Sebuah novel yang diantar kurir pagi ini membawa ingatan saya kepada Hera. Gadis berusia 12 tahun itu datang sekitar setahun yang lalu bersama ayah, ibu, dan kakaknya. Dina, sang kakak, seorang multi talenta, dan setelah berhasil menjuarai lomba ini dan itu, sang ibu ingin menyiapkan Dina mengikuti lomba menulis. Itu sebabnya gadis ini didaftarkan di kelas penulisan saya.

“Ini contoh tulisan Dina, Bu. Dina ini anak berbakat, saya yakin tidak akan sulit membimbing dia,” sang ibu berkata bangga. Di sebelahnya, Dina tersenyum penuh percaya diri, sementara sang ayah manggut-manggut bersemangat. Tapi Hera… ia tampak kontras dengan sikapnya yang pasif, benar-benar berbeda dari kakak dan orangtuanya. Sementara ibu dan ayahnya bergantian menceritakan pencapaian-pencapaian Dina, Hera memilih diam.

Akhirnya disepakati Dina dan Hera akan ikut kelas penulisan. Hera dipaksa ikut, dengan alasan supaya memudahkan urusan antar-jemput. “Fokus Ibu ke Dina saja, Hera cuma penggembira kok ini,” begitu pesan si ibu.

Setelah beberapa pertemuan, terlihat jelas Hera-lah penulis sejati di antara mereka berdua. Dina sendiri kemampuannya biasa-biasa saja. Tapi ironisnya, meski sudah melewati proses bimbingan yang cukup panjang, Dina tetap yakin dirinya sangat berbakat, sementara Hera tidak kunjung percaya dalam dirinya mengalir bakat pujangga.

Mengamati Dina dan Hera selama bimbingan, mau tak mau saya jadi teringat kepada kisah Esau dan Yakub di kitab Kejadian. Diceritakan bahwa Esau dan Yakub anak kembar yang sangat bertolak belakang. Esau yang tubuhnya berbulu dan kasar adalah pemburu, sementara Yakub yang halus karakternya lebih banyak tinggal di rumah. Keduanya tumbuh dengan sangat berbeda.

Sayangnya, orangtua mereka, Ishak dan Ribka, tidak mengasihi anak-anak mereka dengan cara yang benar. Ishak sulit mengapresiasi Yakub, dan lebih menyayangi Esau, sementara Ribka berpihak kepada Yakub, sampai nekat membujuk putra kesayangannya itu untuk menipu ayah dan kakaknya demi mendapat hak kesulungan. Tidak ada kesehatian di dalam keluarga, yang ada hanya kompetisi.

Betul, kompetisi. Inilah hal paling menonjol dalam relasi Dina dan Hera. Setiap kali Hera mendapat pujian sekecil apa pun mengenai tulisannya, Dina sulit menerimanya. Ia tidak dapat ikut merasa senang dengan keberhasilan adiknya.

Selain itu, bertahun-tahun menjadi fokus perhatian dan kebanggaan orangtua yang berlebihan, membuat Dina percaya dirinya mampu melakukan apa pun yang ia mau, tanpa bisa melihat fakta sesungguhnya. Ia menjadi overconfident, dan yakin dirinya tidak mungkin gagal.

Sebaliknya, setelah bertahun-tahun kurang mendapat perhatian dan arahan dari orangtua, Hera tidak tahu cara memotivasi diri. Ia mengalami krisis identitas, tidak tahu apa yang ia mau dan ia mampu. Ia gadis yang tidak percaya diri dan tidak bahagia.

Karena saya tumbuh besar dalam hubungan adik-kakak yang hangat, sedih rasanya menyaksikan Dina dan Hera seperti ini. Sikap orangtua yang pilih kasih menjadi faktor utama buruknya hubungan mereka. Kedua gadis ini kehilangan kesempatan merasakan indahnya hubungan kasih antara saudara kandung. Tidak ada seloroh dan tawa di antara mereka, bahkan tidak ada obrolan santai tentang buku-buku yang mereka baca, yang memang sengaja saya gunakan sebagai bahan diskusi. Suasana belajar pun cenderung tegang, karena Dina kelewat serius menganggap adiknya saingan.

Pelan tapi pasti, event lomba semakin dekat, tetapi tulisan Dina belum juga mengalami kemajuan. Dengan tulisannya yang sekarang, karyanya bakal sulit mencuri perhatian juri. Sebaliknya, tulisan Hera lebih kuat dan mengalir. Namun sayang, karena kurang termotivasi, tulisannya hanya pendek-pendek.

Melihat itu, hanya ada satu jalan terakhir yang bisa dicoba: jika Dina dan Hera mau berkolaborasi menyelesaikan sebuah naskah, kesempatan mereka untuk lolos penyisihan akan lebih besar. Dina yang selalu tahu apa yang ia mau bisa menyusun badan besar ceritanya, sementara Hera akan mengisi ruang-ruang di antara kalimat-kalimat Dina yang tegas dan kaku, dengan kehalusan tulisannya sendiri.

Cara ini juga semacam blessing in disguise, pikir saya. Dengan berkolaborasi, Dina dan Hera akan mendapat kesempatan untuk belajar menjadi kakak dan adik. Mereka bisa belajar saling mengenal, menghargai, menolong, dan mengandalkan satu sama lain. Mereka akan belajar berhenti berkompetisi, dan ganti saling mengasihi. Mereka akan melakukan hal yang tidak sempat dilakukan Esau dan Yakub: memperbaiki kasih di dalam keluarga sebelum terlambat.

Ketika saya menyampaikan usulan tersebut, Dina dan Hera langsung protes. Dina keberatan berbagi “panggung” dengan adiknya, karena yakin bisa melakukannya sendiri. Tapi alasan Hera-lah yang membuat saya terdiam. Katanya, “Untuk apa? Yang kepingin ikut lomba kan Kak Dina sama Mama dan Papa, aku tidak diajak.” Ekspresinya seperti menantang, tapi matanya menyimpan kesedihan. Kepingin rasanya saya memeluk Hera saat itu juga.

“Tapi ini bisa jadi kesempatan Hera untuk ikut terlibat dalam keseruan keluarga loh. Kak Dina, Mama, dan Papa pasti senang kalau Hera ikut. Dan Hera juga pasti senang bisa ikut. Apalagi Hera berbakat, Hera bisa belajar banyak sekali dari kegiatan ini,” saya mencoba memompa semangat dan rasa percaya dirinya.

Suara keberatan bukan hanya datang dari Dina dan Hera, tapi juga dari sang ibu. “Jadi nanti nama penulisnya dua ya, Bu? Dina dan Hera?”

“Betul,” jawab saya, sambil mencoba menjelaskan kenapa saya mengusulkan novel kolaborasi.

“Oh begitu,” sang ibu terdiam sebentar. “Sebetulnya lebih bagus kalau Dina sendiri saja yang menulis, Bu, jangan berdua. Soalnya gini, kalau nanti novelnya menang, itu saingan-saingan Dina pasti menceletuk, ‘Itu kan karena nulisnya berdua. Coba sendiri…’ Gitu, Bu. Ya namanya mulut orang ya, Bu. Kalau sudah kalah, selalu mencari kelemahan kita.”

Mendengar itu, saya mencoba memberi pengertian seraya menyebutkan beberapa novel kolaborasi yang bagus untuk meyakinkan sang ibu. Akhirnya, sang ibu memberi lampu hijau. Saya senang sekali, apalagi ketika naskah kolaborasi Dina dan Hera akhirnya selesai dengan hasil memuaskan. Diam-diam ada perasaan puas bercampur bangga melihat karya pertama mereka, dan saya berharap Dina dan Hera merasakan hal yang sama.

Setahun berlalu, saya tidak pernah mendengar kabar dari mereka, sampai novel itu tiba pagi ini. Dari judulnya, saya tahu benar siapa penulisnya. Apalagi saya masih bisa mengenali dua gaya tulisan yang mengisi seluruh badan novel tersebut. Yang satu tegas, dan yang satu lembut. Yang satu Dina, dan yang satu Hera. Tapi yang membuat saya tepekur, hanya satu nama penulis yang tercantum pada sampul novel tersebut: Dina.

Tidak ada Hera.

Apa yang terjadi?

Lama saya terdiam, sementara wajah Hera dan ucapannya setahun lalu, terngiang di telinga saya. “Untuk apa? Yang kepingin ikut lomba kan Kak Dina sama Mama dan Papa, aku tidak diajak.”

Lalu bersama dengan itu, pikiran saya lagi-lagi berlari kepada Esau dan Yakub, yang hubungan persaudaraannya rusak karena keberpihakan orangtua dalam mengasihi mereka. Pada akhirnya hubungan mereka pulih kembali karena Tuhan melembutkan hati Esau untuk mengampuni Yakub. Bukan itu saja, Alkitab juga mencatat kisah serupa tentang Yusuf dan saudara-saudaranya. Yusuf dibenci oleh kakak-kakaknya karena ia anak kesayangan ayah mereka. Ia dijual dan bertahun-tahun mengalami hal-hal yang sangat buruk. Tapi cerita mereka berakhir dengan bahagia karena Yusuf dengan pimpinan Tuhan dimampukan untuk mengampuni dan berbelas kasih kepada saudara-saudaranya.

Dua cerita ini begitu kuat mencengkeram hati saya saat saya mulai mendoakan gadis kecil bernama Hera ini, Dina, dan kedua orangtua mereka.