu kecil, siapa yang menolongmu menghadapi masalah-masalahmu? Dulu, sejak kecil hingga dewasa suamimu menghadapi banyak masalah, siapa yang menolongnya? Apakah orangtua kalian yang menolong? Tidak, bukan? Kalian bertumbuh dalam kesulitan tanpa orangtua, dan kalian mampu melewati semua itu. Jadi, mengapa engkau khawatir akan masa depan anak-anakmu? Berhentilah menjadi supermom bagi anak-anakmu, karena kamu memang bukan superhero. Tugasmu adalah terus mendidik mereka untuk mengenal-Ku secara pribadi. Percayakan masa depan mereka bersama-Ku. Jika Aku memanggilmu pulang, anak-anakmu adalah urusan-Ku. Biarkan mereka belajar menjadikan-Ku superhero seumur hidup mereka.”

Sekali lagi, tengah malam itu aku menangis sejadi-jadinya. Aku memohon ampun kepada Tuhan, karena ternyata meski selama ini aku sudah memperkenalkan Tuhan kepada anak-anakku sejak mereka kecil, namun setelah anak-anakku sudah besar bahkan dewasa, aku belum sungguh-sungguh menyerahkan mereka kepada Tuhan. Allah ingin anak-anakku mulai belajar mengandalkan-Nya secara pribadi, menyadari bahwa sesungguhnya hanya Tuhan-lah satu-satunya superhero dalam hidup mereka, bukan kami, orangtua mereka.

Sejak itu, perlahan aku mulai menanggalkan pakaian supermom-ku. Dalam setiap perenungan dan doa, tak jemu-jemu aku terus memohon agar Tuhan menggantinya dengan pakaian seorang hamba. Ya, aku hanyalah hamba yang diutus untuk mendidik generasi ilahi agar mereka tetap hidup kudus dan berkenan kepada Allah. Dengan begitu, dari anak-anak kami kelak akan lahir generasi-generasi ilahi berikutnya. Aku bukanlah supermom, hanya Tuhan-lah superhero dalam hidup anak-anakku, bahkan dalam hidup setiap manusia termasuk aku sendiri.

Sebelum menutup cerita ini, izinkan aku menyampaikan harapanku. Aku selalu berharap akan mengakhiri hidup seperti Daud, hamba Tuhan yang mengasihi-Nya hingga napas terakhirnya. Selagi napasku masih ada, aku ingin melatih anak-anakku menjadi seperti Daud yang mengandalkan Tuhan dengan benar dan sepenuh hati. Kiranya Tuhan mendengarkan doaku. Amin.

Yuk berjalan berdampingan untuk

Menjadi Orangtua Sebaik yang Kita Bisa.

Kami akan menampilkan artikel, kesaksian, dan tips-tips parenting setiap minggunya.

Klik untuk SUBSCRIBE

Buku Our Daily Bread for Kids 

Buku Our Daily Bread for Kids

Jika Anda mencari buku yang dapat menolong anak atau cucu Anda untuk belajar dan bertumbuh secara rohani dengan cara yang menyenangkan, buku ini adalah pilihan yang tepat.

Dalam buku berbahasa Inggris ini Anda akan menemukan hikmat Alkitab yang disajikan dengan cara yang menarik dan dilengkapi dengan ilustrasi-ilustrasi yang indah, cocok untuk anak-anak usia 6-10 tahun.

Dapatkan buku ini sekarang juga!
Promo berlaku hingga 3 November 2023

Klik disini untuk mendapatkan buku ini