Begitu mengangkat telepon, aku langsung mengenali suara tangis Mira.

“Mira? Ada apa?” tanyaku waswas.

Susah-payah ia menenangkan diri. “Se-sehabis kami berdoa ba-barusan, Rara tanya, ‘Kok Mama nggak bilang “Biarlah Kehendak-Mu yang jadi, bukan kehendak kami?”’ D-dan… dan aku tidak tahu harus bilang apa. Aku tidak tahu… aku…”

Tangisnya pecah. Awalnya, aku sulit memahami maksudnya. Kalimat-kalimatnya hanya tertangkap sepotong-sepotong. Namun, karena sempat ikut terlibat sedikit dalam prahara keluarga Mira, aku akhirnya berhasil menyusun jalan ceritanya.

Semua ini bermula tak sampai seminggu yang lalu.

***

“Anak Bapak ditahan.”

Awalnya, Hans, suami Mira, mengira itu hanya upaya penipuan abal-abal yang pernah jadi tren dan makan banyak korban. Namun ia keliru. Putra mereka, Darius, ditahan di tengah transaksi narkoba, tak sampai lima ratus meter dari rumah mereka.

Tahu-tahu, begitu saja, kehidupan keluarga mereka porak-poranda.

Reaksi pertama Mira adalah menangis. Ia menyalahkan diri sendiri, mempertanyakan di mana letak kesalahan dalam pola asuh dan kekurangannya sebagai ibu. Pikirannya dengan ganas menyusuri isyarat-isyarat yang terlewatkan olehnya. Orangtua macam apa dirinya, tidak mengenal anak sendiri? Begitulah yang dipikirkannya.

Hans sendiri langsung menyisir kamar Darius, dan menemukan bukti yang selama ini luput dari perhatian. Ia masih sulit percaya. Darius tidak pernah bermasalah di sekolah. Penampilannya bersih, engkau tidak akan mencurigai apa-apa darinya. Apalagi sebagai keluarga, mereka cukup dekat. Jadi mengapa mereka bisa tiba di titik ini? Apa yang salah?

Pikiran dan hati mereka semakin tersiksa. Belum lagi Rara si adik berulang kali bertanya, “Kakak di mana?” “Kakak kapan pulang?” “Kita berdoa jam berapa? Aku ngantuk.” Tapi orangtuanya sedang tidak memiliki kekuatan untuk mengajaknya berdoa. Pikiran mereka kelewat kalut. Mereka kecewa, sedih, marah, semua campur-baur. Mereka takut untuk Darius dan mulai saling menyalahkan, hingga malam yang tadinya damai pun diwarnai tuduhan dan lontaran kata-kata pedas.

Setelah mencari tahu, Hans pun mendapat gambaran bahwa penjara tempat yang keras dan buruk. Sahabatnya berkirim pesan, “Penjara itu mengerikan. Memangnya kamu mau kehilangan anakmu? Tidak, kan? Tebus saja, kasih duit.”

Menyuap, maksudnya? Tak pernah terpikir oleh Mira, mereka akan melakukan hal seperti ini. Tapi setelah pulang dari mengunjungi Darius, Hans menegaskan, hanya itu satu-satunya jalan. Demi kebaikan Darius. Ia menyebutkan jumlah yang diminta perantara, dan mereka hanya diberi waktu tiga hari.

“Memangnya janji si perantara itu bisa dipegang? Memangnya Darius dijamin pasti keluar?”

“Dengan uang segitu? Dijamin.”

Mira menghela napas dalam-dalam. “Tapi jumlahnya besar sekali. Bisa-bisa kita bakal dililit utang yang umurnya tahunan.”

“Aku paham kamu tidak sepenuhnya setuju. Kalau ada pilihan, aku juga tidak bakal ambil jalan ini. Tapi kita tidak bisa membiarkan Darius mendekam di sana,” Hans mulai naik pitam.

“Itu bukan satu-satunya jalan sih sebetulnya,” tukas Mira tak kalah emosi. Setelah Hans tadi berangkat, Mira meneleponku, bertanya apakah suamiku yang bekerja di LBH dapat menolong mereka. “Suami sahabatku bersedia mendampingi. Pro bono. Dia menjamin kita tidak perlu terlibat praktik kotor.”

“Tapi dia bisa menjamin Darius bebas dalam tiga hari, tidak?” tantang Hans.

Mira menunduk. “Tidak.”

Dan “Tidak” bukan jawaban yang ingin Hans dengar saat ini.

Hans mengerahkan seluruh jaringan pertemanan. Mereka dikejar waktu dan harus bergerak cepat. Dana yang tidak kecil pun terkumpul, lalu Hans menghubungi si perantara untuk menetapkan waktu serah terima.

“Saya jamin, besok Bapak sudah berkumpul dengan putra Bapak,” janji si perantara.

Perkataan penuh jaminan itu langsung menyiramkan perasaan lega. Siapa sangka sesuatu yang mereka pikir mustahil, ternyata tidak demikian? Siapa sangka upaya mereka berjalan dengan sangat mulus? Tinggal satu langkah lagi, dan besok mereka sudah berkumpul kembali.

Ah, Tuhan itu baik, pikir Mira, dan ketika Rara mengajak berdoa malam itu, Mira berkata, “Mari kita bersyukur dan mendoakan supaya rencana besok berjalan lancar.” Dan seperti biasa di penghujung ia membungkus doanya dengan kalimat yang dihafal Rara luar kepala: “Namun kiranya kehendak-Mulah yang jadi ya, Bapa, bukan kehendak kami.”

Penjara Keinginan 1

Keesokan harinya, doa mereka dikabulkan, tapi sama sekali tidak seperti yang mereka inginkan. Hans sendiri tidak benar-benar tahu apa yang terjadi. Setengah jam sebelum waktu yang ditentukan, perantara masih mengingatkan instruksi terakhir, Hans masih berangkat sesuai jadwal, tiba di tempat tujuan dengan mulus, tapi tahu-tahu…

Tidak ada yang terjadi; semua batal.

Tidak ada serah terima.

Tidak ada Darius.

Kehendak Bapa memang terjadi, tetapi tidak seperti keinginan mereka.

Hans sama sekali tidak percaya mengapa semua yang semula tampak pasti itu tahu-tahu berantakan. Mereka bertengkar. Ia menyalahkan istrinya, padahal Mira sendiri sudah merasa sangat bersalah kepada putranya, dan menyesali doanya semalam. Kalau ia tidak mengucapkan kalimat terakhir itu, mungkinkah sekarang mereka sudah berkumpul?

Namun, Hans menolak terpuruk dan mencari jalan baru. Sebelum putranya pulang, ia tidak akan berhenti berusaha. Ia mencoba menghubungi hingga ke teman dari teman dari teman si A dan si B hingga si Z, sampai akhirnya menemukan perantara baru.

Seperti sebelumnya, semua langkah persiapan berjalan lancar, dan tahu-tahu besok sudah waktu serah terima. Meski masih dibayangi kegagalan sebelumnya, Hans meyakinkan diri bahwa besok semua bakal lancar. Mira sendiri masih menyimpan galau, pikirannya selalu kembali ke doa mereka tempo hari. Hatinya resah, tapi ia tidak berbuat apa-apa. Memangnya apa yang bisa dilakukannya untuk menahan tekad Hans? Lagi pula, semua sudah terlambat, kesepakatan telah dibuat, uang sudah terkumpul, dan yang terpenting besok Darius sudah kembali ke tengah mereka.

Seperti biasa, sebelum tidur Rara ribut mengajak berdoa. Apakah malam ini Papa dan Mama mau berdoa bersama? Atau Rara harus berdoa sendiri lagi? Hati Mira tercubit, ia pun mengangguk. Bagaimanapun, besok hari besar, mereka membutuhkan doa lebih daripada apa pun juga.

Seperti yang selalu dilakukannya, Mira membuka doa dengan mengucap syukur. Ia bisa merasakan kegelisahan Hans, dan kekalutan hatinya sendiri. Ketika doanya menyentuh rencana besok, ia mendengar suaminya berdeham keras seolah memperingatkan, membuat Mira semakin resah. Akhirnya dengan bergegas ia mengakhiri doanya dan mengucapkan “Amin,” yang segera saja disusul protes Rara: “Kok langsung ‘Amin’? Mama belum bilang, ‘Namun kiranya kehendak-Mulah yang jadi ya, Bapa, bukan kehendak kami.’”

Dan begitu saja, pertahanan Mira jebol. Jauh di lubuk hati, ia tahu mengapa ia tidak sanggup mengucapkan kalimat itu: karena ia takut besok semuanya kembali berantakan. Karena jika ia mengucapkan kalimat itu dan semuanya kacau, ia tak sanggup menanggungkan tuduhan bahwa sekali lagi ia berkhianat kepada putra mereka.

“Apa yang harus kulakukan?” tangisnya kepadaku di telepon sekarang.

Jawabannya begitu gamblang bagiku, namun sepertinya Mira sama sekali tidak dapat melihatnya. Ia sudah dibutakan keinginannya sendiri.

“Mira, dengar. Tidakkah kamu sadari bahwa sekarang bukan Darius saja yang dipenjara, melainkan kalian juga? Kalian begitu ingin Darius dibebaskan, sampai-sampai menyerahkannya ke dalam kehendak Bapa pun kalian gentar. Kalian bersikeras memegang rencana kalian sendiri, dan menjadikannya sebagai fokus utama kehidupan keluarga kalian sekarang ini.”

Lama Mira hanya terdiam, dan aku tidak mendesak lebih jauh. Ia tidak menangis, tidak mengucapkan apa-apa, tapi juga tidak membanting telepon. Dengan lembut aku bertanya, apakah aku boleh mengajaknya berdoa. Ketika ia setuju, aku pun memohon agar Bapa yang maha pengasih berkenan menenangkan Mira, memberi Mira dan suaminya hikmat serta kekuatan untuk dapat mengembalikan pergumulan mereka ke dalam kehendak Bapa. Untuk kembali menjadikan Kristus sebagai jantung kehidupan keluarga mereka. Lalu kututup doaku dengan “Kiranya kehendak-Mulah yang jadi ya, Bapa, bukan kehendak kami.”

Penjara Keinginan 2

Di seberang sana aku mendengar Mira menghela napas dalam-dalam dan membisikkan terima kasih. Ia terdiam sebentar, lalu katanya dengan suara tipis yang bergetar, “Doakan kami terus ya.”

Kisah Mira mengingatkan aku kepada ketakutanku sendiri sebagai ibu, ketika beberapa tahun yang lalu putra kami sakit keras dan tim dokter akhirnya angkat tangan. Aku ingat kami tidak siap, tidak terima, dan bersedia melakukan apa saja demi kesembuhan putra kami. Aku ingat kami terus berdoa dan mencari dokter-dokter baru, tetapi Tuhan tidak juga menurunkan kesembuhan. Sampai suatu hari seorang kerabat mendatangkan orang “pintar” yang terkenal dapat menyembuhkan segala penyakit hanya dengan mantra dan semburan air.

Seperti orangtua mana pun, tidak ada yang lebih kami inginkan selain putra kami sembuh. Itu sudah pasti. Tekanan dari keluarga besar untuk memakai jasa si orang pintar, membuat kami bertengkar hebat waktu itu.

Namun, mungkinkah ada kesembuhan sejati di luar Kebenaran? Mungkinkah jika kami tetap bersikeras mengambil jalan pintas ini, kami masih bebas membungkus doa-doa kami dengan menyerahkan kehendak kami ke dalam Kehendak-Nya? Mengucapkan “Kiranya kehendak-Mulah yang jadi ya, Bapa, bukan kehendak kami” dengan penuh iman percaya? Rasanya tidak. Karenanya, meski jeri, kami memutuskan untuk menyerahkan putra kami dan pergumulan kami hanya ke dalam Kehendak Bapa saja, bukan pada orang pintar.

Sampai hari ini, Mira dan keluarganya masih terus bergumul. Dan sampai hari ini, aku masih terus membawa mereka dalam doa-doaku. Aku memohon kepada Roh Kudus agar kiranya terus mengingatkan mereka, bahwa kita akan selalu menjadi hamba dari pilihan kita. Bahwa pilihan yang keliru akan memenjarakan kita, dan hanya kebenaran yang dapat memerdekakan kita (Roma 6:16; Yohanes 8:31-32).

Kiranya Mira dan suaminya sanggup mengenali jeruji tak kasatmata dari penjara yang mereka ciptakan dari keinginan mereka yang keliru itu. Dan kiranya mereka dikuatkan untuk keluar dari sana menuju kebenaran yang memerdekakan, yang telah disediakan Kristus bagi kita. Seperti kata Yesus, “Jadi apabila Anak itu memerdekakan kamu, kamu pun benar-benar merdeka” (Yohanes 8:36). Dan ketika Kristus menjadi pusat dalam keluarga, maka kita akan diberikan keluasan hati untuk menerima hanya kehendak Tuhan saja yang terjadi atas keluarga kita, termasuk anak kita.