Sungguh tak terbayangkan: Saat itu saya sedang menyuapi anak balita kami. Baru saja saya mengulurkan sesendok makanan ke mulutnya, tiba-tiba dia muntah. Sebagai mantan pemain bisbol, refleks saya menangkap muntahannya dengan tangan.

Lalu pada saat yang sama, anak laki-laki saya yang berusia enam tahun dengan penuh semangat berlari menghampiri. “Papa, lihat!” katanya penuh semangat. Dia ingin menunjukkan sesuatu, tetapi dengan tidak percaya saya menatapnya, muntahan Colin berjatuhan dari tangan saya. “Kamu tidak lihat Papa sedang sibuk?!” tegur saya dengan nada keras. Dan ia pun pergi dengan lesu.

Dua puluh tahun kemudian, saya masih menyesalkan kejadian itu. Seharusnya saya bisa berkata begini kepada anak saya: “Ambil handuk dulu, nanti Papa lihat.” Namun, saya tidak bilang begitu. Sebaliknya, saya menanggapi momen itu dengan tidak bijaksana sehingga membuat kecewa anak laki-laki saya yang penuh semangat itu.

Satu dari Seribu

Anak itu, yang sekarang berusia 26 tahun, adalah anak yang bertahun-tahun paling membuat kami mengelus dada. Mobil dalam foto (di atas) adalah miliknya. Kepala tim penyelamat yang membantu mengeluarkannya dari mobil yang ringsek itu berkata, “Ini kejadian satu di antara seribu.” Anak kami bukan hanya selamat, dia bahkan bisa berjalan enam langkah keesokan harinya dan semakin hari semakin pulih.

Dialah anak yang pada usia empat tahun, dua kali memasukkan obeng ke soket lampu. Pertama kali, ibunya berlari masuk ruangan untuk mencari tahu sumber jeritan kesakitan itu. Beberapa hari kemudian, kejadian itu terulang lagi dan istri saya bertanya dengan setengah tidak percaya, “Kenapa kamu melakukannya lagi?”

Dengan enteng ia menjawab, “Aku hanya ingin melihat percikan api.”

Anak ini juga pernah meluncur turun dalam keranjang cucian melewati enam belas anak tangga, tergelincir dan berhenti tepat di depan pintu kaca di ujung tangga. Ketika ibunya dengan tegas melarangnya melakukannya lagi, dia dengan cepat mengulanginya, kali ini meluncur di atas karton. “Kan Mama cuma bilang jangan melakukannya dengan keranjang cucian,” protesnya.

Anak ini juga yang sering pulang dengan tubuh lecet-lecet dan berdarah, hal yang memang sering terjadi padanya. “Parasut ini rusak,” katanya sedih.

“Parasut apa?” kata ibunya, tertarik sekaligus khawatir.

“Yang ini,” katanya murung sambil mengangkat beberapa kantong plastik kecil yang diikat jadi satu.

Sebelum ibunya bisa merumuskan tanggapan yang masuk akal, wajah anak itu sudah berseri-seri lagi. “Aku tahu,” katanya. “Aku akan memanjat pohon yang lebih tinggi!”

Istri saya adalah seorang ibu yang hebat. Dia tidak lengah. Dia sangat terlibat dalam kehidupan semua anaknya. Namun, apa yang berhasil diterapkan pada satu anak kemungkinan besar tidak berhasil dengan baik pada anak lain.

Beberapa anak tidak sulit diurus dan mereka tumbuh baik-baik saja. Yang lain akan menguras seluruh waktu Anda dan menuntut lebih banyak lagi, sampai-sampai emosi Anda naik turun seperti naik roller-coaster. Rasanya seakan-akan Tuhan dengan sengaja memberi Anda sesuatu yang sebenarnya tidak mungkin dapat Anda tangani. Termasuk memberi Anda anak-anak yang akan dipakai untuk membuat Anda lebih rendah hati.

Bagaimana dengan Anak-anak Tuhan?

Mudah bagi kita untuk meragukan diri sendiri dan berkata bahwa kalau saja kita melakukan sesuatu yang berbeda, “anak itu” pasti akan tumbuh “baik-baik saja”—apa pun artinya itu.

Kita mencari rumus ajaib, rencana yang sempurna yang jika dilaksanakan dengan baik akan menyelesaikan segalanya. Kalau saja kita tahu apa itu.

Tuhan senang berinteraksi dengan manusia dan memperlakukan mereka seperti anak-anak-Nya. Dia sendiri yang menciptakan mereka, yang pertama dari tanah liat yang dibuat menyerupai gambar Tuhan sendiri (Kejadian 1:27; 2:7). Kemudian Dia menciptakan seorang wanita sempurna untuk pria yang sempurna (Kejadian 2:18;20-23). Dia menempatkan keduanya dalam lingkungan yang sempurna dan memberi mereka pekerjaan yang mereka anggap memuaskan dan penuh penghargaan. Jaga taman yang indah ini (Kejadian 1:28-30; 2:15), rawatlah hewan-hewan di dalamnya. Nikmati semua itu dan nikmatilah hubungan keluarga bersama-Ku.

Tuhan memberikan satu peraturan kepada mereka. Hanya satu. “Jangan makan buah dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat, karena pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati” (Kejadian 2:17).

Namun, mereka melanggar peraturan itu. Akibatnya, mereka menghancurkan seluruh dunia: hubungan kita dengan Tuhan, hubungan kita dengan alam, hubungan kita dengan satu sama lain—mereka menghancurkan semuanya.

Tidak ada yang sama lagi. Hidup akan menjadi sulit padahal tadinya tidak perlu demikian. Taman akan ditumbuhi rumput liar (Kejadian 3:17-19). Proses melahirkan akan menyakitkan (3:16). Kita akan memperlakukan satu sama lain dengan buruk dan saling salah mengerti. Kita menjadi lawan, bukan kawan. Kita akan hidup, lalu mati.

Seorang Ayah yang Baik, Benarkah?

Apa yang salah dengan Tuhan? Bukankah Dia adalah orangtua yang baik? Mengapa Dia tidak dapat mencegah anak-anak-Nya melakukan hal yang salah?

Kita tidak dapat membahas semua alasan teologis tentang mengapa Tuhan menciptakan kita seperti ini di sini. Namun, kita dapat mempertimbangkan hal ini: Jika Tuhan memaksa kita untuk selalu taat kepada-Nya, bagaimana mungkin kita dapat mengasihi-Nya?

Jika kita tidak memiliki pilihan atau kehendak bebas untuk menerima atau menolak Dia—kita tidak akan mampu mengasihi-Nya. Kasih harus bebas dan tidak boleh dipaksakan, jika tidak, itu bukan kasih.

Tuhan sesungguhnya adalah Orangtua yang sempurna. Dia mengasihi kita tanpa pamrih. Pengalaman saya dengan anak-anak telah menunjukkan kepada saya apa yang Tuhan alami dengan saya.

Saya sering membuat Bapa frustrasi dengan keinginan saya yang keras kepala. Saya berulang kali menguji kesabaran-Nya lewat sikap, kekhawatiran, keangkuhan, dan kecenderungan saya untuk mengandalkan diri sendiri. Saya tidak membutuhkan Dia sampai saya benar-benar membutuhkan-Nya. Dan akhirnya saya sungguh-sungguh sangat membutuhkan-Nya!

Bagaimana Tuhan Tahan Menghadapi Saya?

Saat saya belajar tentang kesabaran Tuhan dalam menghadapi saya, saya pun belajar tentang menjadi orangtua. Yesus menunjukkan kepada kita seperti apa kasih yang sejati itu. Kasih-Nya tidak kompromi dengan kebenaran. Kasih-Nya tidak memaklumi ketidakadilan. Namun, kasih-Nya juga tidak akan pernah menyerah. Dan kasih-Nya tidak mencari apa yang baik bagi-Nya; kasih-Nya mencari apa yang baik bagi kita.

Menjelang Yesus disalibkan, murid-murid-Nya—yang telah bekerja bersama Dia selama tiga setengah tahun—akhirnya mulai mengerti maksud kedatangan-Nya ke dunia (Yohanes 16:29-30). Namun, beberapa jam sebelum Dia disalibkan, murid-murid itu lari meninggalkan-Nya (Markus 14:50), kecuali Yohanes. Bukankah Yesus sudah cukup baik mengajar mereka?

Percayalah pada Proses Tuhan

Pada akhirnya, Yesus akan mengubah dunia melalui para murid-Nya. Namun, mereka membutuhkan waktu yang lama untuk mulai memahami apa yang Yesus lakukan.

Demikian pula, menjadi orangtua adalah sebuah proses. Kita mencurahkan segalanya

dalam kehidupan anak-anak kita. Kita berdoa untuk mereka. Kita membuat kesalahan. Kita menangis. Kita marah. Kita tertawa. Kita mengasihi.

Kita telah menyaksikan anak-anak lari dari Tuhan dan kemudian kembali, menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mereka sendiri. Kita menunggu kembalinya anak lainnya. Kita percaya kepada Tuhan, yang mengasihi anak-anak kita jauh lebih besar daripada yang dapat kita lakukan.

Meski kita menginginkan semua jawabannya sekarang, kita tidak mendapatkannya. Yang kita miliki adalah Bapa yang penuh kasih.

Mengapa Tuhan memberi saya anak-anak yang membutuhkan perhatian ekstra? Jawabnya adalah karena saya butuh kerendahan hati untuk menjadi seperti yang Dia inginkan. Seperti yang dikatakan Rasul Paulus, “Sekarang aku tahu sebagian; tetapi nanti aku akan mengenal sepenuhnya, sama seperti aku sudah sepenuhnya dikenal” (1 Korintus 13:12).

Kita belum sampai di sana.
Happy Children’s Day Nak, dari seorang ayah yang belajar rendah hati darimu.

Artikel ini pertama kali diterbitkan di Biblical Wisdom for Parents © Our Daily Bread Ministries dengan judul God Gave Me Kids to Make Me Humble

Penerjemah : Marlia Kusuma Dewi

Penyelaras bahasa : Rosi Simamora

Yuk berjalan berdampingan untuk

Menjadi Orangtua Sebaik yang Kita Bisa.

Kami akan menampilkan artikel, kesaksian, dan tips-tips parenting setiap minggunya.

Klik untuk SUBSCRIBE